Kesadaran Diri
Dalam filsafat kontemporer secara hakiki terpusat pada pribadi
manusia. Boleh jadi, tanpa situasi historis kita tidak bisa memahami apa dan
esensi diri yang sebenarnya. Al Qur'an membuka pintu dunia baru, tentang kesadaran
diri secara berurutan sampai kepada kesadaran yang universal.
Ungkapan ini tidak terikat oleh suatu aliran tertentu, tetapi
muncul ketika manusia dihadapkan pada persoalan untuk memikirkan eksistensi.
Dimana keberadaannya bagaikan terlempar begitu saja. "Aku" yang
kehilangan arah, berpaling dari dirinya sendiri, ia mawas diri dan menyelidiki
dirinya. Demikianlah suatu motif yang mula-mula bersifat historis dan
psikologis berubah menjadi suatu pertanyaan filosofis yang mendesak :
"Siapakah aku ini? Dengan kegembiraan dan harapanku? Apakah tujuan hidup
ini? Apakah artinya? Mengapa aku bereksistensi? Dan bukannya tidak
bereksistensi?"
Mengemukakan masalah mengenai pribadi dalam ungkapan-ungkapan
tersebut, berarti mengemukakan masalah kebebasan, masalah tanggung jawab. Hal
ini membawa kita kepada penelitian mengenai dasar dari asal usul. Baik dari
sisi kebebasan maupun dari sisi tanggung jawab. Hal tersebut akhirnya
memunculkan masalah ke-Tuhanan. Apakah Allah itu masuk dalam definisi manusia
atau tidak? Apakah eksistensi manusia itu bersifat teosentris ataupun
antroposentris? Partisipasi ataupun cukup dalam dirinya sendiri? Ada apakah
dengan pernyataan ulama populer "man arafa nafsahu faqad arafa
rabbahu?" (barang siapa tahu akan dirinya, maka ia tahu akan Tuhannya).
Dalam arti yang sebenarnya, kata "eksistensi" berarti
data kosmis, sejauh manusia yang terlibat secara aktif di dalamnya. Hubungan
erat antara masalah manusia dan masalah ke-Tuhanan, terlihat baik pada mereka
yang mengingkari Allah maupun pada mereka yang mengikuti-Nya. Kecenderungan
tersebut pada dasarnya merupakan naluri manusia yang tidak bisa dipungkiri dan
merupakan fitrah manusia.
Mengatakan bahwa setiap pribadi memiliki naluri religiusitas dalam
pengertian apapun, baik yang sejati maupun yang palsu. Sebenarnya adalah sama
dengan mengatakan bahwa setiap pribadi memiliki naluri untuk berkepercayaan.
Dalam tinjauan antropologi budaya, Naluri itu muncul berbarengan dengan hasrat
memperoleh kejelasan tentang hidup ini sendiri dan alam sekitar yang menjadi
lingkungan hidup itu. Karena itu setiap orang dan masyarakat pasti mempunyai
keinsafan tertentu tentang apa yang dianggap "pusat" atau
"sentral" dalam hidup seperti dikatakan oleh Mircea Elidae :
"Setiap orang cenderung, meskipun tanpa disadari mengarah ke
pusat dan menuju pusat sendiri, dimana ia akan menemukan hakekat yang utuh
yaitu rasa kesucian. Keinginan yang begitu mendalam berakar dalam diri manusia
untuk menemukan dirinya pada inti wujud hakiki itu di pusat alam, tempat
komunikasi dengan langit menjelaskan penggunaan dimana akan ungkapan pusat alam
semesta"
Disini kita akan mencoba menelusuri secara beruntun dari dasar
sekali. Al Qur'an menyebutkan dalam Surat Adz Dzaariyaat ayat 21:
"Dan juga pada dirimu, maka apakah kamu tiada
memperhatikan" (QS 51:21)
Juga dalam surat Al Hijr ayat 28-29 :
"Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat
: sesungguhnya Aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering
(yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk. Maka apabila Aku telah
menyempurnakan kejadiannya dan telah meniupkan ke dalamnya Ruh (cipataan)Ku,
maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud" (QS 15:28-29).
Dalam kerangka ini kita mengambil garis yang jelas dari peristiwa
kejadian manusia, dimana para makhluk baik itu setan maupun malaikat
mempertanyakan kebijakan Allah yang akan menciptakan manusia, yang menurut
pandangan malaikat "manusia" adalah makhluk yang selalu membuat
keonaran dan pertumpahan darah (QS 2:30). Tidak kalah sengitnya setan memprotes
keberadaan manusia yang dipandang rendah, yang hanya diciptakan dari unsur
tanah, sambil membanggakan dirinya yang dibuat dari api.
Dalam keadaan ini para malaikat gigit jari dan begitu
terheran-heran : rahasia macam apa ini? Bumi yang hina-dina dipanggil kehadirat
Zat yang maha tak terjangkau dengan segenap kehormatan dan kemuliaan ini.
Kelembutan ilahi dan kebijakan Tuhan berbisik lembut ke dalam
relung rahasia dan misteri malaikat, "Aku tahu apa
yang tidak kalian ketahui " (QS :2:30).
Raga manusia termasuk kedalam derajat terendah, sementara ruh
manusia termasuk ke dalam derajat tertinggi. Hikmah yang terkandung dalam hal
ini ialah bahwa manusia mesti mengemban beban amanat pengetahuan tentang Allah.
Karena itu mereka harus mempunyai kekuatan dalam kedua dunia ini untuk mencapai
kesempurnaan. Sebab tidak sesuatupun di dunia ini yang memiliki kekuatan yang
mampu mengemban beban amanat. Mereka mempunyai kekuatan ini melalui esensi
sifat-sifatnya (sifat-sifat ruhnya), bukan melalui raganya.
Karena ruh manusia berkaitan dengan derajat tertinggi dari yang
tinggi, tidak satupun di dunia ruh yang menyamai kekuatannya, entah itu
malaikat maupun setan sekalipun atau segala sesuatu lainnya. Demikian pula,
jiwa manusia berkaitan dengan derajat yang paling rendah, sehingga tidak
sesuatupun di dunia jiwa bisa mempunyai kekuatannya, entah itu hewan dan
binatang buas atau yang lainnya. Ketika mengaduk dan mengolah tanah, semua
sifat hewan dan binatang buas, semua sifat setan, tumbuh-tumbuhan dan
benda-benda mati diaktualisasikan. Hanya saja, tanah itu dipilih untuk
mengejawantahkan sifat "dua tangan-Ku". Karena masing-masing sifat
tercela ini hanyalah sekedar kulit luarnya saja, di dalam setiap sifat itu ada
mutiara dan permata berupa sifat Ilahi.
Penjelasan di atas merupakan urutan ungkapan mengenai hakekat diri
yang sebenarnya, dimana manusia sebagai makhluk yang sangat lemah dan hina
disisi lain dinobatkan sebagai "khalifah" (wakil Allah). Bertugas
mengatur alam semesta dan merupakan wakil Allah untuk menjadi saksi-Nya serta
mengungkapkan rahasia-rahasia firman-Nya. Para mahkluk yang lain tidak melihat
ada dimensi yang tidak bisa dijangkau olehnya, ia hanya mampu melihat pada
tingkat yang paling rendah dalam diri manusia. Sementara ia terhijab oleh
ketinggian derajat manusia yang berasal dari tiupan Ilahi (QS 15:28-29).
Ungkapan hakikat manusia mengacu kepada kecenderungan tertentu
secara berurutan dalam memahami manusia. Hakikat mengandung makna sesuatu yang
tetap, tidak berubah-ubah. Yaitu identitas esensial yang menyebabkan sesuatu
menjadi dirinya sendiri.
Al Ghazaly yang hidup pada abad pertengahan tidak terlepas dari
kecenderungan umum pada zamannya dalam memandang manusia. Didalam buku-buku
filsafatnya ia mengatakan bahwa manusia mempunyai identitas esensial yang
tetap, tidak berubah-ubah yaitu an nafs (jiwanya). Yang dimaksud an nafs adalah
substansi yang berdiri sendiri, tidak bertempat dan merupakan tempat
pengetahuan intelektual (al makulat) yang berasal dari alam malakut atau alam
amr. Ini menunjukkan esensi manusia bukan fisiknya dan bukan fungsi fisik.
Sebab fisik adalah sesuatu yang mempunyai tempat. Dan fungsi fisik adalah
sesuatu yang tidak berdiri sendiri. Keberadaannya tergantung kepada fisik. Alam
al amr atau alam malakut adalah realitas di luar jangkauan indra dan imajinasi,
tanpa tempat, arah dan ruang. Sebagai lawan dari alam al khalq atau alam mulk
yaitu dunia tubuh dan aksiden-aksidennya esensi manusia, dengan demikian an
nafs adalah substansi immaterial yang berdiri sendiri dan merupakan subyek yang
mengetahui (Bashirah).
Untuk membuktikan adanya substansi immaterial yang disebut an
nafs, Al Ghazaly mengemukakan beberapa argumen. Persoalan kenabian, ganjaran
perbuatan manusia dan seluruh berita tentang akhirat tidak ada artinya apabila
an nafs tidak ada, sebab seluruh ajaran agama hanya ditujukan kepada yang ada
(al maujud) yang dapat memahaminya. Yang mempunyai kemampuan bukanlah fisik
manusia sebab apabila fisik manusia mempunyai kemampuan memahami, obyek-obyek
fisik lainnya juga mesti mempunyai kemampuan memahami. Kenyataannya tidak
demikian, argumen bersifat keagamaan ini bagaimanapun tidak dapat meyakinkan
orang yang ragu terhadap kenabian dan hari akhirat. Karena untuk mempercayai
argumen ini orang terlebih dahulu harus percaya akan kenabian dan hari akhirat.
Selain itu Al Ghazaly juga mengemukakan pembuktian dengan
kenyataan faktual dan kesederhanaan langsung, yang kelihatannya tidak berbeda
dengan argumen-argumen yang dibuat oleh Ibnu Sina (wafat 1037 M) untuk tujuan
yang sama, melalui pembuktian dengan kenyataan faktual. Al Ghazaly
memperlihatkan, bahwa diantara makhluk-makhluk hidup terdapat
perbedaan-perbedaan yang menunjukkan tingkat kemampuan masing-masing.
Keistimewaan makhluk hidup dari benda mati adalah sifat geraknya. Benda mati
mempunyai gerak monoton dan didasari oleh prinsip alam. Sedangkan tumbuhan
adalah makhluk hidup yang paling rendah tingkatannya, selain mempunyai gerak
yang monoton, juga mempunyai kemampuan bergerak secara bervariasi. Prinsip
tersebut disebut jiwa vegetatif. Hewan mempunyai prinsip yang lebih tinggi dari
pada tumbuh-tumbuhan, yang menyebabkan hewan, selain mampu bergerak bervariasi
juga mempunyai rasa. Prinsip ini disebut jiwa sensitif. Manusia selain
mempunyai kelebihan dari hewan, juga mempunyai semua yang dimiliki jenis-jenis
makhluk tersebut, disamping mampu berpikir dan mempunyai pilihan untuk berbuat
atau untuk tidak berbuat. Ini berarti manusia mempunyai prinsip yang
memungkinkan berpikir dan memilih. Prinsip ini disebut an nafs al insaniyyat.
Prinsip inilah yang betul-betul membedakan manusia dari segala makhluk lainnya.
Argumen kesadaran langsung yang dikemukakan seorang manusia
menghentikan segala aktivitas fisiknya, sehingga ia berada dalam keadaan tenang
dan hampa aktivitas. Ketika ia menghilangkan segala aktivitasnya, menurut Al
Ghazaly, ada sesuatu yang tidak hilang di dalam dirinya yaitu
"kesadaran" yakni kesadaran akan dirinya. Ia sadar bahwa ia ada.
Bahkan ia sadar bahwa ia sadar. Pusat kesadaran itulah yang disebut an nafs al
insaniyyat (diri sejati). Dikatakan dalam suatu tafsir shafwatu at tafasir
karangan prof. As Shabuny mengenai surat Al Qiyaamah ayat 14:
"akan tetapi di dalam diri manusia ada bashirah (yang
tahu)"(QS 75:14).
Kata bashirah ini disebut sebagai yang tahu atas segala gerak
manusia yang sekalipun sangat rahasia. Ia biasa menyebut diri (wujud)-nya
adalah "Aku".
Wujud "Aku" yang memiliki sifat tahu yang memperhatikan
dirinya atas perilaku hati, kegundahan, kebohongan, kecurangan, serta kebaikan.
Ia tidak pernah bersekongkol dengan perasaan dan pikiran, ia jujur dan suci,
sehingga manusia, setan dan jin tidak bisa menembus alam ini karena ia sangat
dekat dengan Allah sekalipun manusia itu jahat dan kafir. Adalah pernyataan
Allah atas pengangkatan sebagai wakil Allah, sehingga Allah menyebut tentang
"Aku" ini sebagai ruh-Ku. Yang oleh As Shabuny sebagai penghormatan
yang maha tinggi seperti penghormatan Allah terhadap Baitullah (rumah Allah).
Ketika itu yang disadari bukan fisik dan yang sadarpun bukan
fisik. Kesadaran di sini tidak melalui alat, tetapi bersifat langsung. Oleh
karena itu subyek yang sadar itu jelas bukan fisik dan bukan fungsi fisik
melainkan sesuatu substansi yang berbeda dengan fisik.
Mungkin juga dikatakan di sini tidak bersifat langsung, tetapi
melalui perantara, yaitu melalui perbuatanku. Dalam perbuatanku ada yang
mendahului, yaitu kesadaran akan aku yang menjadi subyek perbuatan itu.
Kesadaran di sini bagaimanapun bersifat langsung dan terlepas dari aktivitas
fisik. Dengan demikian subyek yang sadar, yang menjadi esensi manusia itu nyata
ada dan merupakan substansi yang berbeda dengan fisik. Hal ini terbukti ketika
manusia kehilangan aktivitas pada moment menjelang tidur. Sang "Aku"
(kesadaran) mengetahui dengan sadar peristiwa yang dialami pada saat bermimpi.
Begitupun kehidupan keruhanian dalam mendasari kesadaran ihsan dengan
menghentikan aktivitas fisik sebagai kendali sahwati, maka yang timbul adalah
kesadaran diri yang mampu menembus alam malakut dan uluhiah. Dimana manusia
mencapai puncak eksistensi yang sejati. Kesejatian inilah yang di tuntut oleh
Allah dalam hal melakukan peribadatan, apakah puasa, zakat, dan shalat. Dengan
konteks "ihklaskanlah peribadatanmu dengan tidak melakukan kesyirikan
sedikitpun" (QS 39:11&14). Aktivitas ruhani yang diajarkan oleh Allah
adalah peribadatan saum yang mana manusia dalam sementara waktu diwajibkan
mengendalikan emosinya dan aktivitas keinginan hawa nafsu selama satu bulan di
bulan Ramadhan. Selama satu bulan penuh menahan rasa dan keinginan ragawi,
samar-samar akan terjadi proses transformasi kejiwaan yang tadinya emosional
berubah menjadi ketenangan, dan fisik seolah tidak lagi menuruti keinginannya,
sehingga sang fisik mengikuti kehendak-kehendak diri yang sejati. Maka oleh
Allah dikatakan mereka itu telah mendapatkan karunia lailatul qadar, dimana ia
mampu menembus seluruh semesta ruhani dan kembali sebagai manusia sejati dan
fitrah. Keadaan Fitrah ini diungkap Al Qur'an, bahwa apabila telah terjadi
fitrah pada diri manusia maka sesungguhnya fitrah itu sama dengan kehendak
Allah seperti pada surat Ar Ruum ayat 30 :
"Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada Agama (Allah);
(tetaplah) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu.
Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (itulah) agama yang lurus; tetapi
kebanyakan manusia tidak mengetahui" (QS 30:30).
Dalam hal ini manusia tersebut mendapat karunia kepatuhan dan
ketaqwaan seperti patuhnya alam semesta serta patuhnya tubuh manusia, dimana
dimengerti bahwa tidak pernah dirinya merencanakan ada, kemudian kenapa aku ini
laki-laki? Atau nafas ini mengalir keluar masuk tanpa aku kehendaki dan bisakah
aku menangguhkan jangan keburu tua dulu. Hal ini merupakan renungan hakiki,
kenapa pikiran ini tidak sepatuh alam dan tubuh yang diselimuti kekuasaan
Allah. Ia tampak begitu jelas dalam gerakan dan keberadaan alam dan diri ini.
Dengan argumen di atas bahwa an nafs berdiri sendiri dipertegas
bahwa ia tidak bertempat, baik di dalam badan maupun di luar badan. Karena an
nafs bukan materi maka dengan sendirinya tidak mengambil ruang dan tidak mempunyai
tempat. Sifat dasar an nafs tidak mengandung kemungkinan bertempat. Artinya
pernyataan tempat tidak sesuai dihubungkan kepada an nafs, sebagaimana tidak
sesuai sifat mengetahui atau tidak mengetahui diletakkan pada benda mati. Al
Ghazaly tidak menerima pandangan bahwa an nafs berada di luar badan. Sebab an
nafs dalam keadaan demikian, menurutnya tidak mungkin mengatur badan, tetapi
kalau an nafs berada di dalam badan keberatan lain akan timbul. An nafs
bertempat di dalam badan tidak terlepas dua kemungkinan, yaitu bertempat pada
seluruh badan atau pada sebagiannya saja. Kalau bertempat pada seluruh badan,
an nafs semestinya menyusut atau berpindah, jika sebagian anggauta tubuh
manusia terpotong dan ini tidak mungkin.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa esensi atau hakikat
manusia adalah substansi immaterial yang berdiri sendiri, bersifat Ilahi
(berasal dari alam amr), tidak bertempat di dalam badan, bersifat sederhana,
mempunyai kemampuan mengetahui dan menggerakkan badan, diciptakan (tidak kadim)
dan bersifat kekal pada dirinya. Ia berusaha menunjukkan bahwa kesadaran jiwa
dan sifat-sifat dasarnya tidak dapat diperoleh melalui akalnya saja, tetapi
dengan akal dan sara'. Untuk itu selain kutipan ayat 29 surat Al Hijr di atas
juga ayat-ayat yang lain yang menerangkan esensi manusia seperti surat Ali
'Imraan ayat 169 :
"Jangan engkau sangka orang-orang yang terbunuh pada jalan
Allah itu mati, mereka itu hidup dan diberi rezeki disisi Tuhan" (QS
3:169).
"Katakan jiwa itu dari amr Tuhanku" (QS 17:85).
Ayat yang pertama menunjukkan kekekalan jiwa dan ayat yang kedua
untuk menunjukkan bahwa ia berasal dari dunia yang sangat dekat dengan Allah,
alam amr.
Pembangkitan kesadaran akan diri, dikatakan para ulama kerohanian
sebagai ajang mujahadah untuk menemukan kesejatian, dan dengan kesejatian itu
pula manusia akan mencapai hakikat "diri" serta terbukanya kebenaran
adanya Allah secara hakiki, yakni makrifatullah.
Periode pertengahan kejayaaan Islam di jawa, berlangsung semaraknya
hidup berkerohanian yang dipelopori para dai (wali songo) masa itu. Namun kita
melihat kelebihan dan kekurangan metode yang diajarkan, masih banyak
menyesuaikan budaya masyarakat kerohanian Hindu. Sehingga peribadatan yang
masih tersisa sekarang kelihatan asimilasi peninggalan Hindu dan Budha. Akan
tetapi bila kita lihat dengan jernih, ajaran yang disampaikan oleh beliau tetap
memurnikan ketauhidan kita kepada Allah. Misalnya dalam mantra berbahasa jawa,
tentang perenungan hakiki manusia serta penyadaran dan pencarian kesejatian
yang dikatakan dalam Al Qur'an sebagai "bashirah" (Aku yang
mengetahui).
BismIlahirrahmanirrahim
(dengan nama Allah yang maha pengasih dan penyayang).
Melebu Allah..metu Allah (masuknya nafas karena Allah…keluarnya
nafas karena Allah).
Anekadaken
urip iku Allah (yang mengadakan hidup itu Allah).
Utek
dunungno kodrate Allah (otak diletakkan atas kodrat Allah).
Ya Hu... Allah Ya Hu... Allah Ya Hu... Allah (ya hu... Allah ya
hu... Allah ya hu... Allah).
Nabi
Muhammad iku utusane Allah (nabi Muhammad itu rasullullah).
Artinya : (perlu
diketahui dalam membaca kalimat mantra ini diperlukan penghayatan dan
pendalaman makna yang hakiki).
Masuk dan keluarnya nafas ini adalah kodrat Allah yang tidak bisa
dicegah. Manusia hanya menerima dengan pasrah atas kekuasaan Allah yang
meliputi nafas. Sehingga fikiran ini diajak patuh dan pasrah bersamaan dengan
patuhnya nafas tanpa kecuali (totalitas). Yang mengadakan hidup pada manusia
(semesta) itu adalah Allah. Dimana seluruh makhluk, apakah itu binatang,
manusia, tumbuhan serta bumi, matahari semuanya bergerak dinamis atas sifat
hidup Allah (Al Hayyu). Otak adalah merupakan bentuk kekuasaan Allah atas
manusia, yang mana manusia diwajibkan berfikir dan berkontemplasi untuk
menyatakan sebagai wakil Allah (khalifah) maka dengan itu otak harus sesuai
dengan kehendak-kehendak Allah (perintah Allah). Wahai zat yang tidak sama
dengan makhluknya. Aku bersaksi bahwa nabi Muhammad itu Rasulullah.
Disini kita melihat sejarah manusia ketika menyikapi dirinya dalam
pencarian diri sejati secara universal. Al Qur'an telah memaparkan sebelum para
pemikir barat memulai.
Kesadaran Universal
Menghayati mulai dari kesadaran fisik sampai kepada kesadaran
transendental dimana kesejatian manusia adalah sesuatu yang bukan fisik. Dengan
kesejatian inilah manusia menunaikan baktinya kepada Allah sebagaimana
fitrahnya (QS 30:30).
Al Qur'an telah banyak mengungkapkan tentang apa dan siapa manusia
sebenarnya. Namun ungkapan ini tidak akan menjadi suatu kesadaran apabila
fikiran dan perasaan jiwa kita tidak pernah dibawa ke alamnya secara nyata,
bukan teori tasawuf yang sulit dimengerti. Kesadaran dimulai dengan yang sangat
sederhana.
Adalah seorang bayi yang tiba-tiba lahir dengan proses alami. Ia
lahir bukan karena permintaan dan kehendaknya. Ia tidak mengerti untuk apa
dilahirkan. Ia tidak punya apa-apa bahkan telanjang serta malupun tidak punya.
Kemudian sekelilingnya memberikan kesadaran secara bertahap. Mulai dari
pemberian nama dan identitas kelamin, dan batasan kesadaran yang sangat sempit.
Ia dikenalkan dengan dirinya bahwa namanya si Anu dan jenis kelaminnya
laki-laki. Diajarkannya pula nama-nama anggota tubuhnya, ini telinga, ini
kepala, ini tangan, dan seterusnya.
Kesadaran ini membuat terikat kepada sebatas apa yang ia terima
(ketahui). Sehingga sang diri terbelenggu dan tersesat dalam ketidaktahuan
siapa yang sebenarnya diri ini. Ada ungkapan rasullullah "barang siapa
mencintai sesuatu maka ia akan menjadi hambanya".
Pakaian atau dodot dalam tembang ilir-ilir sunan Ampel adalah
sesuatu yang menimbulkan ikatan pada jiwa seseorang. Dalam filsafat perenial,
pakaian adalah sesuatu yang binding (mengikat) dalam jiwa manusia. Jika manusia
melakukan sikap yang "binding" dengan dunia sekelilingnya, jiwanya
akan terkungkung dan kebebasannya (kesadarannya) terbelenggu. Oleh karena itu
manusia dalam hidupnya harus selalu berusaha melakukan "unbinding"
terhadap dunia sekitarnya. Maksudnya manusia harus mulai menyadari keterbatasan
dirinya yang selama ini dijerumuskan oleh pengetahuan yang didapatnya, bahwa
diri ini hanya terbatas pada mata, telinga, kaki serta anggauta tubuh yang
kelihatan. Namun hal ini mustahil kalau saya ungkap secara detail dalam tulisan
ini, sebab kesadaran ini harus dilakukan dengan latihan dan pengisian ilmu
pengetahuan tentang diri secara imanen transendental (pengalaman langsung).
Mari kita perhatikan tentang apa sebenarnya tubuh ini. Hirupan
nafas masuk ke tubuh, lalu sekaligus mengeluarkan zat residu berupa asam arang.
Sekadar bayangan kesadaran tentang diri agaknya hal-hal di bawah ini akan
menolong kita. Ibaratnya keadaan itu bisa diserupakan dengan penerangan sebuah
kota, yang dialirkan oleh sentral listriknya. Perbandingan ini menjadi semakin
tajam apabila disadari dengan ilmu bahwa apa yang ada dalam kehidupan
sehari-hari kita pandang (sadari) bentuk tubuh manusia adalah terbatas pada
garis nyata. Sehingga kenyataan ini membuat orang tertipu oleh pengetahuan yang
ia miliki. Padahal lebih dari yang ia bayangkan, bahwa baik manusia, logam,
tumbuhan dan gunung adalah sebetulnya terdiri dari suatu untaian
kejadian-kejadian atau proses. Dimana segala alam lahir ini tersusun oleh senyawa-senyawa
kimiawi yang dinamai zarrah (atom).
Dan atom-atom ini dalam analisa terakhir adalah satu unit tenaga
listrik, yang energi positifnya (proton) berjumlah sebanyak energi negatifnya
(elektron). Di dalam atom ini, terus-menerus setiap detik terjadi loncatan dan
pancaran (charge and spark). Itulah semburan-semburan yang tidak ada hentinya
dari daya listrik. Semburan atau loncatan yang tidak putus-putus dengan
kecepatan yang sangat luar biasa ini tidak mampu dilihat dengan mata biasa,
kecuali dengan kesadaran ilmu yang cukup. Sebagaimana Al Qur'an mengungkapkan
tentang gunung yang dianggap oleh orang awam seperti diam tak bergerak :
"Dan kamu lihat
gunung-gunung itu, kamu sangka dia tetap ditempatnya, padahal ia berjalan
sebagaimana jalannya awan" (QS 27:88).
Bagi orang awam sebuah gunung atau pegunungan memang tampaknya
kokoh berdiri di tempatnya masing-masing. Jadi kalau benda-benda termasuk
manusia yang dalam surat Al Hijr ayat 28-29 diciptakan dari esensi alam. Maka
benarlah apa yang kita namai benda adalah sebuah bongkahan besar "runtutan
peristiwa" loncatan listrik. Maka disini sama sekali tidak dijumpai lagi
suatu yang padat atau baku (tetap). Bahan yang dipakai untuk pembentukan alam
dan manusia bukanlah benda atau zat-zat akan tetapi ialah "aksi"
yaitu aliran berangkai dari peristiwa-peristiwa. Tidaklah mengherankan bahwa
dari bahan-bahan yang sangat labil ini terbentuklah alam yang selalu
berubah-ubah, menjelma dari bentuk ke bentuk mengikuti suatu proses evolusi.
Sampai disini kesadaran kita sampai kepada tahapan yang agak
abstrak, dimana penglihatan kita malah seakan-akan kehilangan penglihatan
dimana bentuk tubuh yang selama ini kita sadari. Jelas hal ini membigungkan
kesadaran yang telah lama terpatri.
Namun kita telah mencoba melakukan pembangkitan kesadaran yang
lebih luas. Yaitu kesadaran dimana tubuh bukanlah apa yang kita lihat seperti
ini. Tubuh adalah susunan inti materi yang setiap saat berubah dan berganti.
Terbatasnya kesadaran bahwa badan bukan lagi sekedar tangan, kaki, dan kepala.
Akan tetapi berubah meluas menjadi kesadaran universal, yaitu kesadaran yang
tidak ada batas. Pada tingkat kesadaran ini kita agak bingung, yang mana
sebenarnya wujud ini sebenarnya. Karena setelah ditelusuri secara rinci, bahwa
badan yang tadinya disadari sebagai sosok laki-laki atau wanita yang punya rupa
cantik dan gagah. Pelan-pelan terhapus oleh kesadaran yang lebih luas, yaitu
kesadaran jagat raya atau disebut kesadaran makrokosmos. Bahwa wujud badan ini
tidak lagi sesempit dulu, aku tidak lagi sebatas kepala, tangan, dan kaki saja.
Akan tetapi badanku adalah angin yang bergerak, atom-atom yang bertebaran serta
bergantian saling tukar dengan benda-benda yang lain, badanku adalah
butiran-butiran zarrah yang saling mengikat, ya….. aku saling ikat dengan
tumbuhan, binatang, bumi serta dengan angkasa yang maha luas. Badanku adalah
jagad raya. Dimana kesadaran sudah berubah luas dan menjadi satu kesatuan
dengan lingkugan kita. Kesadaran ini akan memudahkan mengidentifikasikan siapa
diri sebenarnya. Setelah tahu esensi badan ini. Yaitu kesadaran hakiki yang
menggerakkan dan mengatur alam semesta. Dikatakan dalam Al Qur'an surat An Nahl
ayat 12 :
"Dan
Dia menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan untukmu. Dan bintang-bintang
itu ditundukkan dengan perintah-Nya. Sesungguhnya dalam gejala-gejala itu
terdapat ayat-ayat Allah -(atau tanda-tanda kekuasaan Allah) bagi orang-orang
yang mempergunakan akal" (QS 16:12).
Sebenarnya di dalam ayat ini tercantum juga ungkapan bahwa Allah
menundukkan dan mengatur kelakuan matahari, bintang dan bulan dengan
perintah-Nya. Peraturan inilah yang diikuti oleh seluruh alam semesta
(makrokosmos), bagaimana ia harus bertingkah laku. Ia juga disebut hukum alam,
atau peraturan yang diikuti oleh alam. Lebih jelas lagi bila kita baca ayat 11
surat Fushilat :
"Kemudian
Dia mengarah kepada langit yang masih berupa kabut lalu Dia berkata kepadanya
dan kepada bumi : "Silahkan kalian mengikuti perintah-Ku dengan suka hati
atau dengan terpaksa". Jawab mereka : "Kami mengikuti dengan suka
hati". (QS 41:11)
Ayat ini membuktikan bahwa alam taat mengikuti segala perintah dan
peraturan sang pencipta. Dan peraturan yang telah ditetapkan Allah itu tidak
berubah selamanya, seperti yang telah ditegaskan dalam ayat 23 surat Al Fath :
"Sebagai
sunatullah (atau peraturan Allah) yang telah berlaku sejak dahulu, sekali-kali
kamu tak akan menemukan perubahan bagi sunatullah (atau hukum-hukum yang telah
ditetapkan Allah) itu" (QS 48:23).
Apabila zat-zat, tubuh manusia dan benda-benda dalam alam sudah
dipahami sebagai rangkaian kejadian-kejadian, serta menurut kemauan sunatullah.
Maka sebenarnya atom-atom atau zarrah bergerak bukan atas kemauannya sendiri,
akan tetapi ada sosok yang bukan dirinya. Dimana atom-atom itu bergerak
mengikuti kekuatan yang maha besar. Benda-benda kecil itu hanya patuh terhadap
yang tidak bisa diperbandingkan dengan sesuatu. Wujud itu begitu absolut,
benda-benda ini ternyata mati. Akan tetapi ia bergerak dan dihidupkan oleh
suatu kuasa yang maha besar. Itulah metakosmos yang hidup, yang perkasa, yang
meliputi segala benda, ialah Rabbul alamin…..
Pada kesadaran ini sebaiknya kita berhenti sejenak dan jangan
dipahami dengan pemikiran yang berlarut-larut. Biarkan Allah yang akan menuntun
hati dan pengetahuan tentang ilmu selanjutnya dengan tetap mematuhkan jiwa dan
tubuh kita kehadirat Allah yang Maha Suci. Apabila kita meluruskan pandangan
jiwa dan tubuh kita terhadap perintah-perintah-Nya (Ad dien) serta menundukkan
dan memasrahkan segala ketaatan. Tubuh ini akan taat seperti taatnya alam
semesta tanpa kita rekayasa, ia akan hidup seperti hidupnya alam, serta ia akan
teratur seperti teraturnya matahari serta planet-planet yang tidak berbenturan.
Ia akan patuh seperti patuhnya malaikat. Demikianlah justru menurut pikiran
logis, bahwa adanya diri (mikrokosmos), dan alam semesta (makrokosmos), telah
mengajak kesadaran untuk sampai kepada pembuktian adanya Allah yang maha ghaib
(metakosmos).
Pada pembahasan kali ini, mungkin ada hal-hal yang menyulitkan
pembaca memahami hakikat diri. Untuk itu maka selanjutnya penulis akan mengajak
para pembaca masuk ke dalam dunia yang lebih kongkrit, yaitu bagaimana
melakukan dan memasuki dunia rohani dengan benar. Pada bab-bab berikutnya akan
saya untai praktek-prakteknya dan pembaca bisa mengikuti dengan seksama.