Thursday 19 June 2014

BOLEHKAH MUI (MAJELIS ULAMA INDONESIA) MENGELUARKAN FATWA HARAM?

BOLEHKAH MUI (MAJELIS ULAMA INDONESIA) MENGELUARKAN FATWA HARAM?

Pendahuluan
Dalam beraktivitas, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyatakan sesuatu haram dengan fatwa. Benarkah tindakan ini? Terjemahan Al Quran yang digunakan dalam makalah ini adalah terjemahan Departemen Agama RI dalam freeware Al Quran digital vesi 2.1.

Hanya Allah yang Berhak Mengharamkan dan Menghalalkan Sesuatu
Yang berhak menyatakan sesuatu haram atau halal hanyalah Allah. Ayat 7:33 menunjukkan bahwa yang mengharamkan sesuatu adalah Tuhan Nabi Muhammad, yaitu Allah sedangkan ayat 6:145 menunjukkan bahwa penetapan haram atau tidak haram sesuatu adalah berdasarkan wahyu dari Allah.

7:33. Katakanlah: "Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui."

6:145. Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi - karena sesungguhnya semua itu kotor - atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa, sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."

Tambahan, Allah juga yang menghalalkan sesuatu (5:87).

5:87. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.

Jadi sangat jelas bahwa hanya Allah saja yang berhak mengaramkan dan menghalalkan sesuatu.

Larangan Pengharaman dan Penghalalan Sesuatu Oleh Manusia
Dalam sejarah, manusia pernah mengharamkan sesuatu atas kemauannya sendiri dan Allah melarangnya seperti tersirat dalam 10:59 dan 16:116.

10:59. Katakanlah: "Terangkanlah kepadaku tentang rezki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal." Katakanlah: "Apakah Allah telah memberikan izin kepadamu (tentang ini) atau kamu mengada-adakan saja terhadap Allah ?"

16:116. Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta "ini halal dan ini haram", untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung.

Bahkan, Nabi Muhammad pun tidak berhak mengharamkan sesuatu. Itu tersurat dalam 66:1.

66:1. Hai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah halalkan bagimu; kamu mencari kesenangan hati isteri-isterimu? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang

Bagaimana dengan MUI?
Kalau Nabi Muhammad saja tidak berhak mengharamkan sesuatu, apakah MUI masih ingin mengharamkan sesuatu? Allah sudah mengindikasikan tentang keberadaan kebanyakan manusia yang ingin menyesatkan manusia dalam penetapan halal atau haram berdasarkan hawa nafsu tanpa pengetahuan (6:119).

6:119. Mengapa kamu tidak mau memakan (binatang-binatang yang halal) yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya, padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya. Dan sesungguhnya kebanyakan (dari manusia) benar benar hendak menyesatkan (orang lain) dengan hawa nafsu mereka tanpa pengetahuan. Sesungguhnya Tuhanmu, Dia-lah yang lebih mengetahui orang-orang yang melampaui batas.

Keputusan MUI untuk mengharamkan sesuatu yang menjadi hak Allah merupakan tindakan yang keliru dan sangat berbahaya. Sebagian umat islam mungkin beranggapan bahwa fatwa MUI adalah dari Allah sehingga mereka takut dan menaatinya. Padahal, fatwa tersebut adalah hanya merupakan suatu pendapat. Secara tidak sadar mereka akan menjadikan ulama menjadi tuhan selain Allah dan ini pernah terjadi pada umat jaman dahulu. Umat jaman dahulu menjadikan orang alim dan para rahib sebagai tuhan selain Allah (9:31). Dalam penjelasan pada catatan kaki terjemahan ayat tersebut disebutkan bahwa mereka mematuhi ajaran-ajaran orang-orang alim dan rahib-rahib mereka dengan membabi buta, biarpun orang-orang alim dan rahib-rahib itu menyuruh membuat maksiat atau mengharamkan yang halal.

9:31. Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.

Pemberian Fatwa Adalah Hak Allah
Jika ada umatnya yang meminta fatwa tentang sesuatu kepada Nabi Muhammad, beliau tidak memberinya. Yang menjawab fatwa itu adalah Allah sendiri. Contohnya adalah seperti yang tersurat dalam ayat 4:27 dan 4:176 berikut ini.

4:127. Dan mereka minta fatwa kepadamu tentang para wanita. Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang mereka, dan apa yang dibacakan kepadamu dalam Al Quran(juga memfatwakan) tentang para wanita yatim yang kamu tidak memberikan kepada mereka apa yang ditetapkan untuk mereka, sedang kamu ingin mengawini mereka dan tentang anak-anak yang masih dipandang lemah. Dan (Allah menyuruh kamu) supaya kamu mengurus anak-anak yatim secara adil. Dan kebajikan apa saja yang kamu kerjakan, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahuinya.

4:176. Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki dan perempuan, maka bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.

Mengapa Nabi tidak menjawabnya sendiri? Jawabannya adalah karena Nabi Muhammad diperintahkan untuk memberi peringatan hanya dengan wahyu (21:45).

21:45. Katakanlah (hai Muhammad): "Sesungguhnya aku hanya memberi peringatan kepada kamu sekalian dengan wahyu dan tiadalah orang-orang yang tuli mendengar seruan, apabila mereka diberi peringatan"

Kesimpulan
Hanya Allah yang berhak menghalalkan dan mengharamkan sesuatu. Tindakan MUI untuk mengharamkan seuatu dengan fatwa adalah keliru.

0 komentar:

 
Copyright © . pepaya boyolali - Posts · Comments
Theme Template by pepaya-boyolali · Powered by Blogger