Saya akan menjawabnya dari beberapa sudut pandang yang mungkin belum pernah terpikirkan oleh kita semua.dan untuk lebih jelasnya lagi silahkan nanti baca artikel saya yang berjudul: ANTARA ADA & TIADA........!! (PERBEDAAN PANDANGAN ADA dan TIADA ANTARA ISLAM DAN NIHILISTIK)
Fungsi Tumbuh-Kembang
Akal pikiran yang tertanam di dalam otak
tentu memiliki alasan tersendiri – ini bukan masalah umur, tapi
mengenai tumbuh kembang seorang manusia.
Penelitian mengatakan bahwa otak
memerlukan asupan oksigen [dan sari makanan] lebih kurang 20% dari total
kebutuhan tubuh. Karena otak memiliki tugas underground yang bergantung
pada akal pikiran manusia – jika tetap berpikir, maka otak akan bekerja
dengan baik.
Tidak salah lagi, berpikir adalah sebuah
jaminan pemenuhan kebutuhan otak akan oksigen dan sari makanan.
Maksudnya, ketika kita berpikir, secara otomatis jantung akan berdetak
secara teratur, sejalan dengan tarikan nafas yang teratur juga.
Aliran darah kaya oksigen yang teratur
tentu membuat kerja otak menjadi lebih baik dan optimal, karena sel-sel
otak dapat beregenerasi tanpa harus mengalami kerusakan. Semakin kita
berpikir, maka semakin cepat juga regenerasi sel-sel dalam otak,
sehingga otak tetap segar.
Penjelasan ini akan menjawab mitos bahwa
berpikir terus menerus akan membuat kita pikun. Salah besar ternyata.
Jika kita tetap berpikir, ada jaminan lain bahwa kita tidak akan cepat
pikun karena sel-sel otak kita hampir-hampir tidak berkarat.
Mungkin inilah salah satu alasan mengapa
orang-orang yang berpikir lebih diutamakan dalam oleh Allah, dan
berulang kali disebut dalam Al-Qur’an.
Fungsi Membentuk Peradaban
Tentu saja jawaban pertama yang saya
ajukan sebelumnya tidak begitu lengkap, maka saya tambahkan satu fungsi
lainnya. Sudah kita ketahui bahwa manusia itu ada yang being [sekedar
manusia] dan ada pula yang becoming [menyadari kemampuannya untuk
menciptakan keyataan-keyataan yang baru], dan inilah yang mendasari
jawaban saya selanjutnya.
Basyar [Being]
Secara umum, basyar dimaknai sebagai
manusia sekedar ada [being], makhluk yang sejatinya terjebak dalam
status quo, static, tidak mengalami perubahan, berkaki dua yang berjalan
tegak di muka bumi. Dengan kata lain, ini adalah manusia yang dilihat
dari sudut fisik-biologis. Tentunya, jika dilihat dari sudut ini,
manusia tidak ada bedanya dengan hewan.
Manusia yang hidup hanya untuk sekedar
makan, minum, tidur, mencari nafkah, sakit, dan mati tentu tidak jauh
berbeda dengan hewan. Perbuatan rendah manusia semacam sistem kompetisi
[berebut pacar dan harta benda, saling menguasai dan menginjak] tidak
pernah berubah. Hanya instrumennya saja yang berubah. Dulu tawuran
dengan tongkat dan batu. Saat ini memakai parang dan panah.
Manusia yang hidup dengan kejahatan,
kepalsuan, kecurangan, pembunuhan, sadisme, dan kekejaman jauh lebih
banyak ketimbang manusia di masa lalu. Hal negatif ini merupakan
representasi manusia tipe basyar yang pada dasarnya belum mampu
melepaskan diri dari penjara-penjara manusia, terutama penjara
natural-instingtualnya.
Insaan [Becoming]
Insaan merujuk pada makna manusia yang
sesungguhnya. Ia tidak menunjuk pada manusia dalam sudut pandang manusia
biologis. Insaan lebih terkait pada kualitas luhur kemanusiaan. Tidak
semua manusia adalah insaan, mereka memiliki potensi untuk mencapai
tingkatan yang lebih tinggi.
Insaan secara lebih jauh dimaknai dengan
makhluk yang terus menerus maju menuju kesempurnaan. “Karakter” menjadi
ini menjadikan manusia berbeda dengan fenomena lain di alam. Lebah
membangun sarang dengan cara yang sama sejak jutaan tahun yang lalu,
sedangkan manusia membangun rumahnya dengan cara yang berbeda dalam
waktu yang cenderung singkat.
Menurut Ali Syariati, gagasan pokok
tentang becoming berasal dari kata Ilaihi [Q.S. Al-Baqarah, 1 : 156]
yang berarti “kepada-Nya” bukan “di dalam-Nya”, atau dengan kata lain
pergerakan manusia secara permanen ke arah Allah, ke arah kesempurnaan
yang ideal. Bergeraknya manusia ke arah-Nya berarti gerakan manusia
secara berkelanjutan tanpa henti ke arah tahap-tahap evolusi dan
kesempurnaan. Inilah yang dimaksud sebagai manusia dalam keadaan
“menjadi”.
Uniknya, insaan memiliki tiga atribut
pokok yakni kesadaran diri, free-will, dan kreativitas. Kesadaran diri
merupakan pengalaman tentang kualitas dan esensi dirinya, dunia dan
hubungan antara dirinya dan dunia serta alam. Makin tinggi kesadaran
akan ketiga unsur tersebut, maka makin cepat pergerakan yang dilakukan
manusia ke tahap-tahap yang lebih tinggi. Kesadaran diri membuat manusia
dapat mengambil jarak dengan diri dan alam sehingga manusia tertuntun
untuk menciptakan sesuatu yang bukan alam.
Free-will [kemauan bebas]
berarti memiliki kebebasan memilih,
bahkan untuk memilih apa-apa yang bertentangan dengan insting
naturalnya, masyarakatnya, atau dorongan-dorangan jiwanya. Kebebasan
memungkinkan manusia untuk melakukan perubahan ke tingkat tertinggi
kemanusiaannya, menerobos sekat-sekat alam, masyarakat, sejarah, dan
“ego”nya.
Kreativitas [daya cipta]
dimaknai dengan kemungkinan-kemungkinan
untuk menemukan berbagai benda, alat-alat, dari yang paling kecil hingga
yang paling kolosal, karya-karya industrial da seni yang tidak
disediakan oleh alam. Pembuatan barang tersebut dilakukan oleh insaan
karena alam tidak menyediakan segala hal yang dibutuhkannya.
Ketiga sifat insaan tersebut terwujud
dalam bentuk al-ilm [ilmu] yang [sewajarnya] dapat membebaskan manusia
dari kungkungan alam, sejarah, dan masyarakat. Dengan ilmu, insaan dapat
memahami hukum-hukum yang berlaku di alam, masyarakat, dan sejarah,
sehingga ia mampu utuk melepaskan diri dari tiga penjara tersebut bahkan
dapat merekayasa ketiga determinan itu.
Sementara itu, penjara terakhir manusia
[ego/nafs/diri], tidak dapat dilawan dengan ilmu, melainkan dengan cinta
– yang memiliki kekuatan untuk mendorong manusia agar dapat menolak,
memberontak, dan mengorbankan diri demi suatu cita-cita atau orang lain.
Jadi, secara singkat, manusia berevolusi
kepada kesempurnaan yang berbekal tiga sifat dasarnya. Tiga sifat yang
bentuk nyatanya adalah ilmu, adalah instrumen pembebasan manusia dari
tiga penjawa manusia, yakni penjara alam, sejarah, dan masyarakat.
Sedangkan penjara terakhir [ego] dilawan dengan cinta kasih. Kemerdekaan
dari empat determinan itu mengantarkan manusia ke puncak kesempurnaan
kemanusiaannnya.
Penjelasannya begini – mengambil
intisari dari kata-kata Pramoedya Ananta Toer – manusia sejatinya tidak
boleh sekedar berpaku pada kenyataan-kenyataan yang ada, melainkan harus
membuat kenyataan-kenyataan baru. Sampai di sini, jelas sudah bahwa
research dan inovasi adalah penting adanya.
Kita tidak mungkin tetap berpikir jika
tidak ada hal yang benar-benar penting dan urgent. Terlebih, tanpa
cinta, kedua hal tersebut benar-benar tidak akan ada. Tidak hanya pada
kekasih, kecintaan pada ilmu pengetahuan yang kita dalami pun harus
ditumbuhkan.
Walau harus menjalani fase-fase yang
terkadang menyakitkan, dengan cinta kita akan dengan senang hati untuk
menjalaninya. Tidak salah lagi, the best job is the job you loved. Jika
kita mencintai sesuatu, maka kita akan bersungguh-sungguh
mengeksplorasinya.
Maka, terjadilah! Kita akan dengan
senang hati melakukan research dan menciptakan inovasi karena kita
menyadari bahwa tidak ada buatan manusia yang sempurna dan memang fitrah
seorang manusia untuk menggapai kesempurnaan hidup dan kehidupan
setelah mati.
Jika saja ini terjadi pada setiap diri
manusia, setidaknya di negeri ini, mungkin sejarah akan berubah dalam
waktu yang sesingkat-singkatnya.
Semakin banyak pikiran, tentu prefrontal
cortex tidak bisa menanganinya sekaligus. High process akan dipindahkan
ke sistem limbik untuk di-proses secara background dan jika sudah
terjadi, akan sulit untuk menariknya kembali ke prefrontal cortex.
Saya katakan sulit karena dua alasan.
Asalan pertama masalah mood, dan kedua adalah masalah Jumping Minds1
yang kerapkali melanda akal pikiran.
Maka, salah satu cara untuk
memertahankan jalur pikiran adalah dengan cara menulis. Akan lebih mudah
untuk menarik proses dalam emosi melalui sebuah tulisan.
0 komentar:
Post a Comment