24 July 2007
Agribisnis Pepaya : Pasar Besar, Pasokan Kurang
Permintaan pepaya cukup tinggi, tapi produksi varietas pepaya yang digemari konsumen masih terbatas.
Pepaya
bisa jadi merupakan buah universal yang pantas disajikan sebagai
pencuci mulut di ruang makan keluarga, rapat RT, hingga hotel
berbintang. Menurut Dr. Ir. Sobir, Kepala Pusat Kajian Buah-buahan
Tropika IPB, Bogor, pepaya banyak dibudidayakan masyarakat, harganya
terjangkau, serta kaya akan vitamin dan mineral. “Karena itu, permintaan
pepaya di pasar lokal senantiasa meningkat tiap tahun,” terangnya.
Nano Wijayatno, petani pepaya di Karawang, Jabar, mengatakan, permintaan
pepaya memang tinggi, tetapi ketersediaan pasokan pepaya yang disukai
konsumen masih terbatas. Varietas pepaya berukuran kecil, misalnya jenis
California dan Hawaii sangat digemari konsumen. Sementara, yang banyak
beredar di pasar masih pepaya ukuran besar, seperti pepaya Bangkok.
Pasar Ekspor Terbuka
Untuk membuktikan potensi pasar pepaya, Muhamad
Ishak Akbar, Ketua Kelompok Asta Agro Group di Desa Pasirgaok,
Rancabungur, Bogor, mengaku pernah melakukan survei. Menurutnya,
kebutuhan buah asal Amerika dan Karibia di wilayah Jabodetabek saja
mencapai 12 ribu ton per tahun.
Hitungannya,
jika satu juta penduduk Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi
(Jabodetabek) rutin mengonsumsi satu kilo pepaya per bulan, maka
dibutuhkan 12 juta kg atau 12 ribu ton pepaya per tahun. “Sementara itu,
produksi baru mencapai 500— 600 ribu ton per tahun. Jadi, masih ada peluang pasar 600 ribu—700 ribu ton per tahun,” jelas pria berusia 52 tahun ini.
Berdasarkan
data Direktorat Tanaman Buah, Ditjen Hortikultura, Deptan, produksi
pepaya pada 2005 baru mencapai 548.657 ton atau sekitar 4% dari
produksi buah nasional yang mencapai 14 juta ton lebih. Pepaya berasal
dari sentra produksi di Sumut, Jabar, Jateng, Jatim, Kalbar, Kaltim,
Sulsel, dan Bali.
Di
Jatim khususnya, sentra produksi pepaya terdapat di Kabupaten Malang
yang tersebar di Kecamatan Kepanjen, Bululawang, Gondanglegi, Dampit,
dan Turen. Lingkup dunia perpepayaan ini melibatkan cukup banyak tenaga
kerja, mulai dari petani, pedagang, pemetik, pemikul, dan pengemas buah,
hingga penangkar bibit. Di sisi lain, potensi lahan yang dapat
dijadikan perkebunan pepaya masih terbuka luas karena komoditas ini bisa
diusahakan di berbagai tipe agroekosistem.
Sri
Kuntarsih, Direktur Tanaman Buah, Ditjen Hortikultura mengatakan,
pepaya juga termasuk komoditas andalan ekspor Indonesia. Pada 2005,
volume eskpor pepaya segar sebesar 60,5 ton dengan nilai US$112.597.
Memasuki November 2006, volume ekspor pepaya meningkat hingga 100,8 ton
dengan nilai US$ 47.797.
Varietas pepaya yang berpotensi menembus pasar ekspor adalah jenis Hawaii atau tipe solo (solo type
atau mini), yaitu pepaya yang habis dimakan satu orang. Bobot buahnya
berkisar 500 gram, daging buah tebal, serta bercitarasa manis dan segar.
Sayangnya, belum banyak petani yang memproduksi varietas pepaya ini.
Hal
senada diungkapkan Dr. Djeimy Kusnaman, konsultan pertanian, yang
menyatakan, kebutuhan pasar buah Eropa mencapai 74,5 juta ton per tahun.
Sebanyak 30 persen dipasok dari negara berkembang. Sedangkan permintaan
pepaya segar asal Indonesia dari China sedikitnya 30 ribu ton per
tahun.
Meskipun
biaya transportasi buah ke Eropa lumayan mahal, menurut hitungan
Djeimy, masih tetap menguntungkan. “Harga jual pepaya di Eropa kurang
lebih 2,78 Euro atau 3,5 dollar AS per kilo. Jika ongkos transpor
sekitar 2 dollar, ditambah biaya-biaya lain, maka masih ada keuntungan
sekitar 20—30 sen dollar per kilo,” jelas Djeimy.
Pilih-Pilih Varietas
Agar mampu menembus pasar pepaya lokal maupun ekspor, petani harus pandai memilih varietas pepaya yang akan dikembangkan. Hal
ini sudah dilakukan petani dari kelompok Asta Agro Grup di Pasirgaok.
Kunardi, salah satu pelopor kelompok, mengatakan, usaha tani pepaya
varietas California cukup menjanjikan keuntungan. Setahun sudah
bisa balik modal. Dengan masa produksi hingga tiga tahun, pada panen
tahun kedua dan tiga petani tinggal menikmati keuntungan. “Apalagi,
harga pepaya jenis California lebih bagus dibandingkan pepaya Bangkok,”
ungkap Kunardi.
Harga
pepaya Hawaii di kebun mencapai Rp4.500—Rp.6.500 per kg dan Rp10.000
per kg di pasaran. Sedangkan harga pepaya California di kebun berkisar
Rp2.000—Rp4.000 per kg dan Rp6.000—Rp8.000 per kg di pasaran. Bandingkan
dengan harga pepaya Bangkok yang hanya Rp700—Rp800 per kg dan
Rp2.000-an di pasaran.
Selisih
harga dan jaminan pasar yang cukup besar itu membuat petani di desa
tersebut ramai-ramai beralih menanam pepaya California. Bermodalkan Rp25
juta—Rp30 juta per hektar, petani mampu menanam 1.700 batang.
Produktivitas pepaya varietas ini juga cukup tinggi, sekitar 30—40 kg
per batang sehingga petani dapat menikmati keuntungan bersih
Rp10.000—Rp15.000 per tanaman.
Sementara,
Erwin Kurnia, Manajer Pemasaran Kelompok Asta Agro Grup mengatakan,
“Awalnya pepaya California ini belum banyak diminati pasar lokal. Lalu
kita coba pasarkan ke toko-toko buah. Akhirnya direspon dengan baik oleh
konsumen.” Setelah jenis ini
diterima pasar, barulah kelompok tersebut mengembangkan budidaya pepaya
California secara massal dengan menggandeng petani sebagai mitra.
Selain
Hawaii dan California, petani juga punya pilihan menanam pepaya kecil
jenis lain. Pusat Kajian Buah-buahan Tropika IPB Bogor kini sudah
mengkomersialkan tiga varietas pepaya baru, yaitu IPB 1, IPB 3 dan IPB 9
yang menyerupai pepaya California. "Varietas ini diharapkan menjawab
selera konsumen yang kurang menyukai pepeya yang besar," harap Nano.
pasar ekspor pepaya