Banyak orang menggunakan jajaring sosial sekarang ini,
seperti Facebook, Twitter, dan sejenisnya. Setiap hari, banyak orang
terpaku melihat jaringan sosial ini, bahkan kerap melupakan waktu-waktu
penting bersama keluarga dan sahabat. Bagi mereka, keluarga dan sahabat
itu dapat dengan mudah ditemukan di jaringan sosial tersebut. Batas
antara kenyataan dan dunia virtual di bit-bit internet kini melebur.
Bahkan, beberapa ahli menyatakan, misalnya Christian Stöcker dalam tulisannya yang berjudul Governance des digitalen Raumes
(2012), bahwa kehadiran jaringan sosial bisa meningkatkan kualitas
demokrasi di suatu bangsa. Informasi menyebar semakin cepat dan banyak.
Orang bisa menciptakan gerakan protes politik melalui jaringan sosial.
Bahkan, seperti ditunjukkan di Mesir 2011 lalu, jaringan sosial bisa
mendorong terjadinya proses revolusi di sebuah negara.
Namun, orang kerap lupa, bahwa seperti semua benda di
bawah langit, jaringan sosial pun memiliki sisi gelapnya sendiri yang
harus terus dipikirkan ulang. Kebebasan dan demokrasi, yang diharapkan
berkembang pesat di jaringan sosial, pun ternyata memiliki batas-batas
yang nyaris tidak disadari oleh banyak orang. Kebebasan virtual di
internet sebenarnya berpijak pada batas-batas virtual yang tak terlihat,
namun begitu nyata. Ketika batas-batas itu tidak disadari, ia menjadi
penjara; ia menjadi sisi gelap jaringan sosial.
Sisi Gelap Jaringan Sosial
Batas pertama begitu nyata, sekaligus begitu kasat mata.
Setiap program jaringan sosial selalu dibuat dengan bahasa program
tertentu. Programmer, dalam konteks ini, adalah pencipta sekaligus
penguasa utama (tuhan?) dari jaringan sosial. Segala bentuk imajinasi,
tindakan maupun pilihan kita dibatasi oleh bahasa-bahasa program di
dalam jaringan sosial yang tak terlihat, namun memiliki peran mutlak.
Kata kunci dalam konteks ini adalah kanalisasi pemikiran
di dalam jaringan sosial. Kita diarahkan untuk bertindak dan berpikir
dengan pola tertentu, walaupun kita tidak menyadarinya. Ketika kita
membaca berita, kita kerap tidak sadar, bahwa kita sedang diarahkan
untuk membaca berita-berita tertentu yang sebelumnya sudah dipilih.
Dengan kata lain, secara tidak sadar, kita dipaksa untuk berpikir,
bertindak, dan bereaksi atas berita dan pola-pola tertentu yang sudah
dibuat oleh para programmer dan penyedia berita (kantor-kantor berita
utama internasional: CNN, BBC, Reuters yang kemudian diteruskan oleh
Kompas, Tempo, dan sebagainya) di jaringan sosial.
Hal ini bermuara pada batas kedua, yakni banjir
informasi yang kemudian bermuara pada kelelahan membaca dan mengolah
informasi. Kelelahan menghasilkan keengganan. Refleksi yang mendalam
atas dampak dan penyebab suatu peristiwa menjadi tidak ada, karena tidak
ada waktu dan tenaga lagi untuk mengolah begitu banyak informasi.
Paradoksnya; kita semakin memiliki banyak informasi, dan sekaligus
semakin bodoh dan dangkal pada saat yang sama. Para guru dan dosen
adalah saksi utama dari kenyataan ini.
Cuci Otak
Jadi, batas pertama adalah batas yang sudah selalu
tertanam di dalam jaringan sosial itu sendiri, yakni batas-batas cara
berpikir, berimajinasi, dan bergerak kita di dalam jaringan sosial yang
sudah selalu ditentukan oleh para programmer. Batas ini juga dibuat oleh
kantor berita besar dunia untuk membuat kita membaca berita-berita
tertentu yang sudah mereka pilih sebelumnya untuk kita baca. Pemahaman
kita atas dunia, apalagi orang yang 24 jam online di dalam jaringan
sosial maya, ditentukan oleh berita-berita ini. Bahayanya: kita
mengalami cuci otak, tanpa kita sadari.
Batas kedua adalah batas yang muncul, sebagai akibat
dari begitu banyaknya informasi dan data yang tersebar di dalam jaringan
sosial. Hampir tidak mungkin memisahkan antara berita bohong dan berita
benar. Hampir pula tidak mungkin orang punya waktu dan tenaga, guna
membaca secara kritis dan mendalam berita-berita yang ada, seperti
dinyatakan oleh Karl-Rudolf Korte dalam tulisannya yang berjudul Beschleunigte Demokratie: Entscheidungsstress als Regelfall
(2012) . Akhirnya, banyak orang asal percaya saja pada berita-berita di
jaringan sosial, dan bereaksi begitu cepat tanpa pernah bertanya,
apakah berita itu benar atau tidak, apakah sudut pandang yang ditawarkan
berita itu sudah menyeluruh, atau belum.
Batas ketiga jauh lebih kejam. Pengguna jaringan sosial
seringkali diminta untuk mengisi data-data pribadinya, mulai dari tempat
kelahiran sampai dengan hobi, bahkan kekasih idaman. Semua data ini
seringkali harus diisi, jika orang hendak bergabung atau menggunakan
fasilitas program tertentu di dalam jaringan sosial. Setelah semuanya
diisi, lalu orang bisa menggunakan program jaringan sosial itu secara
gratis. Tunggu,… gratis?
Sejak awal haruslah ditegaskan, tidak ada yang gratis di
muka bumi ini. Data-data yang kita berikan kepada pengelola jaringan
sosial adalah harga yang harus dibayar. Data-data itu tidak didiamkan
begitu saja, melainkan dijual kepada perusahaan lainnya, seperti
dinyatakan dengan luas oleh Jan-Hindrik Schmidt di dalam tulisannya yang
berjudul Das demokratische Netzt? (2013). Perusahaan-perusahan itu nanti akan membuat iklan-iklan yang sudah terfokus pada kebutuhan, hobi, maupun minat kita.
Manipulasi dan Intel
Data-data kita diperjualbelikan oleh para pengelola
jaringan sosial, lalu digunakan untuk berbagai kepentingan, mulai dari
kepentingan dagang, sampai dengan kepentingan politik. Kemungkinan
terburuk adalah, jika suatu saat nanti anda menjadi calon presiden, dan
anda berani menantang kepentingan para perusahaan global jaringan sosial
dunia, maka nama baik anda akan dipertaruhkan. Jika sewaktu muda dulu
anda pernah melihat situs porno atau membeli dvd porno di internet, maka
data itu bisa digunakan untuk menindas dan memeras anda.
Seperti dibocorkan oleh Edward Snowden di berbagai media
dunia, data-data kita juga menjadi sarana untuk melakukan kontrol
politik. Intelijen berbagai negara melakukan perjanjian dengan berbagai
perusahaan jaringan sosial, guna memperoleh data-data penggunanya, guna
keperluan kontrol sosial dan kontrol politik. Majalah Der Spiegel Jerman
membahas tema ini dalam edisi no 30 tahun 2013 dengan tema Der Pakt: Außer Kontrolle: die geheimne Zusammenarbeit von NSA, BND und Verfassungsschutz. Ada ekspresi dalam bahasa Jerman yang tepat menggambarkan gejala ini: “Wenn man nicht dafür zahlt, ist man selbst das Produkt.”: Jika anda tidak membayar, maka anda sendiri yang akan menjadi produk yang dijual.
Ada dua jalan keluar yang bisa ditempuh. Pertama, semua
bentuk jaringan sosial harus terbuka untuk kontrol demokratis oleh
penggunanya. Tidak boleh ada rahasia yang disembunyikan, misalnya
penggunaan data pengguna tanpa persetujuan. Kita pun, sebagai pengguna,
juga harus berani mempertanyakan dan melakukan kontrol secara demokratis
terhadap jaringan sosial yang kita gunakan.
Kedua, sebagai pengguna, kita harus kritis di dalam
setiap hal yang kita baca di jaringan sosial. Sikap kritis adalah sikap
tak gampang percaya, tetapi mempertanyakan untuk memperoleh dasar yang
cukup kokoh, lalu baru percaya. Ingat, semua hal yang ada di dalam
jaringan sosial adalah hasil ciptaan orang lain yang memiliki tujuan
tertentu untuk mengatur pendapat publik, untuk mengarahkan pemikiran
kita. Inilah cuci otak virtual yang hanya bisa dihadapi dengan sikap
kritis.
Semua batas (penjara?) jaringan sosial ini haruslah
sungguh diketahui dan disadari. Ini untuk kepentingan kita sendiri dan
masyarakat, tempat kita hidup. Jika kita menolak untuk sadar, maka kita
akan sangat mudah terprovokasi dan tertipu oleh berita-berita sepihak,
dan berita-berita palsu. Konflik dan kecemasan hidup akan menjadi bagian
sehari-hari hidup kita dan masyarakat kita. Kita akan mudah dicuci
otak, bahkan diperintah secara tidak sadar oleh jaringan sosial yang
kita gunakan sendiri. Singkat kata: kita akan menjadi budak di dalam
jaringan sosial.
Mau hidup sebagai budak dunia maya?
BUDAK DUNIA MAYA |
0 komentar:
Post a Comment