Friday, 25 July 2014

Pengaruh antara pikiran dan kesehatan

Ketika merayakan hari lahir, banyak orang mendoakan, supaya kita selalu sehat. Kita pun mendoakan hal yang sama, ketika orang lain merayakan hari lahirnya. Di titik ini, kita bisa melihat, bagaimana kesehatan menjadi nilai yang penting dalam hidup manusia. Hal ini bisa diamati di berbagai peradaban, tidak hanya di Indonesia.
Kesehatan lalu disamakan dengan kebahagiaan. Orang tidak bisa bahagia, jika ia tidak sehat. Untuk menjadi sehat, orang juga perlu untuk menata pikiran dan pola hidupnya dengan pikiran-pikiran yang baik, yakni dengan kebahagiaan. Ada kaitan yang bersifat timbal balik dan amat erat antara kesehatan dan kebahagiaan.
Dipersempit
Namun, kita juga hidup di dalam masyarakat yang mempersempit arti kesehatan. Sadar atau tidak, kita hanya melihat kesehatan dalam arti kesehatan fisik semata. Banyak orang sibuk berolah raga dan makan makanan yang bergizi, supaya sehat. Yang banyak terjadi kemudian adalah, orang bisa berpenampilan ganteng, bertubuh indah, dan kelihatan keren, walaupun hidupnya sedih dan merana. Ini sebenarnya sama sekali tidak sehat.
Saya ingin mengajukan satu argumen, bahwa hakekat terdalam dari kesehatan adalah harmoni. Harmoni berarti keadaan yang selaras dari berbagai dimensi di dalam diri manusia, mulai dari dimensi fisik, sosial, teologis dan historis. Harmoni bukan berarti tanpa konflik atau tegangan, melainkan konflik dan tegangan yang bisa ditata sedemikian rupa, sehingga ia menjadi dorongan untuk perubahan, dan bukan malah menghancurkan.
Dimensi-dimensi dari Kesehatan
Saya ingin membedah dimensi ini satu per satu. Yang pertama adalah dimensi fisik. Orang perlu makan makanan bergizi, berolah raga, dan cukup beristirahat, jika ia ingin mendapatkan kesehatan fisik. Namun, kesehatan fisik hanyalah bagian kecil dari kesehatan manusia. Ia memerlukan dimensi lainnya.
Yang kedua adalah dimensi sosial. Orang perlu untuk berdamai dengan musuhnya dan saingannya, sehingga ia bisa memperoleh rasa damai. Orang boleh bersaing dan bahkan berkonflik dengan orang lain. Namun, ini harus diatur, sehingga semua tegangan dan konflik berujung pada perubahan yang baik bagi semua pihak, dan bukan justru menghancurkan semuanya. Kesehatan di bidang sosial ini amat erat terkait dengan kesehatan mental. Jiwa yang sehat adalah jiwa yang damai, dan jiwa yang damai berarti mampu berdamai dengan orang lain di sekitarnya.
Yang ketiga adalah dimensi teologis. Orang perlu untuk berbicara dan mendengar Tuhannya. Bagi orang-orang religius, ini tentu sudah jelas. Orang perlu berdoa, baik secara pribadi di kamar maupun bersama-sama di dalam komunitas. Bagi orang-orang Ateis yang tidak percaya Tuhan, mereka bisa memahami Tuhan sebagai alam, atau sebagai energi yang menciptakan dan menggerakan seluruh alam semesta. Bentuk hubungannya tentu berbeda, namun hakekatnya tetap sama, yakni kesadaran akan “sesuatu yang lebih” dari manusia.
Yang keempat adalah dimensi historis. Orang perlu berdamai dengan masa lalunya. Tentu, kita semua pernah mengalami hal-hal yang menyedihkan dan menyakitkan di masa lalu. Semua itu bukan untuk dilupakan, tetapi untuk diterima sebagai bagian dari perjalanan hidup yang tak selalu mudah. Dari penerimaan lahir rasa damai, dan ini merupakan bagian yang amat penting dari kesehatan. Masa lalu juga berarti orang-orang yang kita sayangi, namun telah meninggal. Kita perlu mengingat dan berdamai dengan mereka di dalam hati kita, supaya kita bisa menemukan kedamaian.
Jadi, ada empat dimensi dari kesehatan yang harus diperhatikan, yakni dimensi fisik, dimensi sosial, dimensi teologis dan dimensi historis. Berbicara kesehatan berarti berbicara keempat dimensi tersebut. Jika salah satu dimensi saja yang kuat, sementara yang lain lemah, maka orang itu tidaklah sehat. Keempat dimensi itu harus dilihat sebagai satu paket yang tak bisa dipisahkan.
Menjaga Jarak
Pertanyaan yang lebih sulit adalah, bagaimana kita bisa mencapai keselarasan di antara empat dimensi tersebut? Bagaimana kita bisa sehat secara fisik, sosial, teologis maupun historis? Ada banyak jawaban atas pertanyaan ini. Namun, menurut saya, jawaban yang paling mendekati kebenaran adalah jawaban dari Anthony de Mello SJ di dalam bukunya yang berjudul Awareness. Ia mencoba menggali kebijaksanaan dari berbagai peradaban di dunia, walaupun ia kuat mengakar di dalam tradisi Kristiani dan Buddhisme.
Langkah pertama adalah dengan menyadari perasaan-perasaan di dalam diri kita. Ketika kita sakit atau mengalami musibah, kita tentu sedih. Ketika kita mendapat hadiah atau berkat lainnya, kita tentu senang. Kita perlu untuk menyadari semua perasaan-perasaan yang muncul ini di dalam hati kita.
Kita tidak boleh menolak perasaan ini. Kita harus menerima dan merasakannya. Namun, disini letak langkah pentingnya, kita tidak boleh menyamakan diri kita seutuhnya dengan perasaan itu. Kita harus melihat perasaan itu sebagai sesuatu yang berbeda dari diri kita. Kita harus mengamati perasaan itu sebagai suatu gerakan emosi yang tidak sama dengan jati diri kita yang asli.
Misalnya, kita merasa sedih. Kita tidak boleh menyamakan seluruh jati diri kita dengan perasaan sedih itu. Sebaliknya, kita perlu merasakan sekaligus menjaga jarak dari rasa sedih itu. Kita perlu mengamati rasa sedih di dalam batin kita dengan jarak. Jarak ini nantinya akan menghasilkan kesadaran, bahwa kesedihan itu tidaklah asli, melainkan sesuatu yang dengan mudah datang dan pergi, seperti angin saja, sehingga ia bukanlah sesuatu yang penting.
Kata kunci disini adalah mengamati. Kita perlu mengamati gerak emosi di dalam batin kita, selayaknya orang ketiga. Jadi, ketika kita sedih, kita tidak boleh bilang, bahwa saya sedih, melainkan ada sesuatu yang sedih. Kita amati, maka akan muncul jarak, dan kesedihan, ataupun emosi lainnya, akan hancur dengan seketika. Kita pun akan menemukan kedamaian yang sesungguhnya.
Inilah inti dari kesadaran diri. Inilah inti dari mistisisme yang dicontohkan oleh berbagai orang besar dalam sejarah, mulai dari Sokrates, Yesus, sampai dengan Martin Luther King. Intinya, kita tidak boleh menyamakan jati diri kita dengan emosi maupun perasaan kita! Kita harus menjadi pengamat yang berjarak atas perasaan-perasaan kita sendiri.
Kesehatan sebagai Pencerahan
Dua hal berperan amat penting disini. Yang pertama adalah komunitas. Manusia adalah mahluk sosial, maka ia memerlukan orang lain dan komunitas, juga untuk mencapai kesehatan. Peran komunitas amatlah penting untuk mendukung, terutama ketika orang sedang berada dalam penderitaan. Orang yang telah sadar, yakni orang yang telah berhasil menjaga jarak dari emosi maupun perasaannya, lalu akan berperan semakin aktif di dalam komunitas, supaya bisa membantu orang-orang lainnya.
Yang kedua adalah kesehatan fisik. Orang tidak mungkin menjadi sadar, jika ia kurang gizi. Orang tidak mungkin menjadi sadar, jika ia kurang tidur. Maka, kesehatan fisik (keselarasan fisik) tetaplah penting untuk diperhatikan, walaupun ini hanya satu bagian saja dari kesehatan manusia.
Ketika orang hidup dalam harmoni di dalam empat bidang yang sudah saya jelaskan di atas, maka ia akan sampai pada Pencerahan. Para filsuf dan mistikus ingin mencapai kebijaksanaan dengan mencapai pencerahan batin. Inilah inti pencerahan batin tersebut, yakni harmoni empat dimensi. Jadi, kesehatan tidak hanya terkait dengan kebahagiaan, tetapi juga pencerahan.
Ketika orang sudah tercerahkan, maka sakit dan senang tidak akan lagi berarti apa-apa untuknya. Kematian dan kehidupan akan menjadi sama saja untuknya. Waktu pun akan hilang dari kegelisahan dan pikirannya. Yang ia rasakan hanya satu: kedamaian. Inilah kondisi kesehatan yang sempurna

0 komentar:

 
Copyright © . pepaya boyolali - Posts · Comments
Theme Template by pepaya-boyolali · Powered by Blogger