Tuesday, 4 August 2015

pengalaman Spiritual, keterkaitan Roh dan Otak Di kaji dari ilmu Neurosains.

- 1 komentar
Neurosains yaitu suatu disiplin ilmu yang mempelajari otak dan sistem saraf di dalamnya, yang mengatur cara dan wilayah kerja sel-sel saraf yang dinamakan neuron, dalam hubungannya dengan seluruh tubuh manusia dan keadaan mental.
Jika neurosains menganalisa dan menjelaskan berbagai pengalaman keagamaan sebagai pengalaman-pengalaman yang dimunculkan oleh sistem neurologis dalam otak manusia karena dipicu oleh berbagai keadaan dan kondisi internal dan eksternal, lepas dari ikhwal apakah dunia supernatural itu ada atau tidak ada, maka bidang ilmunya dinamakan neuroteologi. Jadi, semua hal yang dikemukakan dalam tulisan ini berada dalam wilayah kajian neuroteologi.
Dalam tulisan ini hanya beberapa pengalaman spiritual, khususnya pengalaman-pengalaman yang paling umum di klaim dialami orang, yang akan disorot. Isi dan bentuk pengalaman-pengalaman ini akan dikemukakan lebih dulu, sesudah itu pandangan neurosains atas pengalaman-pengalaman ini akan dikemukakan. Dampak-dampak pengalaman ini, baik yang positif maupun yang negatif, pada kesehatan mental subjek-subjek yang mengklaim pernah (atau sering) mengalami, juga akan dikemukakan.
Empat korteks besar yang berada di bagian atas otak (disebut "higher brain", otak atas), terdiri atas frontal lobe, parietal lobe, occipital lobe, dan temporal lobe. Sedangkan bagian-bagian yang terletak di bawah (disebut "lower brain", otak bawah) terdiri atas medulla oblongata, pons, dan otak tengah (midbrain). Jika terjadi sesuatu yang menyebabkan otak atas tak berfungsi atau mati, otak bawah masih bisa berfungsi. Jika seluruh lipatan dan lekukan otak atas dibuka dan dibentang, luasnya sampai dua halaman kertas koran besar.

 Pengalaman Dekat Kematian (PDK) (Near-Death-Experience/NDE)    
Orang-orang dari berbagai latar-belakang kebudayaan dan keagamaan dilaporkan sering mengalami apa yang disebut sebagai pengalaman-pengalaman perithanatik (dari kata Yunani perithanatos) atau pengalaman-pengalaman "dekat kematian" (atau "menjelang kematian"). Meskipun ada beranekaragam latar belakang, namun semua pengalaman ini memiliki ciri-ciri umum.
Ciri-ciri umum
1. Muncul cahaya terang yang sangat kuat. Kadangkala cahaya yang sangat kuat ini (namun tak menyakitkan) memenuhi ruangan dalam kamar. Dalam kasus-kasus lainnya, si subjek melihat suatu cahaya yang dirasakannya menampilkan entah surga atau Allah;
2. Keluar dari tubuh (Out-of-Body Experience/OBE). Si subjek merasa bahwa dia telah keluar meninggalkan tubuhnya. Dia dapat memandang ke bawah dan melihat tubuhnya sendiri, dan seringkali dia juga dapat mendeskripsikan tim dokter yang sedang menangani tubuhnya. Dalam beberapa kasus, si subjek sebagai “roh” keluar meninggalkan kamar, menuju angkasa bahkan masuk ke ruang bintang-bintang di antariksa.
3. Memasuki suatu kawasan lain atau dimensi lain. Bergantung pada kepercayaan keagamaan si subjek dan jenis/sifat pengalaman PDK, dia dapat mempersepsi kawasan ini sebagai surga atau, tak terlalu sering, sebagai neraka.
PKT atau OBE membuat “tubuh astral”  (dari kata Latin “astrum”, Yunani “astron”, yang berarti “bintang”) melayang bebas di antariksa, di ruang antarplanet dan antarbintang. Dalam teosofi, “tubuh astral” dipandang sebagai “tubuh” penengah atau“tubuh” perantara” antara dunia materi dan dunia spiritual
4. Melihat makhluk-makhluk rohani. Selama PDK, si subjek berjumpa dengan “makhluk-makhluk cahaya” atau wujud-wujud rohani lain. Dia dapat mempersepsi makhluk-makhluk ini sebagai kekasih-kekasihnya yang sudah mati, malaikat-malaikat, para santa/santo, atau wali bahkan nabi..
5. Masuk ke suatu lorong lurus atau berpilin yang panjang. Banyak orang yang mengalami PDK (Pengalaman Dekat Kematian) mendapati diri mereka sedang berada di suatu lorong yang lurus atau berpilin, yang pada ujungnya terdapat cahaya kemilau. Mereka dapat bertemu dengan makhluk-makhluk rohani ketika sedang melintasi lorong cahaya ini.
6. Berkomunikasi dengan roh-roh. Sebelum PDK (Pengalaman Dekat Kematian) berakhir, banyak subjek melaporkan bahwa mereka berkomunikasi dengan suatu makhluk rohani. Seringkali ini diungkapkan mereka sebagai “suara keras seorang lelaki” yang menyatakan kepada mereka bahwa waktu mereka belum tiba dan karena itu mereka harus kembali ke tubuh mereka. Beberapa melaporkan bahwa mereka diminta untuk memilih apakah terus masuk ke dalam cahaya atau kembali ke tubuh jasmaniah mereka. Orang-orang yang lain merasa bahwa mereka dipaksa untuk kembali ke tubuh mereka oleh suatu perintah yang tak terdengar, yang menurut mereka mungkin dari malaikat.
7. Kehidupan selama di Bumi ditinjau. Ciri ini juga dinamakan “peninjauan panoramik atas kehidupan”. Si subjek melihat seluruh kehidupan mereka ditinjau ulang secara kilas balik, bisa sangat rinci dan bisa juga singkat saja. Si subjek juga dapat merasa bahwa atas dirinya suatu vonis telah dijatuhkan oleh makhluk-makhluk rohani yang ada di dekatnya. 

Tidak semua PDK (Pengalaman Dekat Kematian) menyenangkan atau memberi rasa damai. Ada juga banyak subjek yang ketika mengalami PDK, mereka malah tercekam rasa takut yang hebat, tidak mengunjungi surga atau bertemu roh-roh yang bersahabat, tetapi sebaliknya berjumpa dengan roh-roh jahat, dan masuk ke dalam neraka lalu di sana melihat lautan api dan belerang (seperti digambarkan misalnya dalam kitab-kitab suci), jiwa-jiwa yang dianiaya, dan suatu rasa tersiksa oleh panas yang hebat. Ada juga yang ketika mengalami PDK, mereka mengalami berbagai penglihatan (visi) profetis yang menyingkapkan kepada mereka nasib Bumi dan umat manusia di akhir zaman, atau juga menyingkapkan manusia berevolusi menjadi makhluk-makhluk adi-insani yang memiliki tubuh spiritual atau tubuh cahaya.

PENJELASAN PDK LEWAT NEUROSAINS
PDK (Pengalaman Dekat Kematian) adalah suatu keadaan yang ditimbulkan oleh suatu gangguan tidur yang dinamakan “rapid eye movement (REM) intrusion” yang berlangsung dalam brain stem atau pangkal otak (terdiri atas medulla, pons, dan midbrain atau otak tengah) yang mengendalikan fungsi-fungsi tubuh yang paling mendasar (seperti gerak refleks, fungsi-fungsi otomatis seperti detak jantung dan tekanan darah, gerakan anggota-anggota tubuh, dan fungsi pencernaan dan urinasi).
PDK terjadi karena dipicu oleh peristiwa-peristiwa traumatis, misalnya serangan jantung. Ketika gangguan REM ini terjadi, pikiran seseorang dapat sadar lebih dulu ketimbang tubuhnya, dan kejadian ini umumnya disertai dengan munculnya berbagai halusinasi dan perasaan sedang terpisah dari tubuh. PDK muncul sebagai suatu keadaan kebingungan karena seseorang secara mendadak dan tanpa diharapkan masuk ke dalam suatu keadaan seperti mimpi, sehingga dia tak dapat membedakan mana realitas dan mana fantasi atau mimpi.
Pangkal otak, sebagai bagian dari “otak bawah” (lower brain, yang terdiri atas medulla, pons, midbrain, thalamus, hypothalamus), memungkinkan timbulnya PDK karena bagian otak ini sebetulnya dapat bekerja dan berfungsi lepas sama sekali dari bagian-bagian otak yang terletak di sebelah atas (disebut “higher brain”, yang secara keseluruhan dinamakan cerebrum atau korteks serebral atau korteks saja, dan terdiri atas bagian-bagian besar yang dinamakan frontal lobe, parietal lobe, occipital lobe, dan temporal lobe). Jadi, kalaupun bagian-bagian yang membentuk “otak atas” ini mati, pangkal otak dapat terus berfungsi, dan gangguan REM masih dapat terjadi. 


Pengalaman Keluar dari Tubuh (PKT) (Out-of-Body Experience/OBE)  
(ragah sukma)
PDK/NDE dan PKT/OBE dapat dijelaskan baik lewat teori-teori tentang dunia supernatural (termasuk penjelasan spiritual atau penjelasan keagamaan) yang didasarkan pada kepercayaan, latarbelakang spiritual dan kultural, maupun lewat penjelasan saintifik (mencakup penjelasan-penjelasan medis, fisiologis, neurologis dan psikologis).
Kalau teori-teori supernatural yang dipakai, kedua pengalaman ini pasti dijadikan landasan-landasan untuk membenarkan adanya roh manusia yang bisa meninggalkan tubuh, atau bahwa kesadaran manusia itu bisa lepas dari tubuh namun tetap sadar penuh, atau bahwa manusia itu memiliki selain tubuh jasmaniah, juga “tubuh astral” (dari kata Latin “astrum”= bintang) yang dapat keluar meninggalkan tubuh lalu berkelana ke mana saja tubuh ini, yang tetap memiliki kesadaran, kehendaki.
Masih dalam wilayah psikik/paranormal,  PDK dan PKT juga dipandang sebagai bukti bahwa manusia masih akan mengalami transformasi secara total, menjadi makhluk-makhluk adi-insani dalam dimensi-dimensi lain, dalam wujud makhluk-makhluk spiritual atau makhluk-makhluk cahaya, sebagaimana dilaporkan ditemukan ketika kedua pengalaman ini berlangsung.  





Gambar 5: sebuah ilustrasi indah namun mengagetkan bagaimana “jiwa” atau “roh” keluar meninggalkan tubuh jasmaniah. Betulkah manusia itu “dualistik”, di mana tubuh dan jiwa terpisah, atau “monistik”, di mana tubuh dan jiwa menyatu tak terpisah dan ketika tubuh mati maka jiwapun lenyap?





Bagaimana penjelasan saintifik atas fenomena PDK dan PKT?
Ilmu pengetahuan medis memberi bukti kuat bahwa banyak segi dari kedua fenomena ini bersifat fisiologis, biokimiawi dan psikologis. Para saintis sudah menemukan bahwa obat-obatan yang memberi efek halusinogenis, anestetis dissosiatif dan neurotoksis, seperti ketamine dan PCP (Phencyclidine), atropine dan alkaloid belladonna, DMT (dimethyltryptamine), MDA (methylenedioxy-amphetamine), dan LSD (lysergic acid diethylamide), dapat menimbulkan perasaan-perasaan dalam diri para penggunanya yang nyaris sama dengan perasaan-perasaan yang ditimbulkan PDK dan PKT. Malah beberapa pengguna obat-obat ini berpikir bahwa mereka sebenarnya sedang menuju kematian ketika menggunakannya.
Para neurosaintis telah menemukan bahwa kedua pengalaman yang aneh ini sebetulnya berlangsung tak lepas dari kerja neuron-neuron otak ketika otak kita memproses input data dan informasi yang berasal dari indra-indra. Apa yang kita lihat sebagai “realitas” di sekitar kita sebetulnya hanyalah suatu totalitas semua informasi indrawi yang diterima otak kita pada suatu momen tertentu. Pada waktu anda memandang layar komputer, cahaya (berupa partikel foton) dari layar sampai ke retina mata anda, dan informasi dikirim ke tempat-tempat yang cocok di otak anda untuk menafsirkan pola-pola cahaya dan mengubahnya menjadi sesuatu yang bermakna―dalam hal ini kata-kata yang anda sedang baca.
Suatu sistem saraf dan fiber otot yang lebih rumit pun memungkinkan otak anda mengetahui di mana tubuh anda berada dalam hubungannya dengan ruang di sekitar anda. Tutuplah mata anda, lalu angkatlah tangan kanan anda sampai setinggi ujung kepala anda. Kendatipun anda tak melihat tangan kanan anda yang terangkat itu, anda tahu persis di mana lokasinya. Kenapa? Karena sistem pengindraan dalam otak anda  memungkinkan anda mengetahui di mana tangan kanan anda berada, meskipun anda memejamkan mata anda.
Bayangkanlah semua indra anda keliru berfungsi. Ketimbang otak anda menerima input data indrawi dari dunia objektif di sekitar anda, otak anda menerima informasi yang salah, mungkin dikarenakan obat-obatan, atau disebabkan oleh suatu bentuk trauma yang menyebabkan otak anda tak bekerja. Apa yang anda persepsi sebagai suatu pengalaman real sebenarnya adalah suatu tafsiran yang otak anda sedang coba lakukan atas informasi ini.
Beberapa ahli telah berteori bahwa “kebisingan neural”, yakni suatu keadaan penerimaan informasi yang sangat berlebihan yang dikirim ke korteks visual utama otak, menciptakan suatu gambar seberkas cahaya yang terang berkilauan yang terus bertambah besar secara bertahap. Otak dapat menafsirkan keadaan ini sebagai gerakan memasuki suatu lorong gelap yang di ujungnya cahaya memancar.



Michael Shermer, yang menulis sejumlah buku yang berkaitan dengan kajian neurosains, menjelaskan bahwa obat-obatan halusinogenik dan keadaan kekurangan/ketiadaan oksigen pada otak (keadaan yang dinamakan hypoxia/cerebral anoxia) dapat mengganggu kecepatan normal penembakan neuron-neuron saraf pada korteks visual dalam otak. Ketika hal ini terjadi, "alur-alur" aktivitas neural bergerak menjauhi korteks visual, menuju retina mata. Alur-alur neural ini ditafsirkan oleh otak kita sebagai cincin-cincin atau spiral-spiral konsentris. Spiral-spiral ini dapat "dilihat" sebagai sebuah lorong lurus atau lorong berpilin, yang bergerak menuju retina mata yang di luarnya cahaya terang benderang memenuhi ruang kamar si pasien.
Kemampuan tubuh untuk mengindrai ruang (ini adalah suatu kemampuan korteks parietal lobe) condong keliru berfungsi juga selama seseorang mengalami PDK. Kembali otak anda menafsirkan informasi yang salah tentang di mana tubuh anda berada dalam hubungan dengan ruang di sekitarnya. Akibatnya, anda merasa sedang meninggalkan tubuh anda dan melayang-layang di sekitar ruang kamar. Jika keadaan ini ditambah lagi dengan akibat-akibat trauma dan keadaan kekurangan oksigen (suatu simtom dalam banyak situasi PDK), hal ini akan menciptakan suatu pengalaman menyeluruh bahwa anda sedang mengapung menuju antariksa sementara anda menatap ke bawah ke tubuh anda, lalu anda melayang masuk ke dalam sebuah lorong.
Perasaan damai dan tenang selama PDK dapat timbul dari mekanisme penanggulangan (coping mechanism) yang bekerja dalam otak anda, karena dipicu oleh peningkatan endorfins (zat kimiawi dalam otak yang berfungsi sebagai neurotransmitter, penerus gelombang listrik dalam sistem saraf) yang diproduksi dalam otak selama trauma. Banyak orang merasakan suatu perasaan aneh bahwa dirinya dijauhkan dari tubuhnya dan respons emosionalnya menghilang selama kejadian-kejadian yang traumatis (entah berhubungan atau tidak dengan PDK). Ini adalah akibat yang sama.
PDK atau PKT yang mencakup perkunjungan ke surga atau pertemuan dengan Allah dapat melibatkan banyak faktor yang terkombinasi. Input data yang salah, kekurangan pasokan oksigen, dan euforia yang ditimbulkan oleh endorfins, kerap memunculkan suatu pengalaman surrealis meskipun dirasakan nyata. Ketika si subjek yang mengalami PDK dan PKT mengingat pengalaman perjumpaan ini, pengalaman ini melewati filter pikiran sadarnya. Pengalaman-pengalaman yang aneh yang tampak tak bisa dijelaskan ditafsir sebagai pengalaman-pengalaman bertemu makhluk-makhluk cahaya atau makhluk-makhluk rohani, atau berada dalam dimensi-dimensi lain, atau terlibat percakapan dengan Allah.
Kemampuan untuk melihat dan mendengar kejadian-kejadian selama PDK dan PKT, yang tak mungkin dapat dicerap oleh tubuh mereka yang sudah tak sadar, lebih sulit untuk dijelaskan. Tetapi sangat masuk akal jika kita berpendapat bahwa seseorang yang  sudah tak sadarkan diri (atau mengalami koma) masih dapat mencatat dan mendaftarkan petunjuk-petunjuk indrawi (yang didengarnya dari orang-orang di sekitarnya) dan pengetahuan yang dimilikinya  sebelumnya (segala pengetahuan, termasuk pengetahuan tentang kebudayaannya dan pengetahuan keagamaannya), lalu memasukkan semuanya ke dalam PDK. Hal ini dimungkinkan oleh masih bekerjanya otak bawahnya, seperti sudah dikatakan di atas.

sejumlah area fungsional di otak, seperti korteks somatosensori dan korteks visual, yang jika terpengaruh oleh trauma dapat menimbulkan halusinasi yang ditafsirkan sebagai PDK

Sebagaimana ditemukan oleh neurolog kebangsaan Swiss, Dr. Olaf Blanke, ketika sedang melakukan pemetaan otak seorang pasien (umur 43 tahun) yang sering terserang epilepsi, jika kawasan persinggungan antara korteks temporal lobe dan korteks parietal lobe (dikenal sebagai “Temporal parietal junction”, TPJ), khususnya pada bagiannya yang dinamakan angular gyrus, diberi rangsangan gelombang listrik lewat elektroda, si pasien tiba-tiba saja mengalami PKT/OBE. Kata si pasien ini kepadanya, “Dok, dok, aku melihat diriku sendiri dari atas!”



TPJ selain berfungsi untuk menyatukan dan menyelaraskan berbagai informasi terpisah yang masuk ke dalam otak untuk ditafsirkan, juga berfungsi untuk mengontrol pemahaman atas tubuh dan situasinya di dalam ruang. Jika TPJ tidak bekerja dengan benar, PKT langsung terjadi. Jika informasi apapun yang sedang dipilah bersilangan, seperti informasi tentang di mana posisi kita di dalam ruang, tampaknya kita dapat dibebaskan dari batas-batas tubuh kita, mengalami PKT, sekalipun hanya sebentar.
Kalau PDK dapat muncul dari gangguan REM, yang dipicu di dalam pangkal otak yang terletak pada “lower brain”, PKT dikendalikan oleh kawasan TPJ yang terletak pada “higher brain”, yang secara klinis sudah mati ketika PDK terjadi. Maka tampaknya logis untuk percaya bahwa bagian-bagian otak yang terletak di sebelah atas (“higher brain”) harus masih berfungsi untuk dapat menafsirkan perasaan-perasaan yang ditimbulkan oleh gangguan REM yang dipicu di dalam pangkal otak.
Satu catatan akhir yang sangat penting pada bagian ini harus di kemukakan. Mata kita melihat sesuatu yang real dan kongkret karena ada berkas-berkas cahaya yang dipantulkan sesuatu ini yang masuk ke retina mata kita, lalu input data indrawi ini (dalam wujud partikel foton) diteruskan ke otak dan diubah menjadi informasi neural untuk ditafsirkan otak, sehingga kita bisa melihat dan memahami objek real yang kita lihat ini.
Nah, suatu “tubuh astral” atau suatu “roh” yang tak berdaging, tubuh non-protoplasmik, yang tak memiliki sepasang mata yang real dan kongkret, tentu saja tak bisa menerima input cahaya yang dipantulkan dari tubuh jasmaniah atau dari benda-benda yang termasuk ke dalam dunia empiris. Dengan kata lain, semua pengalaman PDK atau PKT sebetulnya hanyalah halusinasi dan fantasi, tak real ada, yang berlangsung hanya dalam tempurung otak manusia karena dipicu oleh berbagai macam faktor internal maupun eksternal.

“Tubuh astral” non-protoplasmik keluar meninggalkan tubuh protoplasmik (=tubuh berdaging). Tanpa sepasang mata jasmaniah yang harus menerima pantulan berkas cahaya dari benda-benda real untuk bisa melihat, mustahil “tubuh astral” ini bisa melihat benda-benda kongkret dalam dunia empiris!

Dampak PDK dan PKT pada kepribadian  
Sebagaimana banyak survei sudah menunjukkan, dampak yang ditimbulkan oleh PDK dan PKT pada setiap orang yang mengalami, tidak sama.

Ada banyak subjek yang setelah mengalami kedua fenomena “di luar tubuh jasmaniah” ini berubah menjadi orang-orang yang melihat hidup mereka sarat dengan makna dan tujuan yang mereka dengan senang mau capai.  Mereka jadi sangat menghargai kehidupan, mengalami peningkatan cinta kasih dan bela rasa terhadap sesama manusia, makin sabar dan makin penuh pengertian. Mereka merasa makin memiliki kekuatan pribadi yang besar, makin mengalami penguatan rasa keagamaan dan kepercayaan pada dunia spiritual. Mereka tidak lagi takut terhadap kematian karena mereka sudah tahu dan meyakini apa yang akan mereka alami ketika sudah mati. Tetapi tidak sedikit dari antara mereka malah terperosok ke dalam depresi, rasa takut yang berlebihan, berbagai gangguan mental, dan terus terpaku pada ihwal yang menakutkan bahwa mereka nanti akan mati.
Karena perkembangan atau kemunduran kepribadian juga diproses dalam otak, maka kita juga harus mewaspadai bahwa kemunduran kepribadian dan gangguan mental yang terjadi karena pengalaman-pengalaman spiritual, bisa dikarenakan pengalaman-pengalaman ini juga merusak atau mematikan fungsi-fungsi korteks-korteks neural tertentu dalam otak kita.


Pengalaman-pengalaman spiritual ternyata dapat berdampak negatif pada otak

Dalam sebuah artikel yang berjudul “Religious Factors and Hippocampal Atrophy in Late Life”, yang diterbitkan pada 30 Maret 2011 di situs web PLoS One, Amy D. Owen et al.,/6/ dari Duke University, melaporkan hasil-hasil suatu penelitian klinis (memakai manusia sebagai objek-objek yang diteliti, tidak hanya berdasarkan teori-teori) yang mencoba untuk menemukan hubungan antara struktur dan volume  neuroanatomi dalam otak manusia dan pengalaman-pengalaman keagamaan yang mengubah kehidupan seseorang, pelatihan-pelatihan spiritual, dan keanggotaan dalam komunitas keagamaan.



Amy dkk memakai data sampel dari 268 orang usia lanjut (umur 58 tahun ke atas) yang berasal dari orang Protestan yang mengklaim sudah lahir baru (born-again Protestants), orang Katolik, dan orang-orang lain yang tak terikat pada suatu organisasi keagamaan, yang dibandingkan dengan orang Protestan yang tidak menyebut diri orang Kristen yang sudah dilahirkan kembali.
Dengan melakukan brain mapping dan pengukuran volume sirkuit-sirkuit neural dalam otak seluruh sampel melalui teknologi pemindai MRI (Magnetic Resonance Imaging) resolusi tinggi,  penelitian yang dilakukan Amy dkk berhasil menemukan data yang sangat signifikan bahwa pada orang-orang yang mengklaim diri telah pernah mengalami pengalaman-pengalaman spiritual yang mengubah kehidupan mereka, volume struktur hippocampus (lihat lokasinya pada gambar 8 di bawah ini) pada otak kanan dan otak kiri menyusut―bagian otak ini mengerut, menjadi lebih kecil, dan berhenti bekerja.
Hippocampus adalah struktur pusat dari sistim limbik yang terlibat dalam pembentukan emosi dan formasi memori.  Sudah diketahui bahwa volume struktur hippocampus berkaitan langsung dengan keadaan mental manusia dan kekuatan daya ingat. Gangguan mental seperti stres dan depresi, telah diketahui menjadi penyebab terproduksinya hormon stres (cortisol, GH dan norepinephrine) dalam jumlah besar, yang mengakibatkan hippocampus lambat laun mengecil. Mengerutnya hippocampus adalah penyebab neural langsung orang terkena dementia (= penyakit serius kehilangan kemampuan kognitif untuk mengingat, jauh lebih buruk dari yang diharapkan terjadi pada orang yang mulai menua) dan penyakit Alzheimer.

sirkuit-sirkuit neural penting dalam otak manusia yang memiliki koneksi dengan berbagai pengalaman spiritual. Sistem limbik dalam otak manusia, yang terdiri dari amygdala, hippocampus, hypothalamus, dan thalamus (dan bagian-bagian lain yang tak nampak dalam gambar), jika aktif, membawa orang ke dalam pengalaman religius yang menakutkan.

Jadi, pengalaman-pengalaman spiritual yang intens, seperti pengalaman perjumpaan dengan Yesus yang mengubah kehidupan seseorang (yang umum diklaim oleh orang Kristen “lahir baru”), khususnya orang yang sudah berusia lanjut, ternyata memperkecil volume sirkuit hippocampus dalam otaknya, dan keadaan ini tentu akan makin mempercepat kehilangan daya ingat (= pikun) dan makin mempermudah dirinya jatuh ke dalam stres dan depresi. Harus dicatat bahwa pengerutan volume otak secara global jelas dialami oleh manusia usia lanjut secara umum, tetapi tingkat atrofi (= pengerutan) ini berbeda-beda di antara wilayah-wilayah neural dalam otak. 
Jika atrofi pada hippocampus terjadi pada orang beragama di usia lanjut, keadaan ini juga bisa diharapkan muncul pada orang-orang yang berusia lebih muda jika mereka juga terbenam sangat dalam di dalam pengalaman-pengalaman keagamaan yang intens.
Amy dkk menegaskan bahwa penelitian dan pengkajian yang mereka telah lakukan, terbatas hanya pada faktor-faktor neurologis, dan tak memperhitungkan faktor-faktor sosiologis, psikososial dan demografis, yang tentu saja juga berperan besar dalam menimbulkan stres dan rasa cemas pada orang beragama.
Status sosiodemografis sebagai kelompok beragama minoritas jelas menimbulkan stres besar pada kelompok ini ketika mereka mencoba ikut mengatur masyarakat mereka. Orang yang sedang terbenam dalam pergulatan kepercayaan keagamaan, misalnya ketika dia menolak kepercayaan-kepercayaan yang dipegang kelompok arus utama dalam komunitas keagamaannya atau yang dipegang keluarganya, dan mempertahankan pandangannya sendiri, potensial mengalami stres dan konflik batin serta rasa cemas. Mempercayai dan tunduk pada suatu Allah yang dikonsep sebagai Allah pemarah dan penghukum, juga kerap menjadi penyebab timbulnya stres, rasa tak bahagia, dan ketakutan, pada diri banyak orang beragama. Orang yang merasa telah melanggar perintah-perintah Tuhan juga tak akan luput dari serangan stres dan rasa cemas.    
Tetapi, apa yang ditemukan Amy dkk bahwa pengalaman spiritual berfungsi negatif terhadap kesehatan otak manusia bertolakbelakang dengan pandangan yang selama ini dipegang bahwa agama, doa, pelatihan spiritual, meditasi, samadhi, dan berbagai macam faktor keagamaan, berdampak positif pada otak manusia, karena mengurangi kecemasan, rasa takut, stres, depresi, dan meningkatkan pengharapan.
Dalam ulasan pendeknya atas penelitian Amy dkk, seorang neurosaintis terpandang, Andrew Newberg, mengingatkan bahwa hal yang sebaliknya bisa juga terjadi: orang yang sebelumnya memang memiliki hippocampus yang volumenya lebih kecil dibandingkan volume rata-rata, dapat memperlihatkan sifat-sifat keagamaan yang spesifik, misalnya enthusiasme religius yang sangat tinggi, keadaan mudah terseret ke dalam praktek-praktek keagamaan yang emosional, dan keadaan kerap mengalami perjumpaan dengan Tuhan atau malah bercakap-cakap dengan Tuhan sendiri. Tetapi, pada pihak lain, Newberg juga membenarkan bahwa agama mempengaruhi otak manusia, entah secara positif ataupun secara negatif.

Meditasi intens menimbulkan perubahan-perubahan khusus pada otak, khususnya sirkuit hippocampus dan frontal lobes.      
Bermeditasi di tepi pantai, menyatukan diri dengan alam, langit dan jagat raya, lewat pikiran yang terkonsentrasi. Struktur thalamus sangat aktif dalam suatu meditasi yang intens, aktivitas frontal lobe meningkat, dan aktivitas parietal lobe berkurang drastis sehingga kesadaran spasial si pemeditasi lenyap dengan akibat dia merasa menyatu dengan jagat raya
Beberapa kajian ilmiah, sebaliknya, menunjukkan bahwa meditasi yang sangat intens dan dilakukan terus-menerus dan konstan dalam jangka panjang telah memberi dampak positif pada struktur hippocampus dan frontal lobe: (a) selama meditasi yang intens, hippocampus diaktivasi, dan (b) meditasi yang dilakukan dalam jangka panjang dan terus-menerus memperbesar volume hippocampus dan frontal lobe.
Jika aktivitas frontal lobes meningkat, lewat meditasi intens misalnya, sementara aktivitas sistim limbik menurun, maka orang akan merasakan kedamaian dan ketenteraman, karena zat kimiawi endorfins terbentuk dan mengalir deras dalam otak. Semakin orang giat dalam kegiatan intelektual, semakin kuat frontal lobe-nya.
Sebagaimana diuraikan Andrew Newberg & Mark Robert Waldman dalam buku How God Changes Your Brain, frontal lobes menjadikan kita manusia yang unik. Di bagian korteks neuron inilah berakar imajinasi, kreativitas, orisinalitas dan kemampuan bernalar dan berkomunikasi dengan orang lain, dan kemampuan untuk menjadi lebih damai, lebih berbelarasa, dan lebih termotivasi. Bagian ini memungkinkan kita untuk membuat sebuah konsep logis mengenai suatu Allah yang rasional, bijaksana dan pengasih.
Meditasi juga berhubungan erat dengan struktur thalamus dalam otak. Menurut Newberg dan Waldman, thalamus adalah suatu stasiun pemroses besar dalam organ otak manusia: segala pengindraan, suasana atau modus dan isi pikiran melewati organ otak ini ketika informasi diteruskan ke bagian-bagian lain otak. Semakin anda terbenam ke dalam perenungan tentang suatu objek khusus, semakin aktif thalamus anda. Jika thalamus tidak berfungsi lagi, maka orang akan mengalami keadaan koma. Bahkan kerusakan kecil saja pada thalamus, akan menghambat kinerja bagian-bagian lain otak manusia.
Pada thalamus inilah otak kita memberi kita kemampuan untuk merasakan sesuatu yang kita sedang pikirkan sebagai sebuah kenyataan, seolah gagasan-gagasan kita adalah suatu objek yang nyata di dalam dunia ini. Semakin anda memikirkan suatu gagasan berulang kali dan dengan sangat serius, maka thalamus memberi respons berupa sebuah impresi dalam diri anda bahwa gagasan ini adalah suatu objek nyata. Di dalam thalamus inilah makna emosional diberikan kepada pikiran-pikiran kita yang muncul di dalam frontal lobes, sehingga kita tidak ingin dipisahkan dari pikiran-pikiran kita.
Sehubungan dengan agama, thalamus memberi suatu makna emosional pada konsep-konsep anda tentang Tuhan: organ inilah yang membuat anda mencinta Allah anda (atau sebuah gagasan anda tentang Tuhan) dan tidak ingin dipisahkan darinya. Thalamus memberi anda suatu makna menyeluruh mengenai dunia ini dan tampaknya merupakan suatu organ kunci yang membuat Allah terasa objektif dan nyata.
Jika thalamus terus diaktifkan melalui meditasi (yang di dalamnya orang sungguh-sungguh memikirkan gagasan-gagasannya sebagai kenyataan real dalam dunia objektif), maka mereka akan memandang kenyataan secara berbeda dari pandangan yang normal dan biasa. Jika seorang praktisi meditasi tingkat tinggi sungguh-sungguh memikirkan dan memandang Allah, ketenteraman dan kesatuan dengan segala yang ada dalam jagat raya sebagai kenyataan-kenyataan real dalam kehidupan, maka (salah satu) organ thalamus-nya terus aktif (sekalipun dia tidak sedang bermeditasi) dan keadaan ini memberi kepadanya suatu kesadaran yang melampaui keadaan sadar yang biasa: pikiran-pikiran dan keyakinan-keyakinannya bukan lagi ada hanya dalam dunia gagasan, tetapi betul-betul dialaminya dengan jelas dalam dunia nyata. Dalam hal ini, pikiran atau mind menjadi sama dengan atau menghasilkan realitas, tentu dalam arti thalamus memungkinkannya untuk berpikiran, bersikap dan berperilaku sedemikian rupa sehingga segala sesuatu di dalam dan lewat dirinya berjalan selaras dengan atau mewujudkan apa yang dipikirkannya.
Dalam meneliti pengalaman-pengalaman spiritual, Andrew Newberg memakai metode pencitraan otak yang disebut single photon emission computed tomography (SPECT) selama aktivitas keagamaan berlangsung. SPECT menghasilkan gambar-gambar aliran darah dalam otak pada suatu waktu tertentu; makin banyak aliran darah yang masuk, ini menandakan aktivitas otak yang meningkat. 

Newberg meneliti aktivitas otak para rahib Buddhis Tibet ketika mereka sedang bermeditasi. Para rahib ini memberitahu Newberg bahwa mereka akan segera masuk ke dalam suasana meditatif intens dengan menarik seutas dawai. Pada momen ini, Newberg menginjeksikan zat pewarna radioaktif ke dalam pembuluh darah mereka lalu mengambil gambar otak. Seperti dilaporkan dalam artikel Shankar Vedantam, Newberg menemukan bahwa aktivitas di frontal lobe meningkat ketika meditasi mulai berlangsung, menandakan bahwa aktivitas berkonsentrasi sedang berlangsung dalam korteks ini.
Sebagaimana dilaporkan Steve Paulson dalam artikel yang berjudul “Divining the Brain”, Newberg juga menemukan bahwa selama meditasi berlangsung, aktivitas di parietal lobe menurun drastis. Parietal lobe berfungsi antara lain untuk memampukan seseorang menentukan posisinya dalam suatu ruang tiga dimensi. Newberg berpendapat bahwa berkurangnya aktivitas di korteks ini secara drastis ketika para rahib itu sedang bermeditasi menandakan bahwa mereka kehilangan kemampuan mereka untuk membedakan di mana mereka berakhir dan di mana sesuatu yang lain dimulai dalam suatu ruang tiga dimensi. Dengan kata lain, mereka menjadi satu dengan jagat raya, suatu keadaan yang sering digambarkan sebagai suatu momen menyatu dengan “yang transenden”.

Dalam suatu studi lainnya, dengan subjek kajian para biarawati, Newberg (sebagaimana dilaporkan juga oleh Steve Paulson, Ibid.) juga menemukan aktivitas yang sama dalam otak ketika para biarawati ini sedang berdoa kepada Allah, tidak bermeditasi seperti para rahib. Aktivitas di frontal lobe para biarawati ini meningkat ketika mereka mulai memusatkan pikiran mereka pada doa mereka, dan aktivitas di parietal lobe menurun tajam, tampaknya menandakan bahwa mereka telah kehilangan kesadaran diri mereka dalam hubungannya dengan dunia nyata dan dengan begitu mereka dapat masuk ke dalam persekutuan dengan Allah.

Menurut para peneliti gelombang otak (brainwaves), sejalan dengan intensitas penggunaan otak, dari keadaan sadar penuh sampai dalam kondisi yang sangat relaks dan tidur, gelombang otak manusia berubah, dari kondisi beta (sadar, waspada), ke kondisi alfa (relaks, tenang, mengalir, tak berpikir), ke kondisi theta (relaksasi dalam, meditasi, citra mental) sampai ke kondisi delta (tenang sangat dalam, tidur tanpa mimpi).
Tetapi terdapat perbedaan dalam aktivitas otak ketika kajian dilakukan terhadap orang Kristen Pentakostal yang sedang terbenam dalam aktivitas “berbahasa lidah” (glossolalia). Ketika aktivitas keagamaan ini sedang berlangsung, aktivitas frontal lobe mereka malah menurun, dan hal ini menandakan bahwa pikiran mereka tidak terpusat dan mereka tak mampu berkonsentrasi, dan bersamaan dengan menurunnya aktivitas di frontal lobe kemampuan berpikir rasional pun perlahan menghilang, dan suatu impresi tentang suatu Allah yang tidak rasional mulai muncul dan menguat, lalu mengambil kendali atas dirinya.
Ibadah enthusiastik dalam gereja Pentakosta menghanyutkan orang dalam ritual berbahasa lidah, saat di mana korteks frontal lobe dan korteks bahasa dalam organ otak tidak aktif, sehingga hal-hal yang tak terkontrol rasio bebas bermunculan dalam mental para aktivisnya
Bahwa mereka mulai membangun suatu gambaran tentang Allah yang tidak rasional, yang mengambil kendali atas kesadaran diri dan rasionalitas mereka, diperlihatkan juga oleh tidak aktifnya pusat bahasa dalam otak (Steve Paulson) (untuk korteks bahasa dalam otak) meskipun mereka sedang aktif berbahasa lidah. Keadaan aktivitas otak yang semacam ini memang sejalan dengan kepercayaan kalangan Pentakostal bahwa dalam berbahasa lidah, mereka kehilangan kendali atas diri sendiri dan tak mampu berpikir rasional, sebab yang sekarang berkuasa atas diri mereka dan sedang berbicara lewat lidah mereka adalah sesuatu yang lain, yang mereka yakini sebagai Allah atau Yesus yang sedang berfirman melalui mereka. Apapun yang diucapkan lewat lidah mereka ketika mereka sedang berada dalam situasi mental semacam ini, semuanya tak terkontrol oleh akal budi mereka.

Menciptakan sendiri pengalaman-pengalaman spiritual

Jika semua pengalaman religius yang digambarkan di atas, dalam kaitan dengan PDK dan PKT, meditasi para rahib, kegiatan doa para biarawati, dan aktivitas berbahasa lidah orang Kristen kharismatik/Pentakostal, hanyalah aktivitas berbagai bagian neural dalam otak, maka muncul sebuah pertanyaan: Apakah Tuhan atau suatu kekuatan adikodrati hanya ada di dalam tempurung kepala kita? Jika memang demikian halnya, apakah tanpa lewat meditasi, tanpa lewat doa, dan tanpa lewat kegiatan berbahasa lidah, tanpa keharusan berpuasa, kita semua dapat langsung mengalami atau menciptakan sendiri berbagai pengalaman mistikal itu?
Neurosaintis Michael A. Persinger berpendapat, ya kita dapat menciptakan sendiri semua pengalaman keagamaan yang kita kehendaki. Persinger telah menulis sebuah buku bagus, berjudul Neuropsychological Bases of God Beliefs.
Menurutnya, setelah melakukan banyak eksperimen klinis, semua kepercayaan kepada Allah dan semua pengalaman spiritual/paranormal (seperti PKT/OBE, atau perasaan kuat bahwa sesuatu yang supernatural, Allah atau malaikat atau suatu demon/setan, hadir dekat kita, yang disebutnya “a sensed presence”) memiliki basis fakta bukan di dunia adikodrati, melainkan pada kerja neuron-neuron otak kita, yakni ketika temporal lobes dari otak kiri (wilayah neural dalam organ otak, yang terletak persis di atas telinga) diberi rangsangan medan elektromagnetik secara teratur lewat elektroda yang dipasang pada sebuah helm yang sudah dimodifikasi, lalu helm ini, yang dikenal sebagai “God Helmet”, dipasang pada kepala si subjek yang sedang diteliti.
Rangsangan medan elektromagnetis ini menimbulkan apa yang disebut temporal lobe transients, yakni peningkatan dan ketidakstabilan pola-pola penembakan neuron-neuron otak dalam aktivitas elektrokimiawi pada wilayah temporal lobe ini. Ketika keadaan ini tercipta di temporal lobe otak kiri, sehingga tak terjadi sinkronisasi antara otak kiri dan otak kanan, temporal lobe pada otak kanan mengalami gangguan, dan gangguan pada otak kanan ini ditafsirkan oleh otak kiri sebagai suatu “kehadiran diri lain” atau suatu “kehadiran yang dirasakan.” Pada kondisi kerja otak yang normal, temporal lobe otak kiri dan temporal lobe otak kanan secara sinkron dan harmonis memberi kesadaran pada diri kita bahwa kita ini memiliki “satu identitas” diri; ketika sinkronisasi dan harmoni antara keduanya tak terjadi, temporal lobe otak kiri menafsirkan “jati diri” yang muncul dalam temporal lobe otak kanan sebagai “suatu diri yang lain” (Tuhan, nabi, wali malaikat, bahkan iblis).
“God Helmet” yang digunakan Persinger dalam studi-studinya mendapat perhatian kalangan luas. Kurang lebih 80 % pengguna helm khusus ini merasa ada suatu kehadiran spiritual di sisi mereka ketika pengujian sedang dijalankan.
Ketika helm istimewa ini selama 40 menit dikenakan pada Prof. Richard Dawkins, seorang ateis dan kritikus agama, biologiwan yang termasyhur ini tak berhasil mengalami perasaan dihadiri Allah di sisinya, tetapi pernafasan dan anggota-anggota tubuhnya terpengaruh oleh helm ini. Mungkinkah keadaan yang dialami Dawkins ini menunjukkan bukan kegagalan kerja God Helmet, tetapi karena Dawkins, seperti dikatakan Uskup Stephen Sykes dalam konteks lain, tidak memiliki “bakat untuk agama”? Atau, barangkali Dawkins, selama uji coba helm istimewa itu, melakukan perlawanan mental terhadap situasi yang di atas disebut temporal lobe transients?

Michael Shermer, misalnya, seorang skeptik dan penulis banyak buku kajian neurosains, pernah juga menjadikan dirinya subjek uji coba God Helmet. Pada uji coba ronde pertama, karena dia tidak percaya dan melakukan perlawanan mental terhadap suasana neurologis yang ditimbulkan helm ini, dan ingin mengontrolnya, dia gagal mengalami fenomena paranormal. Tetapi pada uji coba ronde kedua, ketika dia menuruti kekuatan magnetisme yang melanda temporal lobe-nya, dia sedikit banyak terhanyut ke dalam suatu pengalaman yang dirasakannya aneh dan tak biasa, seperti diakuinya dalam bukunya,/16/ bahwa dia merasa sedang terlibat dalam suatu pertempuran sengit antara bagian rasional dan bagian emosional otaknya "untuk memutuskan apakah perasaan bahwa aku ingin meninggalkan tubuhku sendiri adalah suatu perasaan yang real."

Meskipun God Helmet-nya gagal bekerja pada diri Richard Dawkins, si pembuat helm ini, Persinger, tidak patah semangat. Menurutnya, kepekaan temporal lobes terhadap magnetisme berbeda-beda dalam diri setiap orang, dan orang-orang yang mengidap temporal lobe epilepsy (TLE) khususnya sangat sensitif terhadap medan magnet.

Bahkan Persinger berpendapat bahwa ada orang yang secara genetik memiliki kecondongan untuk bisa merasakan dan terpengaruh oleh sesuatu yang “adi kodrati”, dan mereka yang semacam ini tidak memerlukan God Helmet untuk mengalami pengalaman-pengalaman keagamaan. Menurutnya, medan elektromagnetik yang tercipta secara alamiah (lewat kejadian alam) dapat juga memunculkan pengalaman-pengalaman keagamaan.
Selain lewat rangsangan medan elektromagnetis pada korteks-korteks otak, PKT atau OBE juga dapat dialami, sebagaimana disarankan Prof. Richard Wiseman dalam bukunya Paranormality, lewat latihan-latihan yang mencakup relaksasi (yang disebutnya "relaksasi otot progresif", dengan mula-mula menegangkan berbagai otot di seluruh tubuh anda, lalu melepas semua ketegangan otot itu), visualisasi (membayangkan di depan anda berdiri duplikat diri anda, yang selanjutnya melakukan berbagai kegiatan di dalam ruang di mana anda berada atau di luar ruang), dan konsentrasi (pusatkan pikiran anda pada satu tujuan anda: menyatu dengan duplikat diri anda, dan melaksanakan semua yang anda telah bayangkan dilakukan oleh duplikat diri anda). Pada bagian akhir uraiannya tentang OBE, Wiseman menulis, "OBE bukan paranormal dan tidak memberi bukti adanya jiwa manusia, melainkan menyingkapkan sesuatu yang jauh lebih luar biasa mengenai kerja otak dan tubuh anda sehari-hari.

Siapapun, kapan pun dan di mana saja, dapat mengalami berbagai pengalaman keagamaan yang sudah dikemukakan di atas, jika berada dalam situasi dan kondisi berikut ini: kekurangan oksigen (misalnya ketika sedang berada di puncak gunung sangat tinggi), menghirup carbon dioksida (CO2) dalam jumlah berlebih (keadaan klinis yang dinamakan hypercardia), mengalami trauma, kehilangan banyak darah, terserang penyakit-penyakit berat (seperti serangan jantung, epilepsi, dan trauma pada otak), sedang terserang stres dan depresi, meminum obat-obat yang berefek halusinogenis, anastetis dan neurotoksis, menerima rangsangan gelombang elektromagnetis pada korteks-korteks otak, pikiran yang terkonsentrasi, mengalami kelelahan berat dan kurang tidur yang berlarut-larut, dan kecondongan-kecondongan genetik.
Tak pelak lagi, harus disimpulkan bahwa berbagai pengalaman spiritual yang di antaranya sudah diuraikan di atas bisa berlangsung bahkan dengan sangat intens karena organ otak manusia memang memiliki berbagai kemampuan neural untuk menimbulkan pengalaman-pengalaman itu. Semua pengalaman spiritual dengan demikian terhubung sangat kuat, hard-wired, dengan neuron-neuron dalam organ otak; atau sebaliknya, otak manusia hard-wired dengan pengalaman spiritual. Dengan kata lain, “roh” (spirit) atau “pikiran” (mind) manusia ada karena otak bekerja. Otak dan “roh” tak terpisah; otaklah yang memunculkan “roh”. Tanpa organ otak, tak ada roh. Tanpa tubuh, tak ada pikiran. Keduanya menyatu, tak terpisahkan. Kalau tubuh mati, maka “roh” dan pikiran pun lenyap, tidak pergi ke “suatu tempat” lain dalam dunia immaterial.
Sebagaimana telah diuraikan di atas, ketika dalam suatu pengalaman spiritual seseorang merasa “roh”-nya keluar dari tubuhnya, atau terbang melayang ke angkasa, perasaan ini timbul karena aktivitas otaknya, tak lebih dan tak kurang. Sesuatu sedang terjadi bukan di luar otaknya, bukan di dalam dunia immaterial adikodrati, tetapi di dalam tempurung kepalanya, di dalam organ lunak keabu-abuan yang beratnya 1,5 kg, yang kita namakan otak.
Michael Shermer dalam bukunya, The Believing Brain,/19/ dengan bagus menyatakan, “Pikiran adalah apa yang dikerjakan otak. Tidak ada apa yang disebut ‘pikiran’ pada dirinya sendiri, di luar aktivitas otak. Pikiran hanyalah sebuah kata yang kita gunakan untuk mendeskripsikan aktivitas neurologis dalam otak. Jika otak tak ada, pikiran juga tak ada. Kita mengetahui ini karena jika suatu bagian dari otak hancur karena stroke atau kanker atau luka atau pembedahan, apapun yang bagian otak yang rusak itu sebelumnya lakukan, kini lenyap sama sekali.... [T]anpa koneksi-koneksi neural dalam otak, pikiran tidak ada.” Jadi, tak ada zat yang dinamakan roh atau pikiran yang faktual bisa lepas dari tubuh manusia.
Selanjutnya perlu diketahui bahwa para neurosaintis bukan saja menyelidiki hubungan pengalaman keagamaan dan otak dengan memakai orang pada masa kini sebagai subjek-subjek uji coba klinis, tetapi mereka juga menerapkan perspektif neurosains pada orang-orang suci zaman yang sudah sangat lampau, yang dikisahkan dalam kitab-kitab suci pernah mengalami pengalaman paranormal.
Jauh lebih belakangan, mistikus Spanyol Santa Teresa dari Avilla (1515-1582), dan juga salah seorang pendiri Gerakan Adventis Hari Ketujuh Ellen White (lahir 1827), dianggap menderita gangguan mental TLE. Ellen White diketahui mengalami luka pada otaknya ketika dia berumur 9 tahun, dan trauma ini mengubah seluruh kepribadiannya sehingga dia mengklaim menerima banyak penglihatan keagamaan yang kuat.
Menyadari bahwa berbagai pengalaman keagamaan ternyata berhubungan erat dengan kondisi-kondisi otak manusia, bahkan dipicu oleh kerja neuron-neuron dalam otak kita, sudah seharusnya kenyataan ini membuat kita juga mau membangun suatu sikap kritis terhadap pengalaman-pengalaman keagamaan kita sendiri. Paling tidak, karena hubungan pengalaman keagamaan dan otak adalah sesuatu yang umum dijumpai di mana-mana dan dalam berbagai zaman, kita tidak perlu lagi memandang pengalaman keagamaan kita sebagai suatu pengalaman yang unik dan tidak ada tandingannya.
Sikap kritis kita terhadap pengalaman keagamaan atau pengalaman spiritual kita sendiri setidaknya akan membuat kita sadar bahwa tidak semua pengalaman keagamaan akan menghasilkan kebaikan dan manfaat baik bagi kita sendiri maupun bagi orang lain. Jika pengalaman keagamaan kita menghasilkan lebih banyak keburukan dan nestapa dalam dunia ini, lebih baik kita tidak lagi menggantungkan diri kita pada pengalaman ini. Sebaliknya, jika ada banyak hal positif yang bisa dihasilkan oleh pengalaman keagamaan kita, pengalaman ini dapat kita pakai untuk membangun kepribadian kita dan kepribadian komunitas kita.

PENUTUP
itulah kajian tentang manusia menurut neurosains. dan jika di perbandingkan dengan ilmu fisika, hal ini akan berbeda lagi kesimpulannya. penelitian tersebut akan termentahkan, dengan logika-logika ilmu fisika quantum. patut kita ketahui bahwa, alam semesta ini terdiri dari materi dan energi. yang dimana hukum kekekalan energi mengatakan bahwa, energi tidak bisa di ciptakan. energi hanya bisa di pindahkan. tidak ada energi tidak ada materi. tidak ada materi tidak ada energi.
so, butuh kajian yg lebih panjang lagi untuk membahasnya..!!
[Continue reading...]
 
Copyright © . pepaya boyolali - Posts · Comments
Theme Template by pepaya-boyolali · Powered by Blogger