Friday, 25 July 2014

Sisi Gelap Jejaring Sosial

Banyak orang menggunakan jajaring sosial sekarang ini, seperti Facebook, Twitter, dan sejenisnya. Setiap hari, banyak orang terpaku melihat jaringan sosial ini, bahkan kerap melupakan waktu-waktu penting bersama keluarga dan sahabat. Bagi mereka, keluarga dan sahabat itu dapat dengan mudah ditemukan di jaringan sosial tersebut. Batas antara kenyataan dan dunia virtual di bit-bit internet kini melebur.
Bahkan, beberapa ahli menyatakan, misalnya Christian Stöcker dalam tulisannya yang berjudul Governance des digitalen Raumes (2012), bahwa kehadiran jaringan sosial bisa meningkatkan kualitas demokrasi di suatu bangsa. Informasi menyebar semakin cepat dan banyak. Orang bisa menciptakan gerakan protes politik melalui jaringan sosial. Bahkan, seperti ditunjukkan di Mesir 2011 lalu, jaringan sosial bisa mendorong terjadinya proses revolusi di sebuah negara.
Namun, orang kerap lupa, bahwa seperti semua benda di bawah langit, jaringan sosial pun memiliki sisi gelapnya sendiri yang harus terus dipikirkan ulang. Kebebasan dan demokrasi, yang diharapkan berkembang pesat di jaringan sosial, pun ternyata memiliki batas-batas yang nyaris tidak disadari oleh banyak orang. Kebebasan virtual di internet sebenarnya berpijak pada batas-batas virtual yang tak terlihat, namun begitu nyata. Ketika batas-batas itu tidak disadari, ia menjadi penjara; ia menjadi sisi gelap jaringan sosial.
Sisi Gelap Jaringan Sosial
Batas pertama begitu nyata, sekaligus begitu kasat mata. Setiap program jaringan sosial selalu dibuat dengan bahasa program tertentu. Programmer, dalam konteks ini, adalah pencipta sekaligus penguasa utama (tuhan?) dari jaringan sosial. Segala bentuk imajinasi, tindakan maupun pilihan kita dibatasi oleh bahasa-bahasa program di dalam jaringan sosial yang tak terlihat, namun memiliki peran mutlak.
Kata kunci dalam konteks ini adalah kanalisasi pemikiran di dalam jaringan sosial. Kita diarahkan untuk bertindak dan berpikir dengan pola tertentu, walaupun kita tidak menyadarinya. Ketika kita membaca berita, kita kerap tidak sadar, bahwa kita sedang diarahkan untuk membaca berita-berita tertentu yang sebelumnya sudah dipilih. Dengan kata lain, secara tidak sadar, kita dipaksa untuk berpikir, bertindak, dan bereaksi atas berita dan pola-pola tertentu yang sudah dibuat oleh para programmer dan penyedia berita (kantor-kantor berita utama internasional: CNN, BBC, Reuters yang kemudian diteruskan oleh Kompas, Tempo, dan sebagainya) di jaringan sosial.
Hal ini bermuara pada batas kedua, yakni banjir informasi yang kemudian bermuara pada kelelahan membaca dan mengolah informasi. Kelelahan menghasilkan keengganan. Refleksi yang mendalam atas dampak dan penyebab suatu peristiwa menjadi tidak ada, karena tidak ada waktu dan tenaga lagi untuk mengolah begitu banyak informasi. Paradoksnya; kita semakin memiliki banyak informasi, dan sekaligus semakin bodoh dan dangkal pada saat yang sama. Para guru dan dosen adalah saksi utama dari kenyataan ini.
Cuci Otak
Jadi, batas pertama adalah batas yang sudah selalu tertanam di dalam jaringan sosial itu sendiri, yakni batas-batas cara berpikir, berimajinasi, dan bergerak kita di dalam jaringan sosial yang sudah selalu ditentukan oleh para programmer. Batas ini juga dibuat oleh kantor berita besar dunia untuk membuat kita membaca berita-berita tertentu yang sudah mereka pilih sebelumnya untuk kita baca. Pemahaman kita atas dunia, apalagi orang yang 24 jam online di dalam jaringan sosial maya, ditentukan oleh berita-berita ini. Bahayanya: kita mengalami cuci otak, tanpa kita sadari.
Batas kedua adalah batas yang muncul, sebagai akibat dari begitu banyaknya informasi dan data yang tersebar di dalam jaringan sosial. Hampir tidak mungkin memisahkan antara berita bohong dan berita benar. Hampir pula tidak mungkin orang punya waktu dan tenaga, guna membaca secara kritis dan mendalam berita-berita yang ada, seperti dinyatakan oleh Karl-Rudolf Korte dalam tulisannya yang berjudul Beschleunigte Demokratie: Entscheidungsstress als Regelfall (2012) . Akhirnya, banyak orang asal percaya saja pada berita-berita di jaringan sosial, dan bereaksi begitu cepat tanpa pernah bertanya, apakah berita itu benar atau tidak, apakah sudut pandang yang ditawarkan berita itu sudah menyeluruh, atau belum.
Batas ketiga jauh lebih kejam. Pengguna jaringan sosial seringkali diminta untuk mengisi data-data pribadinya, mulai dari tempat kelahiran sampai dengan hobi, bahkan kekasih idaman. Semua data ini seringkali harus diisi, jika orang hendak bergabung atau menggunakan fasilitas program tertentu di dalam jaringan sosial. Setelah semuanya diisi, lalu orang bisa menggunakan program jaringan sosial itu secara gratis. Tunggu,… gratis?
Sejak awal haruslah ditegaskan, tidak ada yang gratis di muka bumi ini. Data-data yang kita berikan kepada pengelola jaringan sosial adalah harga yang harus dibayar. Data-data itu tidak didiamkan begitu saja, melainkan dijual kepada perusahaan lainnya, seperti dinyatakan dengan luas oleh Jan-Hindrik Schmidt di dalam tulisannya yang berjudul Das demokratische Netzt? (2013). Perusahaan-perusahan itu nanti akan membuat iklan-iklan yang sudah terfokus pada kebutuhan, hobi, maupun minat kita.
Manipulasi dan Intel
Data-data kita diperjualbelikan oleh para pengelola jaringan sosial, lalu digunakan untuk berbagai kepentingan, mulai dari kepentingan dagang, sampai dengan kepentingan politik. Kemungkinan terburuk adalah, jika suatu saat nanti anda menjadi calon presiden, dan anda berani menantang kepentingan para perusahaan global jaringan sosial dunia, maka nama baik anda akan dipertaruhkan. Jika sewaktu muda dulu anda pernah melihat situs porno atau membeli dvd porno di internet, maka data itu bisa digunakan untuk menindas dan memeras anda.
Seperti dibocorkan oleh Edward Snowden di berbagai media dunia, data-data kita juga menjadi sarana untuk melakukan kontrol politik. Intelijen berbagai negara melakukan perjanjian dengan berbagai perusahaan jaringan sosial, guna memperoleh data-data penggunanya, guna keperluan kontrol sosial dan kontrol politik. Majalah Der Spiegel Jerman membahas tema ini dalam edisi no 30 tahun 2013 dengan tema Der Pakt: Außer Kontrolle: die geheimne Zusammenarbeit von NSA, BND und Verfassungsschutz. Ada ekspresi dalam bahasa Jerman yang tepat menggambarkan gejala ini: “Wenn man nicht dafür zahlt, ist man selbst das Produkt.”: Jika anda tidak membayar, maka anda sendiri yang akan menjadi produk yang dijual.
Ada dua jalan keluar yang bisa ditempuh. Pertama, semua bentuk jaringan sosial harus terbuka untuk kontrol demokratis oleh penggunanya. Tidak boleh ada rahasia yang disembunyikan, misalnya penggunaan data pengguna tanpa persetujuan. Kita pun, sebagai pengguna, juga harus berani mempertanyakan dan melakukan kontrol secara demokratis terhadap jaringan sosial yang kita gunakan.
Kedua, sebagai pengguna, kita harus kritis di dalam setiap hal yang kita baca di jaringan sosial. Sikap kritis adalah sikap tak gampang percaya, tetapi mempertanyakan untuk memperoleh dasar yang cukup kokoh, lalu baru percaya. Ingat, semua hal yang ada di dalam jaringan sosial adalah hasil ciptaan orang lain yang memiliki tujuan tertentu untuk mengatur pendapat publik, untuk mengarahkan pemikiran kita. Inilah cuci otak virtual yang hanya bisa dihadapi dengan sikap kritis.
Semua batas (penjara?) jaringan sosial ini haruslah sungguh diketahui dan disadari. Ini untuk kepentingan kita sendiri dan masyarakat, tempat kita hidup. Jika kita menolak untuk sadar, maka kita akan sangat mudah terprovokasi dan tertipu oleh berita-berita sepihak, dan berita-berita palsu. Konflik dan kecemasan hidup akan menjadi bagian sehari-hari hidup kita dan masyarakat kita. Kita akan mudah dicuci otak, bahkan diperintah secara tidak sadar oleh jaringan sosial yang kita gunakan sendiri. Singkat kata: kita akan menjadi budak di dalam jaringan sosial.
Mau hidup sebagai budak dunia maya? 
BUDAK DUNIA MAYA

0 komentar:

 
Copyright © . pepaya boyolali - Posts · Comments
Theme Template by pepaya-boyolali · Powered by Blogger