Manusia adalah entitas yang rumit dan paradoksal. Ia terdiri dari
begitu banyak aspek, mulai dari biologis, spiritual, sosial, sampai
dengan estetik. Namun, ia tetap mampu bergerak melampaui semua itu, dan
bersikap bebas, baik terhadap dirinya maupun terhadap alam.
Di satu sisi, seperti dinyatakan oleh Barry Smith, manusia adalah bagian dari alam semesta. (Smith, 2012) Ia memiliki otak, tulang, daging, dan darah yang merupakan unsur-unsur biologisnya. Di sisi lain, ia memiliki kesadaran, yakni ia sadar akan dirinya sendiri, mampu mempertanyakan keberadaan dirinya sendiri, dan kemudian berkarya.
Pertanyaan yang, menurut saya, cukup penting disini adalah, bagaimana hubungan antara unsur-unsur biologis di dalam tubuh manusia di satu sisi, dan kesadarannya sebagai manusia di sisi lain? Dengan kesadaran, demikian kata Smith, manusia mampu berpikir dan merasa. Ia mampu menghadirkan pengalaman subyektif di dalam dirinya, seperti pengalaman akan suara, akan rasa, akan cuaca, yang kesemuanya itu merupakan gambaran dari dunia yang ada di sekitarnya. (Smith, 2012)
Kesadaran Manusia
Pemikiran tentang kesadaran merentang jauh ke abad 17 di Prancis, tepatnya di dalam pemikiran Rene Descartes. Baginya, setiap manusia terdiri dari dua aspek, yakni aspek fisik material, dan aspek spiritual. Aspek kedua inilah yang mengandung pikiran dan jiwa, di mana proses-proses berpikir manusia terjadi.
Kesadaran dan jiwa semacam ini hanya milik manusia. Hewan dan tumbuhan tidak memilikinya. Mereka, sebagaimana ditulis oleh Smith, hanyalah mekanisme-mekanisme otomatis semata. (Smith, 2012) Menurut Descartes, ketika seekor binatang mengeluarkan suara, itu bukanlah rasa sakit, melainkan hanya gerak mekanis udara yang keluar dari tubuh mereka, tanpa emosi, tanpa rasa sakit.
Manusia, dengan kesadarannya, hidup, menggerakan tubuhnya, bercinta, menginginkan sesuatu, dan berusaha untuk mewujudkannya. Pertanyaan filosofis yang terkandung dalam argumen Descartes ini adalah, bagaimana mungkin entitas yang tidak material, yakni kesadaran, mampu menggerakan tubuh fisik manusia?
Bagi Smith, ini adalah pertanyaan yang tidak tepat, karena berpijak pada pemahaman yang salah, yakni pemahaman, bahwa tubuh dan jiwa manusia adalah dua hal yang berbeda. Di dalam filsafat, ini disebut sebagai teori dualisme tubuh-jiwa, dengan Plato dan Descartes sebagai tokoh-tokoh utamanya.
Kelahiran Neurosains
Dewasa ini telah muncul satu cabang ilmu pengetahuan baru yang disebut sebagai neurosains. Ilmu ini berusaha untuk memahami perilaku manusia dengan mencoba menganalisis unsur-unsur biologisnya. Misteri utama di dalam ilmu ini adalah segala sesuatu terkait dengan otak manusia, serta kaitannya dengan kesadaran sebagai unsur utama pembentuk identitas manusia.
Di dalam pikiran para ilmuwan neurosains, pandangan Descartes salah. Tidak hanya itu, seluruh dualisme manusia (tubuh dan jiwa) juga salah. Kunci utama untuk memahami manusia, menurut mereka, adalah dengan memahami otak manusia. Di dalam otak terjadi proses berpikir, dan proses membuat keputusan. Namun, sampai saat ini, seperti dicatat oleh Smith, para ilmuwan neurosains belum bisa menjelaskan, bagaimana kesadaran bisa lahir dan berkembang dari otak manusia.
Ketidaksadaran
Di awal abad 20, Sigmund Freud, bapak psikoanalisis, sudah mengingatkan kita, bahwa kesadaran hanyalah unsur kecil yang mempengaruhi perilaku manusia. Ada unsur lain yang amat kuat mempengaruhi perilaku manusia, yakni unsur ketidaksadaran. Banyak perilaku kita sebagai manusia lahir dari ketidaksadaran ini. Tak heran pula, banyak orang merasa dirinya baik, walaupun sebenarnya ia banyak berbuat jahat pada orang lain. Perbuatan jahat ini lahir dari ketidaksadarannya.
Kini, neurosains berhasil menemukan dasar biologis bagi pemikiran Freud tersebut. Mereka berhasil menemukan fakta biologis, bahwa banyak yang dilakukan manusia justru lahir dari proses-proses yang tidak sadar, dan bersifat mekanistik-otomatis saja. Bahkan, menurut Smith, neurosains berhasil menemukan, dalam bentuk hipotesis yang masih terus diuji, bahwa ada banyak level kesadaran yang mendorong orang untuk berpikir, atau membuat keputusan. (Smith, 2012)
“Kesadaran”, demikian tulis Smith, “terikat pada rasa diri kita, namun rasa dari diri kita terkait erat dengan kesadaran akan tubuh.” (Smith, 2012) Dengan kata lain, ketika kita bergerak, kita merasa menjadi tuan atas diri kita. Kita memerintahkan tubuh kita untuk bergerak, dan tubuh itu pun bergerak. Namun, mekanisme ini tidaklah mutlak.
Ketika salah satu bagian dari otak terluka, mekanisme gerak ini pun terganggu. Orang tidak lagi bisa menjadi tuan atas dirinya sendiri. Mereka justru dikendarai oleh tubuhnya yang tidak lagi berfungsi dengan normal. Dalam kasus-kasus semacam ini, otak, yang tidak lagi tunduk pada kesadaran, seringkali memainkan peranan penting.
Para filsuf amat memuja kemampuan manusia untuk berpikir rasional. Namun, kemampuan itu pun hilang, ketika otak mengalami cedera. Bagian otak yang digunakan untuk berpikir rasional adalah prefrontal cortex, yakni bagian yang paling baru tumbuh di otak manusia, dibandingkan dengan bagian-bagian lainnya. (Lehrer, 2011) Ketika fungsi-fungsi biologis di bagian ini terganggu, maka kemampuan manusia untuk berpikir rasional pun juga terganggu.
Sikap Kita
Neurosains mengajak kita untuk menembus batas-batas spekulasi filosofis, dan mulai memasuki eksperimen-eksperimen biologis untuk memahami lebih jauh, mengapa kita, manusia, melakukan apa yang kita lakukan. Dalam konteks ini, problem hubungan antara otak dan kesadaran manusia, yang merupakan motor dari segala perilaku dan tindakan manusia, amatlah penting untuk ditelusuri, baik untuk kepentingan medis, sosial, pendidikan, maupun untuk melebarkan pemahaman manusia tentang dirinya sendiri. Dari pemahaman-pemahaman baru penelitian neurosains tentang kesadaran dan otak manusia, kita bisa menurunkan begitu banyak penerapan-penerapan praktis yang berguna untuk memperbaiki kualitas kehidupan manusia.
Namun, neurosains bisa dengan mudah jatuh pada biologisme, yakni melihat manusia semata-mata sebagai mahluk biologis, dan berusaha untuk menjelaskan segala sebab musabab perilakunya berdasar pada unsur-unsur biologis. Pandangan ini jelas merupakan penyempitan pada kekayaan eksistensi manusia.
Penggunaan pandangan ini di dalam menerapkan berbagai kebijakan jelas akan membawa lebih banyak masalah, daripada memberikan solusi. Manusia adalah mahluk yang jauh lebih kaya daripada unsur-unsur biologisnya, maka ia jelas harus ditempatkan dan diperlakukan sesuai dengan kekayaannya tersebut.
Di satu sisi, seperti dinyatakan oleh Barry Smith, manusia adalah bagian dari alam semesta. (Smith, 2012) Ia memiliki otak, tulang, daging, dan darah yang merupakan unsur-unsur biologisnya. Di sisi lain, ia memiliki kesadaran, yakni ia sadar akan dirinya sendiri, mampu mempertanyakan keberadaan dirinya sendiri, dan kemudian berkarya.
Pertanyaan yang, menurut saya, cukup penting disini adalah, bagaimana hubungan antara unsur-unsur biologis di dalam tubuh manusia di satu sisi, dan kesadarannya sebagai manusia di sisi lain? Dengan kesadaran, demikian kata Smith, manusia mampu berpikir dan merasa. Ia mampu menghadirkan pengalaman subyektif di dalam dirinya, seperti pengalaman akan suara, akan rasa, akan cuaca, yang kesemuanya itu merupakan gambaran dari dunia yang ada di sekitarnya. (Smith, 2012)
Kesadaran Manusia
Pemikiran tentang kesadaran merentang jauh ke abad 17 di Prancis, tepatnya di dalam pemikiran Rene Descartes. Baginya, setiap manusia terdiri dari dua aspek, yakni aspek fisik material, dan aspek spiritual. Aspek kedua inilah yang mengandung pikiran dan jiwa, di mana proses-proses berpikir manusia terjadi.
Kesadaran dan jiwa semacam ini hanya milik manusia. Hewan dan tumbuhan tidak memilikinya. Mereka, sebagaimana ditulis oleh Smith, hanyalah mekanisme-mekanisme otomatis semata. (Smith, 2012) Menurut Descartes, ketika seekor binatang mengeluarkan suara, itu bukanlah rasa sakit, melainkan hanya gerak mekanis udara yang keluar dari tubuh mereka, tanpa emosi, tanpa rasa sakit.
Manusia, dengan kesadarannya, hidup, menggerakan tubuhnya, bercinta, menginginkan sesuatu, dan berusaha untuk mewujudkannya. Pertanyaan filosofis yang terkandung dalam argumen Descartes ini adalah, bagaimana mungkin entitas yang tidak material, yakni kesadaran, mampu menggerakan tubuh fisik manusia?
Bagi Smith, ini adalah pertanyaan yang tidak tepat, karena berpijak pada pemahaman yang salah, yakni pemahaman, bahwa tubuh dan jiwa manusia adalah dua hal yang berbeda. Di dalam filsafat, ini disebut sebagai teori dualisme tubuh-jiwa, dengan Plato dan Descartes sebagai tokoh-tokoh utamanya.
Kelahiran Neurosains
Dewasa ini telah muncul satu cabang ilmu pengetahuan baru yang disebut sebagai neurosains. Ilmu ini berusaha untuk memahami perilaku manusia dengan mencoba menganalisis unsur-unsur biologisnya. Misteri utama di dalam ilmu ini adalah segala sesuatu terkait dengan otak manusia, serta kaitannya dengan kesadaran sebagai unsur utama pembentuk identitas manusia.
Di dalam pikiran para ilmuwan neurosains, pandangan Descartes salah. Tidak hanya itu, seluruh dualisme manusia (tubuh dan jiwa) juga salah. Kunci utama untuk memahami manusia, menurut mereka, adalah dengan memahami otak manusia. Di dalam otak terjadi proses berpikir, dan proses membuat keputusan. Namun, sampai saat ini, seperti dicatat oleh Smith, para ilmuwan neurosains belum bisa menjelaskan, bagaimana kesadaran bisa lahir dan berkembang dari otak manusia.
Ketidaksadaran
Di awal abad 20, Sigmund Freud, bapak psikoanalisis, sudah mengingatkan kita, bahwa kesadaran hanyalah unsur kecil yang mempengaruhi perilaku manusia. Ada unsur lain yang amat kuat mempengaruhi perilaku manusia, yakni unsur ketidaksadaran. Banyak perilaku kita sebagai manusia lahir dari ketidaksadaran ini. Tak heran pula, banyak orang merasa dirinya baik, walaupun sebenarnya ia banyak berbuat jahat pada orang lain. Perbuatan jahat ini lahir dari ketidaksadarannya.
Kini, neurosains berhasil menemukan dasar biologis bagi pemikiran Freud tersebut. Mereka berhasil menemukan fakta biologis, bahwa banyak yang dilakukan manusia justru lahir dari proses-proses yang tidak sadar, dan bersifat mekanistik-otomatis saja. Bahkan, menurut Smith, neurosains berhasil menemukan, dalam bentuk hipotesis yang masih terus diuji, bahwa ada banyak level kesadaran yang mendorong orang untuk berpikir, atau membuat keputusan. (Smith, 2012)
“Kesadaran”, demikian tulis Smith, “terikat pada rasa diri kita, namun rasa dari diri kita terkait erat dengan kesadaran akan tubuh.” (Smith, 2012) Dengan kata lain, ketika kita bergerak, kita merasa menjadi tuan atas diri kita. Kita memerintahkan tubuh kita untuk bergerak, dan tubuh itu pun bergerak. Namun, mekanisme ini tidaklah mutlak.
Ketika salah satu bagian dari otak terluka, mekanisme gerak ini pun terganggu. Orang tidak lagi bisa menjadi tuan atas dirinya sendiri. Mereka justru dikendarai oleh tubuhnya yang tidak lagi berfungsi dengan normal. Dalam kasus-kasus semacam ini, otak, yang tidak lagi tunduk pada kesadaran, seringkali memainkan peranan penting.
Para filsuf amat memuja kemampuan manusia untuk berpikir rasional. Namun, kemampuan itu pun hilang, ketika otak mengalami cedera. Bagian otak yang digunakan untuk berpikir rasional adalah prefrontal cortex, yakni bagian yang paling baru tumbuh di otak manusia, dibandingkan dengan bagian-bagian lainnya. (Lehrer, 2011) Ketika fungsi-fungsi biologis di bagian ini terganggu, maka kemampuan manusia untuk berpikir rasional pun juga terganggu.
Sikap Kita
Neurosains mengajak kita untuk menembus batas-batas spekulasi filosofis, dan mulai memasuki eksperimen-eksperimen biologis untuk memahami lebih jauh, mengapa kita, manusia, melakukan apa yang kita lakukan. Dalam konteks ini, problem hubungan antara otak dan kesadaran manusia, yang merupakan motor dari segala perilaku dan tindakan manusia, amatlah penting untuk ditelusuri, baik untuk kepentingan medis, sosial, pendidikan, maupun untuk melebarkan pemahaman manusia tentang dirinya sendiri. Dari pemahaman-pemahaman baru penelitian neurosains tentang kesadaran dan otak manusia, kita bisa menurunkan begitu banyak penerapan-penerapan praktis yang berguna untuk memperbaiki kualitas kehidupan manusia.
Namun, neurosains bisa dengan mudah jatuh pada biologisme, yakni melihat manusia semata-mata sebagai mahluk biologis, dan berusaha untuk menjelaskan segala sebab musabab perilakunya berdasar pada unsur-unsur biologis. Pandangan ini jelas merupakan penyempitan pada kekayaan eksistensi manusia.
Penggunaan pandangan ini di dalam menerapkan berbagai kebijakan jelas akan membawa lebih banyak masalah, daripada memberikan solusi. Manusia adalah mahluk yang jauh lebih kaya daripada unsur-unsur biologisnya, maka ia jelas harus ditempatkan dan diperlakukan sesuai dengan kekayaannya tersebut.
0 komentar:
Post a Comment