A. AQIDAH
Aqidah ialah ajaran Islam yang mengatur cara berkeyakinan, yaitu bagaimana orang Islam seharusnya berkeyakinan. Aqidah dalam Islam diatur dalam rukun iman, diantarannya adalah iman kepada Allah. Dari keimanan kepada Allah itu akan muncul kewajiban beriman kepada lima lainnya sehingga seluruhnya menjadi enam. Iman kepada Allah SWT adalah hidup sesuai dengan aturan-aturan yang telah digariskan oleh-Nya. Konsep penting yang terkandung di dalam istilah iman kepada Allah ialah suatu kepercayaan yang mantap dan kepercayaan itu menyebabkan orang tersebut melakukan kehidupannya sesuai dengan keimanannya itu. Keimanan seseorang tidak dapat diketahui dari kepercayaan dan ucapannya saja, keimanan seseorang dapat diketahui dari perbuatannya dalam menjalani hidup. Ada tiga tahap yang dilalui manusia dalam mengenal Allah, yaitu tahap orang awam, tahap orang khusus, dan tahap khusus lil khusus, adapun cara yang paling mudah untuk mengenal Allah SWT adalah dengan membaca Alquran yang menerangkan tentang Allah dan sifat-sifat yang wajib bagi-Nya.
1. SIFAT WAJIB BAGI ALLAH
Salah satu kebutuhan dasar manusia adalah adanya pemenuhan rasa ingin tahu manusia akan adanya kekuatan yang menentukan kehidupannya. Atas dasar kebutuhan ini, lahirlah berbagai kepercayaan seperti animisme, yang menganggap roh nenek moyang sebagai sesuatu yang menentukan kehidupan dan karenanya lalu dianggap sebagai tuhan yang perlu disembah , atau Dinamisme, yang menganggap benda-benda yang sekiranya berbentuk luar biasa sebagai sesuatu yang memiliki kekuatan luar biasa pula. Benda ini, seperti gunung, api, patung, keris, pohon besar, dan sungai yang kemudian dianggap sebagi Tuhan yang berhak disembah sekaligus tempat meminta.
Islam datang untuk mengoreksi sekaligus menyempurnakan paham dan kepercayaan yang salah tersebut. Islam sebagai agama yang hak, dengan ajaran yang mengajarkan bahwa Allah-lah Tuhan sejati. Tiada Tuhan selain Allah. Allah merupakan zat yang diyakini sebagai satu-satunya Tuhan. Kita sebagai orang beriman harus meyakini bahwa Dia memiliki sifat-sifat yang agung dan tidak dapat disamai oleh siapapun dari makhluk-Nya. Sifat-sifat Allah itu ada yang termasuk wajib bagi-Nya, ada yang mustahil bahkan ada juga yang jaiz
Adapun sifat-sifat wajib bagi Allah yang wajib diyakini oleh setiap Muslim, ada tiga belas, ditambah tujuh sifat maknawiyah. Jadi keseluruhannya berjumlah dua puluh. Sifat-sifat Allah SWT yang dua puluh tersebut di atas, dibagi menjadi empat bagian :
a. Sifat-sifat Nafsiyah
Sifat-sifat nafsiyah ialah sifat yang berhubungan dengan zat Allah SWT. Sifat-sifat tersebut yaitu :
(1). Wujud ( ada )
“Wujud” artinya ada, mustahil Allah bersifat “adam” artinya tidak ada. Allah wajib ada. Alam ini atau setiap makhluk ada yang membuatnya (Khalik). Demikian juga langit dan bumi, matahari yang setiap pagi terbit dari Timur dan terbenam di ufuk Barat, adanya siang dan malam. Semua ada yang mengatur dan menciptakannya, yaitu Allah SWT. Firman Allah SWT dalam surat al An'am: 102
ذَلِكُمُ اللَّهُ رَبُّكُمْ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ فَاعْبُدُوهُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ وَكِيلٌ (الأنعام: 102)
(yang memiliki sifat-sifat yang) demikian itu ialah Allah Tuhan kamu; tidak ada Tuhan selain Dia; Pencipta segala sesuatu, Maka sembahlah Dia; dan dia adalah pemelihara segala sesuatu.
Quraish Shihab menafisrkan ayat ini bahwa yang memiliki sifat tinggi dan mulia hanyalah Allah, Yang Maha Esa Tuhan pemelihara kalian, tidak ada yang berhak disembah selain Dia, pencipta segala sesuatu. Karena itu sembahlah Dia satu-satunya dan semata-mata karena yang mempersekutukan-Nya, tidak dinilai menyembah-Nya. Dia yang Maha kuasa tidak butuh kepada ibadah dan pengabdian makhluk karena Dia Maha Kaya dan di atas segala sesuatu adalah wakil, yakni pemelihara. Beribadah adalah konsekuensi dari kepercayaan tentang wujud Allah yang disebut dalam sifat-sifatNya diatas, yakni tidak ada Tuhan selain Dia, karena Dia yang mencipta segala sesuatu, jika demikian maka tidak ada yang bersekutu dengan-Nya dalam ketuhanan dan penciptaan serta karena itu pula ibadah dan ketundukan semata-mata hanya tertuju kepada-Nya. (Shihab, 2007, v 4:223)
Ada golongan manusia yang tidak percaya atau meragukan adanya Allah, dengan alasan karena mereka belum pernah melihat wujud-Nya. Kepercayaan tersebut keliru, karena banyak zat yang tidak dapat dilihat wujudnya, tetapi diyakini adanya, seperti nyawa ( roh ) dan angin. Nyawa dan angin diyakini ada semata-mata berdasarkan kepada tanda-tanda yang menunjukkan wujudnya. Tanda-tanda wujudnya nyawa pada manusia adalah manusia bernafas, makan, minum, bergerak, dan bekerja. Tanda-tanda wujudnya angin antara lain, pohon nyiur melambai-lambai karena ditiup angin dan kapal layar dapat melaju karena didorong pleh tenaga angin.
Adapun tanda-tanda wujudnya Allah SWT itu sangat banyak, sehingga manusia tidak akan mampu menyebutkannya satu persatu. Singkatnya, bukti-bukti tentang wujud Allah itu terdapat di dalam diri manusia dan di luar diri manusia. Allah SWT berfirman dalam surat al Dzariyat; 20-21:
وَفِي الْأَرْضِ آَيَاتٌ لِلْمُوقِنِينَ (20) وَفِي أَنْفُسِكُمْ أَفَلَا تُبْصِرُونَ (21)
Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang yakin. Dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak memperhatikan?
Ayat ini menyatakan bahwa banyak sekali tanda-tanda keesaan, kebesaran dan kekuasaan Allah yang terbentang di langit dan di bumi yakni bagi orang-orang yang yakin dan mantap keyakinanya. Bukti keesaan Allah yang terdapat dibumi antara lain sistem kerja bumi dan keseimbangan yang ada dialamnya, disamping keindahan dan kelanggenganya, kesemuanya terjadi secara berulang yang menampik dugaan kebetulan dan kesemuanya terjadi dengan sangat konsisten dan teratur. Andai ada dua Tuhan maka keharmonisan dan kesinambungan itu tidak mungkin terjadi. Bukti ke beradaan Allah juga terdapat pada diri manusia antara lain proses kejadian manusia yang sangat unik, organ tubuhnya yang sedemikian serasi tapi kompleks demikian juga pada tingkah lakunya yang sedemikian rumit. (Shihab, 2007; v 13: 334 )
Manusia tidak dapat melihat zat Allah karena kemampuan manusia terbatas, sedangkan Allah sebagai khalik ( pencipta ) alam semesta dan segala isinya, dapat melihat segala apa yang dikehendaki-Nya. Sebagaimana firman Allah dalam surat al an'am ayat 103:
لَا تُدْرِكُهُ الْأَبْصَارُ وَهُوَ يُدْرِكُ الْأَبْصَارَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ (103)
Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang dia dapat melihat segala yang kelihatan; dan dialah yang Maha halus lagi Maha Mengetahui.
b. Sifat Salbiyah
Sifat salbiyah ialah sifat yang menolak dan meniadakan sebaliknya, dengan kata lain memustahilkan adanya sifat tersebut, sifat salbiyah ada lima yaitu :
(1). Qidam ( Lebih dahulu )
Jika kita melihat mobil, kereta api, kapal laut, pesawat terbang tentu logika kita akan berbicara bahwa alat-alat transportasi tersebut ada yang membuatnya. Pembuat alat-alat transportasi tersebut pasti lebih dulu ada dari pada alat-alat transportasi yang dibuatnya. Disini berlaku hukum kausalitas ( hukum sebab akibat ).
Allah SWT sebagai pencipta alam semesta dan segala isinya, secara logika sudah tentu wajib bersifat qidam, artinya lebih dahulu ada dari segala makhluk-Nya. Mustahil Allah bersifat huduts ( baru ), karena Allah itu sudah ada sebelum alam semesta dan segala isinya ini ada. Adanya Allah tidak bermulasan dan tidak berkesudahan, karena adanya Allah itu mutlak. Dalam hal ini hukum kausalitas tidak berlaku pada zat Allah, Tuhan Yang Maha Agung . Firman Allah SWT dalam surat al Hadid ayat 3:
هُوَ الْأَوَّلُ وَالْآَخِرُ وَالظَّاهِرُ وَالْبَاطِنُ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ (3)
Dialah yang Awal dan yang akhir yang Zhahir dan yang Bathin; dan dia Maha mengetahui segala sesuatu.
Setelah Allah menyebutkan kuasa-Nya yang tak terbatas, kini Allah melalui ayat ini menjelaskan tentang wujud-Nya yang mutlak. Dialah Allah yang Awwal yang telah wujud sebelum segala sesuatu wujud sehingga tidak ada sesuatu pun yang mendahului-Nya dan yang Akhir yakni akan hidup selama-lamanya setelah segala sesuatu musnah dan hanya Dia yang Zhahir yang begitu jelas wujud-Nya melalui alam raya yang Dia ciptakan dan pembuktian logika dan rasa dan hanya Dia pula sendiri yang Bathin dzat dan Hakikat-Nya sehingga tidak dapat dijangkau, jangankan oleh mata tetapi juga oleh akal dan khayal dan Dia menyangkut segala sesuatu Maha mengetahui (Quraish, 2007, v 14; 8)
Dalam ayat ini Allah memeperkenalkan diri-Nya: Dialah sendiri yang awal yang telah wujud sebelum segala sesuatu wujud sehingga tidak ada yang mendahului-Nya dan Yang Akhir yakni yang akan hidup selama-lamanya setelah segala sesuatu musnah dan hanya Dia pula yang Zhahir yang begitu jelas.
(2). Baqa’ ( Kekal )
Allah wajib bersifat baqa’, maksudnya Allah itu wajib bersifat kekal, senantiasa ada dan tidak akan mengalami kebinasaan, firman Allah SWT dalam surat ar Rahman ayat 27:
وَيَبْقَى وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ (27)
Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.
Ayat tersebut diatas adalah merupakan dalil naqli tentang kekekalan Allah, adapun dalil aqli bahwa Allah SWT itu wajib bersifat baqa adalah sebagai berikut. Jika Allah itu tidak bersifat kekal, berarti Allah itu binasa atau berkesudahan. Jika Allah itu berkesudahan atau binasa, berarti Allah itu sama dengan makhluknya. Padahal Allah itu bukan makhluk yang diciptakan dan dibinasakan , tetapi Allah itu adalah khalik yang menciptakan dan membinasakan
(3). Mukhalafatu li al Hawaditsi ( Berbeda dengan Makhluk-Nya )
Menurut dalil aqli, sesuatu yang dibuat manusia tidak sama dengan pembuatnya. Begitu juga dengan Allah SWT sebagai pencipta ( Khalik ) tentu berbeda dengan hasil ciptaan-Nya ( Makhluk ). Maka wajib bagi Allah SWT bersifat mukhalafatu li al hawaditsi, artinya Allah SWT wajib berlainan atau berbeda dengan segala yang baru ( Makhluk ). Perbedaan antara Allah dan semua makhluk-Nya itu terdapat pada zat-Nya, sifat-Nya, dan perbuatan-Nya.
Salah satu perbedaan antara zat Allah dan semua makhluk-Nya ialah zat Allah ada dengan sendiri-Nya, sedangkan adanya semua makhluk Allah karena ada yang mengadakan. Segala sifat Allah berlainan dengan segala sifat makhluk-Nya. Manusia sebagai makhluk Allah memiliki sifat berkuasa, berkehendak, mengetahui, hidup, mendengar, melihat, dan berkata-kata. Sifat-sifat tersebut tampaknya sama seperti yang terdapat pada Allah SWT, akan tetapi, persamaan sifat manusia dengan sifat Allah tersebut hanya dalam sebutan saja, sedangkan pada hakikatnya berbeda.
Demikian juga segala perbuatan Allah berbeda dengan segala perbuatan makhluk-Nya. Apa yang di ciptakan Allah berlainan dengan apa yang di ciptakan makhluk-Nya. Jika Allah menciptakan sesuatu yang dikehendaki-Nya, Dia tidak membutuhkan siapa pun dan apa pun. Sebaliknya, apabila makhluk Allah membuat sesuatu yang dikehendakinya , ia membutuhkan bahan lain selain dari dirinya. Semua yang dibuat manusia menggunakan bahan-bahan yang telah disediakan Allah SWT. Allah SWT berfirman dalam surat al Syura ayat 11:
فَاطِرُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ جَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا وَمِنَ الْأَنْعَامِ أَزْوَاجًا يَذْرَؤُكُمْ فِيهِ لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ (11)
(Dia) Pencipta langit dan bumi. dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu sendiri pasangan-pasangan dan dari jenis binatang ternak pasangan- pasangan (pula), dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan jalan itu. tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha mendengar dan Melihat.
Ayat tersebut diatas menjelaskan bahwasanya Allah SWT wajib bersifat Mukhalafatu li al hawaditsi. Adapun dalil aqlinya jika Allah tidak bersifat Mukhalafatu li al hawaditsi, berarti Allah itu bersifat mumasalatu li al hawaditsi atau bersifat sama dengan makhluk-Nya. Mustahil Allah sama dengan makhluk-Nya. Jika Allah sama dengan makhluk-Nya berarti Allah itu makhluk. Padahal Allah itu khalik.
(4). Qiyamuhu binafsihi ( berdiri sendiri )
Hanya Allahlah yang mengurus makhluk-Nya secara terus menerus. Dia tidak pernah merasa berat, Allah mengetahui yang lahir dan yang batin. Dia berkuasa mandiri, tak pernah membutuhkan bantuan orang lain.Maka wajib bagi Allah bersifat qiyamuhu binafsihi artinya berdiri sendiri dan mustahil bagi-Nya bersifat ikhtiyaju ligairihi, artinya membutuhkan kepada yang selain-Nya. Firman Allah SWT dalam surat al Baqarah ayat 255:
اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ لَا تَأْخُذُهُ سِنَةٌ وَلَا نَوْمٌ لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ مَنْ ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلَّا بِإِذْنِهِ يَعْلَمُ مَا بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ وَلَا يُحِيطُونَ بِشَيْءٍ مِنْ عِلْمِهِ إِلَّا بِمَا شَاءَ وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَلَا يَئُودُهُ حِفْظُهُمَا وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ (255)
Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan dia yang hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi, tiada yang dapat memberi syafa'at di sisi Allah tanpa izin-Nya? Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi[161] Allah meliputi langit dan bumi. dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.
Di dalam ayat yang lain Allah berfirman dalam surat Fathir ayat 15:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَنْتُمُ الْفُقَرَاءُ إِلَى اللَّهِ وَاللَّهُ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيدُ (15)
Hai manusia, kamulah yang berkehendak kepada Allah; dan Allah dialah yang Maha Kaya (Tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji.
Dari ayat-ayat Alquran tersebut dapat dipahami, bahwa di dalam mencipta dan mengurus alam semesta, Allah SWT tidak membutuhkan bantuan kepada sesuatu apa pun selain diri-Nya. Namun sebaliknya makhluklah yang sebenarnya selalu membutuhkan pertolongan Allah dalam segala hal
(5). Wahdaniyah ( Esa )
Islam menetapkan, bahwa keesaan Allah meliputi keesaan ketuhanan. Maka tidak ada Tuhan yang menciptakan, mengelola dan melaksanakan segala sesuatu melainkan Dia. Wahdaniyah artinya satu atau esa. Kalau kita perhatikan alam semesta dan segala isinya, bumi, bulan, matahari, dan planet-planet lainnya berjalan begitu rapi tidak ada yang berbenturan. Hal ini menunjukkan bahwa perjalanan itu menurut sunatullah atau disebut hukum alam.
Hanya Allah saja yang membuat, memelihara, dan mengaturnya sedemikian rapi. Manusia tidak bias membuat atau mengubahnya. Semua itu menunjkkan bahwa yang menciptakannya adalah satu, yaitu Allah. Firman Allah SWT dalam surat Ali Imran ayat 26:
قُلِ اللَّهُمَّ مَالِكَ الْمُلْكِ تُؤْتِي الْمُلْكَ مَنْ تَشَاءُ وَتَنْزِعُ الْمُلْكَ مِمَّنْ تَشَاءُ وَتُعِزُّ مَنْ تَشَاءُ وَتُذِلُّ مَنْ تَشَاءُ بِيَدِكَ الْخَيْرُ إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ (26)
Katakanlah: "Wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Kerusakanlah yang terjadi kalau ada beberapa Tuhan. Kalau demikian wajib bagi Allah bersifat wahdaniyah artinya Allah itu esa atau satu. Esa dalam sifat-Nya, zat-Nya, dan mustahil bagi Allah bersifat taadud ( berbilang. Firman Allah SWT dalam surat Ikhlasa ayat 1-4:
قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ (1) اللَّهُ الصَّمَدُ (2) لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ (3) وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ (4)
Katakanlah: "Dia-lah Allah, yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan, Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia."
Kata Ahad/ Esa terambil dari akar kata وحدة yang artinya kesatuan seperti juga kata واحد yang beraarti satu. Kata ahad bisa berfugsi sebagai nama dan bisa juga berfungsi sebagai sifat bagi sesuatu. Apabila ia berkedudukan sebagai sifat, maka ia hanya digunakan untuk Allah SWT. Dalam ayat ini kata ahad berfungsi sebagai sifat Allah dalam arti bahwa Allah memiliki sifat tersendiri yang tidak dimiliki oleh selain-Nya.
Ke Esaan dzat mengendung pengertian bahwa seseorang percaya bahwa Allah tidak terdiri dari unsur-unsur atau bagian-bagian. Karena jika Allah terdiri dari dua unsure sekecil apapun unsure itu maka berarti Ia masih membutuhkan itu dan ini adalah sifat yang mustahil bagi Allah. Pengesaan Allah terdiri dari keesaan sifat, keesaan dalam perpbuatan dan keesaan dalam beribadah kepadaNya. (Shihab, 2007, v.14; 607-611)
c. Sifat Ma’ani
Sifat ma’ani ialah sifat ma’na, yaitu memastikan yang disifati itu bersifat dengan sifat tersebut. Sifat salbiyah ada tujuh yaitu :
(1). Qudrat ( yang Berkuasa )
Allah bersifat qudrat yang artinya kuasa, dapat berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya, tidak ada yang menyamai kekuasaan-Nya. Ketika manusia diberi tanggung jawab untuk mengatur dan memanfaatkan serta memakmurkan bumi, bukan berarti Allah tidak berkuasa untuk melakukannya. Allah berkuasa menciptakan alam, memelihara dan mengaturnya. Firman Allah SWT dalam surat Anbiya' ayat 22:
لَوْ كَانَ فِيهِمَا آَلِهَةٌ إِلَّا اللَّهُ لَفَسَدَتَا فَسُبْحَانَ اللَّهِ رَبِّ الْعَرْشِ عَمَّا يَصِفُونَ (22)
Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu Telah rusak binasa. Maka Maha Suci Allah yang mempunyai 'Arsy daripada apa yang mereka sifatkan.
Ayat tersebut diatas menerangkan kekuasaan Allah itu Maha Sempurna, tidak terbatas dan mutlak. Tidak ada zat selain Allah (makhluk) yang memiliki kekuasaan sama dengan Allah apalagi melebihi. Bahkan kekuasaan yang dimiliki oleh makhluk Allah sebenarnya merupakan anugerah dari Allah SWT. Jika Allah berkehendak mencabut kekuasaan yang terdapat pada makhluk-Nya, tidak seorangpun dapat menghalangi-Nya.
Bukti-bukti keMahakuasaan Allah itu terdapat dalam alam semesta dan segala isinya, baik dalam hal mewujudkannya dan mengurusnya, maupun dalam hal membinasakannya, karena itu wajib bagi-Nya bersifat qudrat. Mustahil Allah bersifat ajzun yang artinya lemah.
(2). Iradah ( Maha Berkehendak )
Kekuasaan Allah Maha mutlak, tidak terbatas, dan Maha mengatur sekalian alam yang tampak maupun yang tidak tampak ( gaib ) serta tidak diatur atau dipaksa oleh siapapun.
Allah SWT Maha Berkehendak, maksudnya kehendak Allah itu Maha Sempurna, tidak terbatas dan mutlak. Allah SWT dalam mencipta dan mengurus alam semesta, semata-mata berdasarkan kehendak-Nya, bukan karena dipaksa atau terpaksa.
Sifat iradah Allah SWT sangat erat hubungannya dengan sifat qudranya. Seisi alam semesta ini diciptakan oleh Allah SWT semata-semata karena kehendaknya. Tidak ada sesuatu selain yang dapat menghalangi kehendak dan kekuasaan Allah, jika Allah SWT menghendaki atau menciptakan sesuatu cukup mengatakan kun, “jadilah “ fayakun “ maka terjadilah sesuatu yang dikehendaki-Nya sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Yasin ayat 82:
إِنَّمَا أَمْرُهُ إِذَا أَرَادَ شَيْئًا أَنْ يَقُولَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ (82)
Sesungguhnya keadaan-Nya apabila dia menghendaki sesuatu hanyalah Berkata kepadanya: "Jadilah!" Maka terjadilah ia.
Manusia diciptakan oleh Allah menjadi makhluk yang paling sempurna dan paling mulia dibandingkan dengan makhluk lainnya adalah sudah menjadi airadah (kehendak) Allah SWT, adanya perbedaan diantara makhluk ciptaan Allah adalah sudah menjadi kehendak-Nya sebagaimana firman Allah dalam surat al Maidah 1:
َا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ أُحِلَّتْ لَكُمْ بَهِيمَةُ الْأَنْعَامِ إِلَّا مَا يُتْلَى عَلَيْكُمْ غَيْرَ مُحِلِّي الصَّيْدِ وَأَنْتُمْ حُرُمٌ إِنَّ اللَّهَ يَحْكُمُ مَا يُرِيدُ (1)
Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu[388]. dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya.
Menurut ayat diatas cukup jelas bahwa Allah wajib bersifat Iradah (berkehendak) dan mustahil bagi Allah bersifat karahah (terpaksa).
(3). Ilmu ( Maha Mengetahui )
Allah SWT itu Maha Mengetahui, pengetahuan Alah itu Maha Sempurna dan tidak terbatas. Allah SWT mengetahui segalanya tanpa dibatasi oleh waktu dan ruang, Allah SWT senantiasa mengetahui segala sesuatu yang akan dan sudah terjadi pada setiap ciptaan-Nya, baik yang nyata maupun yang gaib. Singkatny Allah SWT, mengetahui segala isi alam semesta. Akal sehat tidak akan memerima (mustahil ) Allah itu bersifat tidak mengetahui atau bodoh.Allah SWT berfirman dalam surat al Mujadalah ayat 1:
َا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ أُحِلَّتْ لَكُمْ بَهِيمَةُ الْأَنْعَامِ إِلَّا مَا يُتْلَى عَلَيْكُمْ غَيْرَ مُحِلِّي الصَّيْدِ وَأَنْتُمْ
حُرُمٌ إِنَّ اللَّهَ يَحْكُمُ مَا يُرِيدُ (1)
Tidakkah kamu perhatikan, bahwa Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ada di langit dan di bumi? tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah keempatnya. dan tiada (pembicaraan antara) lima orang, melainkan Dia-lah keenamnya. dan tiada (pula) pembicaraan antara jumlah yang kurang dari itu atau lebih banyak, melainkan dia berada bersama mereka di manapun mereka berada. Kemudian dia akan memberitahukan kepada mereka pada hari kiamat apa yang Telah mereka kerjakan. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.
Dari beberapa ayat tersebut, jelaslah bahwa Allah SWT adalah Maha berilmu dan sumber ilmu. Ilmu yang dimiliki oleh manusia pada hakikatnya merupakan anugrah/pemberian dari Allah SWT, ilmu yang dimiliki manusia tidak ada artinya apabila dibandingkan dengan ilmu Allah SWT. Allah SWT berfirman
(4). Hayat ( Maha Hidup )
Bagi Allah SWT zat yang Maha Hidup. Hidup tidak berakhir dengan kematian, karena mati hanyalah menjadi milik makhluk yang diciptakan. Allah ada dengan sendirinya dan kekal adanya. Hidup Allah SWT tidak berpermulaan dan tidak berkesudahan. Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat al Baqarah:
اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ لَا تَأْخُذُهُ سِنَةٌ وَلَا نَوْمٌ لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ مَنْ ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلَّا بِإِذْنِهِ يَعْلَمُ مَا بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ وَلَا يُحِيطُونَ بِشَيْءٍ مِنْ عِلْمِهِ إِلَّا بِمَا شَاءَ وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَلَا يَئُودُهُ حِفْظُهُمَا وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ (255)
Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan dia yang hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi, tiada yang dapat memberi syafa'at di sisi Allah tanpa izin-Nya? Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi[161] Allah meliputi langit dan bumi. dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.
Dari petikan ayat tersebut, jelaslah bahwa Allah SWT bersifat hayat atau hidup, menurut akal sehat mustail sesuatu yang mati dapat mencipta, mengatur, dan mengendalikan sesuatu yang lain. Dengan demikian wajib bagi Allah SWT bersifat hayat, artinya hidup, mustahil bagi Allah SWT bersifat maut artinya mati. Allah Maha Hidup dan memberi kehidupan pada makhluk-Nya serta mencabut kembali kehidupan itu dari siapa yang dikehendaki-Nya. Firman Allah SWT :
(5). Sama’ (Maha Mendengar )
Allah bersifat sama’ artinya bahwa Allah adalah Maha Mendengar terhadap segala sesuatu, baik yang diucapkan makhluk-Nya maupun yang masih dalam bisikan hati nurani. Firman Allah SWT dalam surat al Baqarah ayat 127:
وَإِذْ يَرْفَعُ إِبْرَاهِيمُ الْقَوَاعِدَ مِنَ الْبَيْتِ وَإِسْمَاعِيلُ رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ (127)
Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa): "Ya Tuhan kami terimalah daripada kami (amalan kami), Sesungguhnya Engkaulah yang Maha mendengar lagi Maha Mengetahui".
Pendengaran Allah berbeda dengan pendengaran manusia, baik bentuk maupun daya jangkauannya, sesuai dengan sifat Allah mukhalatu lil haditsi. Karena manusia hanya dapat mendengar sebatas yang dapat dijangkaunya saja. Walaupun kalau kita perhatikan di abad yang serba modern ini orang bisa bercakap-cakap dari jarak jauh melalui komunikasi, tetapi pendengaran manusia tetap terbatas oleh kemampuan peralatan yang digunakan. Tidak demikian dengan Allah SWT, dia selalu mendengarkan suara hati semua manusia di bumi ini tanpa kecuali. Bagi orang yang beriman kepada Allah SWT niscaya akan merasa senang dan tenang karena tidak khawatir bahwa doa atau permohonannya tidak akan didengar oleh Allah. Allah SWT sangat dekat dan Maha Mendengar. Sebagaimana firman Allah SWT surat al Maidah ayat 76:
أَتَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ مَا لَا يَمْلِكُ لَكُمْ ضَرًّا وَلَا نَفْعًا وَاللَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ (76)
Katakanlah: "Mengapa kamu menyembah selain daripada Allah, sesuatu yang tidak dapat memberi mudharat kepadamu dan tidak (pula) memberi manfaat?" dan Allah-lah yang Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.
Dengan demikian, maka wajib bagi setiap Muslim beriman bahwa Allah SWT bersifat sama’ artinya Maha Mendengar, mustahil Allah SWT bersifat summu artinya tuli. Oleh karena itu manusia dituntut untuk berbicara, bertingkah laku, berpikir, dan beriktikad baik, serta dituntut untuk selalu ingat kepada Allah SWT dalam situasi dan kondisi bagaimanapun, karena Allah SWT selalu mendengar segala ucapan dan gerak gerik kita.
(6). Bashar ( Maha Melihat )
Allah SWT bersifat Maha Melihat. Cara Allah melihat berbeda dengan cara melihat makhluk-Nya. Contohnya manusia melihat dengan mata, sedangkan mata manusia dalam melihat memiliki keterbatasan dan kekurangan. Allah SWT melihat segala sesuatu tidak dengan mata sebagaimana mata yang dimiliki manusia.
Melihatnya Allah SWT Maha Sempurna tidak terbatas oleh ruang dan waktu. Allah SWT dapat melihat semua sikap dan perbuatan manusia, baik yang terang-terangan maupun yang tersembunyi, yang dikerjakan sendiri-sendiri maupun yang dikerjakan secara berjamaah (ramai-ramai ) sebagai mana firman Allah SWT :
إِنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ غَيْبَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاللَّهُ بَصِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ (18)
Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ghaib di langit dan bumi. dan Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.
Bagi orang yang beriman dimanapun ia berada senantiasa merasa diawasi oleh Yang Maha Melihat baik siang maupun malam, di tempat ramai maupun di tempat sepi, sebab Allah SWT tidak memiliki sifat umyun ( buta )
(7). Kalam ( Maha Berfirman )
Allah SWT berrsifat kalam, artinya Maha Berfirman yang tidak ada batasnya, sebagai petunjuk bagi manusia, firman Allah SWT :
إِلَّا الَّذِينَ تَابُوا وَأَصْلَحُوا وَاعْتَصَمُوا بِاللَّهِ وَأَخْلَصُوا دِينَهُمْ لِلَّهِ فَأُولَئِكَ
مَعَ الْمُؤْمِنِينَ وَسَوْفَ يُؤْتِ اللَّهُ الْمُؤْمِنِينَ أَجْرًا عَظِيمًا (146)
Kecuali orang-orang yang Taubat dan mengadakan perbaikan[369] dan berpegang teguh pada (agama) Allah dan tulus ikhlas (mengerjakan) agama mereka Karena Allah. Maka mereka itu adalah bersama-sama orang yang beriman dan kelak Allah akan memberikan kepada orang-orang yang beriman pahala yang besar.
Cara Allah SWT berfirman berbeda dengan cara manusia berkata. Manusia berkata dengan menggunakan mulut atau alat ucap lainnya, sedangkan Allah SWT berfirman tidak dengan mulut dan alat ucap lainnya yang biasa dipergunakan manusia. Cara Allah SWT berfirman Maha Sempurna, tidak ada kekurangan ayaupun cacat dan celanya.
Alquran adalah merupakan kumpulan firman-firman Allah SWT, yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw melalui malaikat Jibril untuk dijadikan pedoman hidup umat manusia. Dengan membaca dan meMahami Alquran, umat manusia dapat mengetahui mana firman Allah yang berisi perintah yang wajib dikerjakan dan mana firman Allah yang berisi larangan yang harus dijauhi.
d. Sifat Ma’nawiyah
Sifat ma’nawiyah ialah sifat yang bergantung dan berhubungan dengan sifat ma’ani. Tiap-tiap ma’ani tentu ada sifat ma’nawiyah, karena itu maka lazim disebut sifat ma’nawiyah. Ma’nawiyah ialah kelanjutan daripada sifat ma’ani dan bukan merupakan sifat tersendiri. Sifat ma’nawiyah ada tujuh yaitu :
a. Qadiran ( Maha Kuasa )
b. Muridan ( Maha Berkehendak )
c. Aliman ( Maha Mengetahui )
d. Hayyan ( Maha Hidup )
e. Sam’an ( Maha Mendengar )
f. Bashiran ( Maha Melihat )
g. Mutakalliman ( Maha berfirman )
2. SIFAT-SIFAT NABI / RASUL
Sebagai seorang Muslim kita wajib mengimani adanya para Nabi atau Rasul Allah SWT. Sikap mengimani tersebut berarti mau mengikuti ajaran-ajaran yang telah disampaikan para Rasul kepada umatnya. ajaran para Nabi dan Rasul ini tidak ada sedikitpun unsur kekerasan, penipuan, kerusakan, permusuhan dan lainnya. Semua sikap dan tindakan para Rasul Allah tidak semata-mata berdasarkan atas kehendaknya sendiri, melainkan sesuai dengan bimbingan yang telah diwahyukan oleh Allah SWT kepadanya. Didalam Islam tidak ada perbedaan antara Rasul yang satu dengan Rasul lainnya, sebab semuanya adalah utusan Allah. Para Rasul itu mempunyai empat sifat wajib yaitu :
a. Sidik ( benar )
Artinya setiap Rasul itu wajib berkata, bersikap, dan berbuat benar dalam kehidupannya,mustahil para Rasul sebagai utusan Allah SWT itu berdusta didalam menyampaikan wahyu yang datangnya dari Allah, karena para Rasul itu senantiasa terjaga dari perbuatan dosa (maksum) dan tidak mungkin para Rasul itu bersifat kizib (berdusta) didalam menyampaikan risalah yang datangnya dari Allah SWT.
b. Amanah ( dapat dipercaya )
Setiap Rasul yang diutus oleh Allah SWT wajib berlaku amanah baik terhadap Allah SWT maupun terhadap umatnya, tidak mungkin para Rasul itu berkhianat terhadap yang diamanatkan oleh Allah kepadanya.
c. Tabligh ( menyampaikan )
Para utusan Allah SWT pasti menyampaikan wahyu yang ia terima kepada umatnya. Ia tidak menambah atau mengurangi wahyu Allah SWT tersebut. Ia sampaikan semua wahyu Allah kepada semua manusia tanpa melihat suku, ras , atau pangkat dan kedudukan. Seorang Rasul tidak mungkin menyembunyikan apa yang ia peroleh dari wahyu Allah SWT.
d. Fathanah ( Cerdas )
Tugas para Rasul itu sangat berat, berbagai rintangan, tantangan, dan hambatan senantiasa berada di depan mereka pada saat melaksanakan misi dakwah, para Rasul dituntut untuk bisa menyelesaikan dan mengatasi berbagai persoalan yang ada pada umatnya, untuk itu para Rasul diberi sifat fathonah (kecerdasan) oleh Allah sehingga dapat menyelesaikan semua persolan yang dihadapinya, mustahil para utusan Allah itu bersifat bodoh ( baladah ).
3. AL-ASMAUL-HUSNA
Apa yang dimaksud dengan Al-Asma’ul Husna? Al-Asma’ul Husna artinya nama-nama Allah SWT yang baik. Mengapa demikian ? Karena mustahil Allah SWT memiliki nama yang buruk.
Kebaikan Allah SWT tersebut tergambar pada seluruh Al-Asma’ul Husna. Rasulullah SAW menjelaskan bahwa Al-Asma’ul Husna
انّ لله تسعة وتسعين اسمامائةالا واحدامن احصا ها دخل الجنة[رواه البخاري ومسلم]
Artinya:“Seseungguhnya Allah mempunyai sembilan puluh sembilan nama, yaitu seratus kurang satu, barangsiapa menghitungnya, niscaya ia masuk surga.(H.R. Bukhari dan Muslim)
umlahnya 99, sebagaimana diterangkan dalam hadits berikut:
Dari sembilan puluh sembilan nama tersebut semuanya menjelaskan dan menggambarkan betapa baiknya Allah SWT tersebut.
Al-Asma’ul Husna hanya milik Allah SWT. Manusia sebagai makhluk ciptaan-Nya dapat memahami, mempelajari dan meniru kandungan makna dari nama-nama yang baik tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya diucapkan ketika berzkir atau berdoa. Ketika berdoa, nama-nama dalam Al-Asma’ul Husna kita baca dan kita pilih sesuai dengan permintaan kita. Misalnya kita mohon diberi sifat kasih saying, maka bacalah Ar-Rahman, artinya Maha Pengasih. Bila kita mohon petunjuk, maka yang kita baca adalah Al-HAdi, yang berartu MAha Pemberi Petunjuk, dan demikian selanjutnya dengan nama-nama yang lain.
Anjuran untuk menggunakan Al-Asma’ul Husna dalam berzikir atau berdoa, diterangkan Allah SWT dalam Al-Qur’an sebgai berikut:
ولله الا سماءالحسنى فا د عوه بها و ذرواالّذين يلحدون في اسما ئه سيجزون ما كانوايعملون
Artinya:“Hanya milik Allah Al-Asma’ul Husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut Al-Asma’ul Husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya.nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.” (Q.S. Al-A’raf,7:180
Dalam pembahasan tentang asmaul husna berikut ini tidak semua akan dibahas akan tetapi hanya sebahagian kecil saja. Mudah-mudahan dari pembahasan asmaul husna ini kita akan dapat mengaflikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
a. Al-Aziz (yang MahaPerkasa)
Allah disebut Al-Aziz artinya Allah Mahaperkasa. Keperkasaan Allah SWT tidak dapat diukur atau disamakan dengan keperkasaan manusia atau yang lain. Keperkasaan Allah tidak terbatas. Sedang keperkasaan manusia sangat terbatas atau bersifat sangat sementara. Betapa pun perkasanya manusia, pasti masih ada yang mengunggulinya. Dalam hal ini Allah SWT berfirman:
انّ الله يعلم يدعون من دو نه من شيء وهوالعزيزالحكيم
Artinya:“Sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang mereka seru selain Allah, Dan Dia Mahaperkasa lagi Mahabijaksana”. (Q.S. Al-Ankabut, 29:42)
Ayat 42 Surah Al –Ankabut, 29 tersebut mengajarkan kepada kita untuk lebih menyadari bahwa manusia, dengan segala keterbatasanya, tidak patut menyombongkan diri, meskipun andaikata ia memiliki kelebihan dibandingkan yang lain. Mengapa demikian? Karena kelebihan sebesar apapun, pada dasarnya merupakan pemberian Allah SWT. Kekuatan, keperkasaan, kepandaian, kekayaan, kekuasaan, semua adalah pemberian Allah SWT. Semuanya menjadi tidak berdaya ketika Allah SWT mencabutnya (La haula wala quwwata illa billahi aliyyil azim).
Dengan memahami bahwa yang memiliki keperkasaan sejati hanyalah Allah SWT, Dialah yang Maha Perkasa, berlaku sombong bukanlah sikap yang terpuji. Sebaiknya dalam kehidupan sehari-hari kita harus mengembangkan sikap saling menghargai dan menghormati serta berusaha memberi manfaat kepada yang lain. Yang kuat membantu yang lemah. Yang lemah berusaha untuk menjadi orang yang bermanfaat bagi yang lain. Hadits Rasulullah SAW:
خيرا النّس انفعهم للنّا س [رواه البيهقي]
Artinya :“Sebaik-baiknya manusia ialah yang memberi manfaat kepada orang lain.”(H.R. Al-Baihaqi)
Hadits diatas mengajarkan kepada kita untuk mengembangkan sikap saling membantu dan memberi manfaat kepada yang lain, mengedepankan kebersamaan dan tidak menyombongkan diri.
b. Al-Wahhab (yang Maha Pemberi)
Al-Wahhab berarti Maha Pemberi. Maksudnya hanya Allah SWT yang paling banyak memberi. Dia memberikan berulang-ulang, bahkan secara terus-menerus tanpa mengharap imbalan dari yang diberi. Sifat semacam ini hanya dimiliki oleh Allah SWT.
Pemberian yang dilakukan manusia kepada yang lain tidak dapat dinamakan “Wahhab”, karena pemberian tersebut sekecil apapun pasti disertai tujuan atau pengharapan, misalnya berupa pujian, meraih persahabatan, menghindari celaan, mendapatkan penghormatan, atau bahkan mendapat pahala dari Allah SWT.
Manusia diperbolehkan memberikan sesuatu dengan pengharapan selama pengharapan tersebut bertujuan untuk ibadah dan berbuat baik. Contoh: melakukan salat, bersedekah, menjalin silaturrahmi, dan persahabatan dengan berharap mendapat pahala dan menghindari neraka.
Kebahagiaan, kesedihan, sehat atau sakit, kaya atau miskin, pandai atau bodoh, beruntung atau merugi, semuanya merupakan wujud pemberian Allah SWT. Jika Allah SWT sudah memberikannya, manusia tidak dapat menolak atau menghindarinya. Allah SWT hanya memberikan kebebasan kepada manusia untuk berusaha dan berencana. Namun, hasil dari semua itu tetap bergantung kepada kepastian atau pemberian Allah SWT.
Firman Allah SWT:
ربّنا لا تزغ قلوبنابعداذهديتناوهب لنامن لّدنك رحمةانّك انت الوهب
Artinya:“(Mereka berdoa), ‘Ya tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan kurniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau; karena sesungguhnya Engkaulah Maha Pemberi (karunia).” (Q.S. Ali-Imran, 3:8)
Ketiga ayat tersebut menjelaskan bahwa pemberian Allah SWT sifatnya berkesinambungan atau terus-menerus serta berupa rahmat. Pemberian Allah SWT kepada makhluk-Nya jumlahnya tidak terbatas. Allah SWT tidak pernah pilih kasih, Allah SWT sangat memperhatikan makhluk ciptaan-Nya.
Sifat Allah SWT tersebut memberi pelajaran kepada kita, setidaknya kita bisa meniru untuk kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari, baik kepada sesama manusia maupun kepada lingkungan.
Sebagai manusia, sekaligus sebagai anggota masyarakat, akan lebih baik manakala kita mampu mengembangkan kebiasaan saling memberi, saling membantu kepada siapa saja yang membutuhkan sesuai kemampuan yang kita miliki. Yang memiliki harta memberi bantuan harta, yang memiliki tenaga membantu dengan tenaganya, yang memilki ilmu membantu dengan ilmu pengetahaunya.
c. Al-Fattah (Maha Pemberi Keputusan)
Al-Fattah artinya Allah Maha Pemberi Keputusan. Maksudnya, Allah yang memberi keputusan terhadap segala sesuatu. Tidak ada yang terjadi tanpa ketentuan dan keputusan Allah SWT. Dengan keputusan memberi rahmat kepada makhluk-Nya, maka burung-burung dapat terbang di angkasa, ikan dapat berenang di air, dan manusia, hewan, serta tanaman dapat hidup di bumi. Di hari kiamat kelak Allah pula yang mengadili manusia dengan seadil-adilnya, yang baik amalnya dibalas dengan kebaikan dan yang buruk dibalas dengan keburukan. Pada hari itu pula Allah memberikan keputusan, bagi yang ahli neraka akan dimasukkan ke neraka dan yang ahli surga akan masuk ke surga. Hanya Allah hakim yang seadil-adilnya karena Dia Maha Mengetahui hakikat segala sesuatu sebagai mana firman Allah SWT, berikut:
قل يجمع بينناربّنا ثمّ يفتح بيننا بالحقّ وهوالفتّاحا العليم
Artinya:“Katakanlah; Tuhan kita akan mengumpul kita semua, kemudian Dia memberi keputusan antara kita dengan benar. Dan Dialah Maha Pemberi keputusan lagi Maha Mengetahui.” (Q.S. Saba: 26)
Oleh karena itu, kita diwajibkan berusaha sebelum mendapat keputusan terburuk. Caranya adalah dengan melakukan amal perbuatan yang baik, rajin beribabadah, taat kepada orang tua, gemar membantu atau menolong orang lain dan berusaha sekuat tenaga untuk tidak melakukan hal-hal yang dilarang oleh ajaran Islam.
d. Al-Qayyum (Maha Berdiri Sendiri)
Al-Qayyum artinya Maha Berdiri Sendiri. Maksudnya, hanya Allah sendiri yang mengurus dan mengatur seluruh makhluk-Nya. Indahnya alam dan teraturnya semesta tidak pernah lepas dari perhatian Allah SWT. Demikian pula perputaran bumi, pergantian siang dan malam, semilirnya angin sepanjang masa, pertukaran musim, pepohonan berbuah, turunya hujan, dan sebagainya. Semua itu hanya Allah yang mengatur dan mengurusnya. Manusia harus yakin, berusaha, dan berserah diri kepada-Nya karena Dia tidak pernah mengantuk dan tidak pernah tidur dalam mengatur dan mengurus makhluk-Nya tanpa bantuan pihak lain, sebagaimana firman Allah SWT, berikut:
الله لآالاّهوالحيّ القيّوم
Artinya:“Allah, Tidk ada Tuhan melainkan Dia Yang Mahahidup lagi terus-menerus mengurus (makhluk-Nya).” (Q.S. Al-Imran: 2)
Kutipan arti trus-menerus mengurus makhluk-Nya, maksudnya adalah Dialah yang mengatur langit dan bumi serta isinya dan Dia tidak memerlukan yang lain, tetapi Dialah yang diperlukan oleh yang lainnya.
Berbeda dengan manusia, sekedar makan nasi satu piring saja sudah membutuhkan bantuan tidak kurang dari 5 sampai 10 orang. Penjelasannya adalah harus ada petani yan menanam padi, para pedagang beras yang ada dipasar lalu harus ada yang memasak dan seterusnya. Oleh karena itu, setiap manusia pasti membutuhkan bantuan orang lain.
Menyadari hal tersebut, manusia wajib mengedepankan tolong-menolong, saling membantu. Tidak sepantasnya manusia menyombongkan diri, egois, tidak menghiraukan orang lain, apa lagi bermusuhan. Semampu apapun, manusia tetap membutuhkan bantuan orang lain. Manusia adalah makhluk sosial, tidak dapat hidup sendiri, setiap kebutuhannya pasti membutuhkan peran orang lain.
e. Al-Hadi (Maha Pemberi Petunjuk)
Adapun yang dimaksud dengan Al-Hadi ialah bahwa Allah Maha Pemberi Petunjuk. Allah memberikan petunjuk atau hidayah kepada hamba-hambaNya yang dikehendaki-Nya.
Dijelaskan dalam Al-Qur’an bahwa putrai Nabi Nuh AS, tidak beriman walaupun ayahnya seorang nabi. Ayah Nabi Ibrahim diseru kejalan yang benar untuk menyembah Allah Yang Maha Esa, tetapi tidak mau sehingga mati dalam kekafiran. Demikian pula terjadi pada keluarga nabi Muhammad SAW yaitu Abu Thalib (paman nabi) yang melindungi Rasulullah sejak kecil, tidak mau masuk Islam karena tidak mendapat petunjuk dari Allah SWT. Gambaran di atas menunjukkan bahwa mereka tidak mendapt petunjuk atau hidayah dari Allah SWT.
Allah berfirman dalam surah Al-Qashash ayat : 56
ا نك لا تهد ى من احببت و لكنّ اللّه يهد ى من يّشاء وهواعلم با لمهتد ين
Artinya:“Sesungguhnya kamu tidak akan memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendakiNya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima perunjuk.” (Q.S. Al-Qashash: 56)
Hidayah adalah petunjuk Allah kepada hamba-hambaNya, agar menyadari dan mengingat akan Allah untuk mengerjakan perintahnya dan menjauhi laranganNya. Sebagaiman firman Allah SWT, berikut:
وما انت بهد العمي عن ضللتهم ان تسمع الآمن يّؤمن بايتنافهم مّسلمون
Artinya: “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang-orang yang buta (mata hatinya) dari kesesatannya. Dan kamu tidak dapat memperdengarkan (petunjuk Tuhan) melainkan kepada orang-orang yang beriman dengan ayat-ayat Kami, mereka itulah yang berserah diri (kepada Kami).” (Q.S. Ar-Rum: 53)
Sebagai muslim kita diwajibkan menyampaikan kebenaran yang datangnya dari Allah SWT meskipun satu patah kata. Adapun jika mereka tidak mau menerima kebenaran itu, kita serahkan kepada Allah SWT, karena Allah Yang Maha Memiliki Petunjuk yang akan diberikan kepada siapa saja yang dikehendakiNya.
Bagi yang dikehendaki Allah SWT, menerima hidayah berupa kebenaran iman dan Islam tidaklah sulit. Sebagai Muslim kita wajib bersyukur telah mendapat hidayah-Nya. Caranya adalah tetap menjaga dan memelihara keimanan dan keislaman tersebut, antara lain dengan tetap melaksanakan perintah Allah SWT dan menjauhi larangan-Nya sesuai pengetahuan dan kemampuan kita.
Jika Allah menghendaki, siapa saja akan mendapat hidayah tersebut, siapa pun orangnya. Orang semula tidak beriman, karena mendapat hidayah dari Allah SWT, kemudian menjadi beriman. Oleh karena itu dalam kehidupan sehari- hari tugas kita adalah berdakwah, menyampaikan ajaran islam dengan benar, masalah orang mau beriman atau tidak, mengamalkan ajarannya atau tidak, hal ini sangat bergantung pada hidayah Allah SWT.
f. As-Salam (Yang Maha Sejahtera)
Kata “As-Salam” artinya Yang Maha Mensejahtera”. Firman Allah SWT.
هوالله الذي لآاله الاّهوالملك القدّوس السّلم المؤمن المهيمن العزيزالجبّارالمتكبّر سبحان اللّه عمّايشركون
Artinya:“Dialah Allah yang tiada Tuhan selain Dia. Raja Yang MahaSuci, Yang Mahasejahtera, Yang Mengaruniakan Keamanan, Yang memiliki segala keagungan, Mahasuci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (Q.S. Al-Hasyr, 59:23)
Sesuai penjelasan Al-Qur’an kata “As-Salam” memiliki beberapa arti yaitu:
1) Allah terhindar dari aib dan kekurangan
2) Hanya Allahlah yang menyelamatkan makhluk-Nya dari siksa Neraka
3) Yang memberi salam kepada hamba-hamba-Nya kelak disurga (Q.S. Yasin: 58)
Dari ketiga makna As-Salam sebagaimana kutipan diatas dapat dipahami bahwa Allah adalah Zat yang baik dan mulia, tidak ada sedikit pun pada diri Allah suatu keburukan. Dia pemilik segala kebaikan dan keselamatan.
Allah juga sebagai sumber keselamatan dan kebaikan, artinya jika segalanya dilakukan atas dasar keyakinan dan kebenaran yang bersumber dari Allah akan mendatangkan keselamatan dan kesejahteraan. Karena keselamatan dan kebaikan semata-mata bersumber dari Allah SWT.
Sebaliknya jika segala hal yang dilakukan bertentangan dengan apa yang dikehendaki Allah, maka akan menimbulkan keburukan dan kemudaratan bagi dirinya maupun orang lain.
Keburukan yang dirasakan oleh hamba-hamba-Nya pada dasarnya ber sumber dari Allah. Allah adalah Zat pemilik segala kebaikan dan keselamatan.
Oleh karena itu dalam kehidupan sehari-hari sudah seharusnya kita sebagai umat islam menebar keselamatan di manapun berada, baik melalui ucapan maupun perbuatan kita. Tidak menimbulkan kerusakan dan keresahan. Sudah seharusnya ambil bagian dalam mensejahterakan umat, baik denan harta, ilmu maupun tenaga yang kita miliki, sebagai aflikasi kita dalam memahami asma Allah SWT ini,
g. Al-Khaliq (Yang Maha Pencipta)
Kata “Al-Khaliq” dalam Al-Qur’an disebut tidak kurang dari 150 kali. Kata Al-Khaliq diambil dari kata “Khalq” yang berarti “mengukur atau memperhalus”. Kemudian arti tersebut dimaknai secara luas yakni “menciptakan dari tiada”. Menciptakan tanpa contoh terlebih dahulu”
Q.s. At-Tin: 4
لقد خلقناالانسان في احسن تقويم
Artinya:“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dlam bentuk yang sebaik-baiknya.” (Q.S. At-Tin: 4)
Kata “Al-Khaliq” yang dijelaskan dalam Al-Qur’an memberi gambaran tentang kehebatan dan kebesaran Allah dalam ciptaan-Nya . betapa tidak! “Dia Menciptakan dari tiada”, “Menciptakan tanpa satu contoh terlebih dahulu”. Segala ciptaan-Nya sangat sempurna, kesempurnaan tersebut meliputi bentuk, ukuran, fungsi, sifat dan keagungannya, yang semuanya diciptakan dari tidak ada menjadi ada. Hal tersebut dapat dilakukan Allah tanpa bantuan sipapun, karena Allah memiliki sifat Mahakuasa, Maha Mengetahui dan berbagai sifat mulia lainnya, sehingga segala yan diciptakan menggambarakn betapa hebatnya Allah.
Untuk lebih memahami bahwa Allah adalah “Al-Khaliq”yakni Tuhan Yang Maha Pencipta, simak beberapa pertanyaan berikut ini:
Pergantian siang dan malam selalu berjalan dengan baik. Adakah manusia yang mampu menciptakan dan mengaturnya?
Cermatilah baik-baik tubuhmu, hewan, atau tumbuhan disekitarmu. Betapa semuanya tercipta dari detail-detail yang sempurna. Mungkinkah manusia mampu melaksanakannya?
Pikirkanlah bahwa tidak ada seorang manusia pun yang mempunyai sidik jari yang sama.
Oleh karena itu orang yang diberi karunia oleh Allah SWT berupa kepandaian dan kepintaran, otak yang brilian ia harus bersyukur kepada Allah SWT, ia dapat mencipatakan sesuatu, misalnya mobil, kapal laut, pesawat terbang dan lain sebagainya, semua itu ia ciptakan dari bahan dasar yang telah disediakan oleh Allah SWT untuk itu, jika tidak ada bahan-bahan dasar tadi tentu ia tidak dapat berbuat apa-apa. Dengan demikian sepintar apapun ia tidak boleh takabur dan menyombongkan diri apalagi mengingkari adanya Allah SWT. Ilmu yang dimiliki manusia ibarat setitis air di lautan. Hari ini apa yang ia ciptakan bisa dikatakan paling modern, bagaimana dua atau tiga tahun yang akan datang?. Bukankah di atas langit ada langit ?. Allah SWT lah Maha Pencipta, Ia menciptakan segalanya.
h. Al-Gaffar (Yang Maha Pengampun)
Menurut pengertian bahasa, Al-gaffar berarti Yang maha Pengampun. Allah SWT, bernama Al-gaffar sebab Allah SWT Yang Maha Pengampun, yang mmiliki kebebasan penuh untuk memberikan ampunan dosa kepada hamba-Nya yang dikehendaki-Nya.
Manusia dalam hidupnya di dunia tidak luput dari dosa. Baik dosa yang ditimbulkan karena tidak melaksanakan suruhan Allah yang wajib, maupun dosa yang disebabkan karena melanggar larangan Allah yang haram. Allah SWT tentu akan mengampuni dosa hamba-Nya, apabila hamba-Nya itu mohon ampun kepada-Nya dan bertu-betul bertobat. Sedangkan syarat-syarat bertobat adalah:
1) Menyesal terhadap perbuatan dosa yang lebih terlanjur diperbuatnya.
2) Bertekad untuk tidak mengulangi lagi perbuatan dosanya itu dan tekadnya itu langsung dilaksanakan. Seseorang yang berulang kali berbuat dosa setelah bertobat dari dosa, tidak dianggap tobat yang sebenarnya, bahkan dianggap mempermainkan Tuhan.
3) Membaca istighfar dengan khusyuk dan benar-benar minta ampun dalam hatinya. Bila dosanya berhubungan dengan hak Allah, hendaklah mengqadlanya. Sedangkan yang berhubungan dengan hak orang lain, hendaklah mengembalikan hak orang lain tersebut dan mohon maaf atas kesalahnnya.
Allah SWT berfirman:
“Dan orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu mohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni selain Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan keji itu, sedang mereka mengetahui. Mereka itu balasannya ampunan dari Tuhan mereka dan surga yang didalamnya mengalir sungai-sungai, sedang mereka kekal didalamnya, dan itulah sebaik-baik pahala orang-orang yang beramal.” (Q.S. Ali Imran: 135-136).
Selain itu hendaklah orang yang telah bertaubat dari suatu dosa hendaklah mengiringi perbuatan dosa yang telah ditinggalkannya itu dengan melakukan perbuatan-perbuatan baik yang diridhai Allah SWT.
Nabi Muhammad saw telah bersabda:
اتّقواالله حيثما كنت و اتبع السّيّّْةاحسنتةتمحهاوخالقالنّاس بخلق حسن [زواه الترمذى]
Artinya:“Takutlah kamu kepada Allah dimana saja kamu berada, dan iringilah keburukan itu dengan kebaikan, niscaya kebaikan dapat menghapusnya (keburukan) dan pergaulilah manusia dengan budi pekerti yang terpuji.” (H.R. Al Tarmidzi).
Manusia sebagai makhluk individu dan sekaligus sebagai makhluk sosial, sudah tentu dalam pergaulan hidup bemasyarakat, satu dengan yang lainnya tidak luput dari berbuat salah, baik disengaja ataupun tidak. Maka agar hubungan sesama manusia tidak saling mendendam dan hidup rukun dapat terwujud, setiap manusia harus berlapang dada dan suka memberi maaf.
Allah SWT berfirman:
وليعفواوليصفحوا الاتحبّون ان يغفرالله لكم والله غفوررحيم
Artinya:“Dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S. An-Nur: 22).
Kalau Allah SWT yang memiliki segalanya mau memberi maaf dan ampunan kepada hambaNya yang terlanjur berbuat dosa, padahal Dia dengan segala kekuasaanNya dapat menghukum dan menyiksanya.tapi Allah tidak menghukum bahkan mau memaafkan hambanya, bagaimana dengan kita sebagai makhlukNya yang lemah, kenapa tidak mau memberikan maaf dan ampunan kepada sesama?. Tentu kita yang serba memiliki kekurangan dan kelemahan seharusnya mengambil pelajaran dari asma Allah ini, sehingga timbul dalam diri kita sifat pemaaf, dengan demikian mudah bagi kita memaafkan kesalahan orang lain terhadap diri kita. Kalau hal ini dapat dilakukan oleh kita sebagai umat islam pasti akan tercipta kehidupan yang damai dan harmonis baik dalam keluarga, masyarakat, bangsa dan Negara. Bukankah kehidupan yang harmonis, damai dan sejahtera merupakan dambaan semua orang?. Oleh karena itu berlapang dadalah dan jadilah pemaaf sebagaimana yang Allah perintahkan kepada kita para hambaNya.
i. Al-Adlu (Maha Adil)
Salah satu nama Allah yang termasuk Al-Asmaul Husna ialah Al-adlu, berarti Maha Adil dan sangat sempurna keadilan-Nya. Tidak ada Zat selain Allah yang memiliki keadilan sama dengan Allah, apalagi melebihi-Nya. Adil artinya meletakkan sesuatu pada tempat yang semestinya. Allah Maha Adil, karena Allah selalu menempatkan sesuatu pada tempat yang semestinya, sesuai dengan keadilan-Nya yang Maha Sempurna. Tidak ada manusia yang Maha Adil, karena keadilan manusia itu terbatas dan tidak sempurna. Manusia yang berada dalam keadaan lupa dan salah, sudah tentu tidak dapat berlaku adil.
Bukti-bukti bahwa Allah itu Maha Adil terdapat dalam diri manusia dan diluar diri manusia. Yang terdapat dalam diri manusia misalnya:
1) Bentuk tubuh manusia, susunan dan bagian-bagiannya serta letaknya betul-betul begitu proporsional dan harmoni. Ini menunjukan bahwa Allah itu Maha Adil.
2) Manfaat dari masing-masing bagian tubuh manusia, juga menunjukkan bahwa Allah SWT Maha Adil. Tidak ada satu bagian pun dari tubuh manusia yang tidak ada manfaatnya.
3) Allah SWT telah mengangkat manusia sebagai khalifah (pemimpin) di muka bumi ini. Agar umat manusia dapat melaksanakan tugas memimpin itu dengan baik, Allah Yang Maha Adil telah menganugerahi manusia akal pikiran.
Bukti-bukti bahwa Allah SWT itu Maha Adil yang terdapat diluar diri manusi sangat banyak, sehingga manusia tidak akan mampu menghitungnya satu persatu.
Aplikasinya dalam kehidupan kita adalah bahwa manusia sebagai makhluk Allah yan berakal dan sebagai khalifah di muka bumi ini diperintah oleh Allah SWT untuk berlaku adil terhadap dirinya dan keluarganya maupun terhadap orang lain.
Allah SWT berfirman:
انّ الله يامرل والاحسان وايتاءذى القربى وينهى عن الفحشاءوالمنكروالبغي يعظكم لعلّكم تذكّرون
Artinya:“Sesungguhnnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran permusuhan. Dia memberi kepadamu pengajaran agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (Q.S. An-Nahl: 90)
Allah SWT Maha Adil dalam segala hal. Dalam menciptakan segala sesuatu Allah SWT Maha Adil, meskipun terkadang manusia salah dalam memahaminya. Terkadang timbul satu pertanyaan kenapa Allah SWT menciptakan buah yang besar sementara pohonnya kecil, bahkan terkadang pohonnya menjalar di atas tanah, sementara pohon yang besar dan tinggi tetapi buahnya kecil. Akan tetapi ketika ia lewat di bawah pohon yang besar ia tertimpa oleh buah yang kecil, barulah ia berpikir, seandainya pohon ini berbuah besar tentu celakalah ia, barulah ia paham Allah SWT Maha Adil, kenapa Allah menciptakan buah yang kecil pada pohon yang besar.
Allah SWT juga Maha Adil dalam memutuskan hukum terhadap hamba-hambaNya yang bersalah, lihatlah misalnya bagaimana Allah SWT memerintahkan hukuman qishash, hukuman yang setimpal bagi orang yang melanggar, pembunuh jika terbukti maka hukumannya dibunuh pula , sehingga tidak ada dendam berkepanjangan bagi kerabat-kerabatnya atau anak keturunannya. Di mana hukum qishash tersebut juga pada dasarnya melindungi jiwa masing-masing sehingga tidak ada orang yang berani melakukannya karena pelakunya pun akan mendapatkan hukuman yang sama yaitu di bunuh pula.
Keadilan Allah dalam bidang ekonomi pun bisa kita lihat bagaimana Allah SWT dalam rangka mewujudkan pemerataan memerintahkan orang-orang kaya yang berharta untuk membayar zakat , infaq dan shadaqah yang harus diberikan kepada orang yang berhak menerimanya, salah satu di antaranya adalah orang yang miskin.
Sebagai umat islam kita dituntut untuk dapat menerapkan ajaran dari asmaul husna ini yaitu berlaku adil dalam segala hal baik dalam bidang hukum, ekonomi, pendidikan dan lain sebagainya, baik kepada diri sendiri, kepada orang lain, kepada kawan maupun kepada lawan.
j. As-Sabur (Yang Maha Sabar)
Imam Gazhali mengartikan As-Sabur sebagai sifat Allah yang Maha Sabar dalam melakukan sesuatu, semua dilakukan sesuai dengan ketentuan yang ada, Dia tidak menundanya dari waktu yang ditentukan, Dia tidak mempercepat waktunya sehingga tergesa-gesa. Sifat tergesa-gesa dan suka menunda sesuatu hanya dimiliki oleh makhluk-Nya. Allah SWT menerangkan masalah sabar dalam Al-Qur’an tidak kurang dari seratus kali. Semuanya berkaitan dengan perbuatan manusia, antara lain perintah bersabar, memuji kesabaran dan orang-orang sabar, sifat kesabaran serta manfaatnya, dan ancaman bagi orang-orang yang tidak sabar. Pada intinya, kedudukan tertinggi akan diperoleh seseorang karena kesabarannya.
Adapun kesabaran yang dijelaskan dalam Al-Qur’an antara lain:
1) Bersabar dalam mengerjakan ibadah (Q/S/ Taha:132)
2) Bersabar dalam menghadapi musibah (Q.S. Al-Baqarah: 155)
3) Sabar dalam menhan hawa nafsu
Lihatlah bagaimana Allah SWT telah menciptakan langit dan bumi dengan enam masa, tidak bisakah lebih cepat dari itu?. Lihatlah bagaimana Allah menciptakan manusia pertama yaitu Adam As dengan memberitahukan terlebih dahulu kepada para malaikatNya ( seolah-olah sedang bermusyawarah kepada malaikatNya )., tidak bisakah Allah memutuskan dan menciptakannya sendiri ?. Lihatlah bagaimana Allah memutuskan haramnya khamar ( minuman yang memabukkan ) melalui tiga tahapan, tidak bisakah Allah memutuskan dan menetapkan haramnya khamar dengan langsung, tidak berproses atau bertahap ? . Jawabnya adalah apapun yang Allah kehendaki, dengan sifat kemahakuasaanNya, dengan sifat qudrat dan iradahNya, Allah SWT pasti bisa. Akan tetapi seperti itulah yang Ia kehendaki. Di situlah kita melihat dan kita fahami, bukan saja Allah itu Maha Kuasa tetapi juga Allah menunjukan Maha SabarNya.
Ini adalah merupakan pelajaran yang sangat penting dan berharga bagi manusia umumnya, khususnya umat muslimin, kita semua , untuk selalu mengembangkan dan menerapkan sifat sabar dalam kehidupan sehari hari-hari. Sabar dalam mengerjakan suatu perbuatan ( baik ) , tidak tergesa-gesa.
Sabar dalam kehidupan sosial dan bermasyarakat dengan mengedepankan prinsip-prinsip bermusyawarah dalam mewujudkan kehidupan bersama yang damai dan harmonis, saling menghargai dan menghormati. Sabar dalam memutuskan sesuatu ( menetapkan hukum ) , agar terhindar dari kesalahan.yang dapat merugikan diri sendiri dan orang lain. Bukankah membebaskan orang yang bersalah lebih baik dari pada menghukum orang yang tidak bersalah?.
Contoh-contoh penerapan aqidah dalam kehidupan sehari-hari
1) Contoh berdasarkan Dalil Aqli (akal)
Akal itu suatu tenaga jiwa yang dapat mengetahui segala sesuatu yang tak dapat diraba atau dirasa dengan pancaindera. Fikiran adalah pekerjaan akal dalam mencapai pengertian tentang sesuatu, pendapat akal lebih mulia dari pendapat-pendapat pancaindera, dan sesuatu yang dicapai oleh akal, lebih kuat dari apa yan dicapai oleh pancaindera. Pendapat akal akan sampai pada hakikat, sedang pendapat pancaindera hanya memperoleh yang lahir atau yang terasa saja, pendapat akal tidak ada batasnya sedang pendapat pancaindera terbatas. Itulah sebabnya Al-Qur’an dalam tuntunannya untuk mengakui adanya Allah dan ke EsaanNya, mendorong agar mempergunakan akal untuk berfikir dalam lapangannya yang telah ditundukkan yaitu alam semesta yang terbentang diluar diri manusia dan yang ada didalam dirinya sendiri.
Penerapan aqidah berdasarkan dalil aqli adalah satu pemahaman dan keyakinan bahwa apa yang telah ditentukan Allah SWT dalam kitabnya pasti sangat cocok dan sesuai dengan kebutuhan manusia, karena manusia adalah ciptaan-Nya, maka Allah melengkapinya dengan aturan-aturan yang sesuai dengan fitrah-Nya. Contoh yang sederhana, bukankah pabrik yang memproduksi TV juga mengeluarkan aturan yang sesuai tentang bagaimana menoperasikannya.
Aturan-aturan yang berkaitan dengan keimanan pasti sesuai dengan fitrah manusia, keyakinan bahwa Allah itu Maha Esa. misalnya, itu sesuai dengan nalar dan fitrah manusia, menurut akal manusia adalah hal yang mustahil kalau yang Maha Kuasa itu lebih dari satu, pasti akan terjadi pertentangan dan konflik satu sama lain.
Aturan-aturan yang berkaitan dengan ibadah misalnya, pasti sangat sesuai dan cocok dengan fitrah manusia, salah satu contoh diperintahkannya melaksanakan puasa, setelah diteliti dalam dunia kedokteran, ternyata puasa itu menyehatkan, puasa dapat menormalkan system kerja pencernaan, yang selama sebelas bulan bekerja tanpa beristirahat, ternyata puasa bulan Ramadhan telah dapat membuat system kerja pencernaan dapat beristirahat secara total tidak kurang dari 6 jam setiap hari, karena setelah jam 12.00 sampai sore system kerja pencernaan istirahat total, tidak lagi mendistribusikan sari pati makan ke seluruh tubuh dan ini amat baik pengaruhnya bagi kesehatan manusia.
Aturan-aturan yan berkaitan dengan akhlak misalnya, sangat sesuai dan sejalan dengan akal pikiran manusia. Menghormati orangtua (ibu bapak) diperintahkan dalam Islam. Menurut akal sehat menghormati orangtua sudah merupakan satu keharusan bagi anak, meskipun tanpa ada perintah agama, mengingat jasa-jasa yang telah diberikan pada sang anak, yang mengandungnya, melahirkanya, merawatnya, mendidiknya, dsb. Apalagi ditambah dengan perintah agama, tentu anak berbakti (berbuat baik) pada kedua orang tua merupakan satu kewajiban yang lebih utama lagi untuk melaksanakannya..
Aturan-aturan yang berkaitan dengan Muamalah, misalnya, aturan dalam berjual beli harus dilakukan suka sama suka, harus didasari kejujuran tidak boleh dengan paksan dan tidak boleh tipu-menipu. Segala sesuatu yang didasari dengan paksaan akan berdampak negatif. Kejujuran adalah fitrah manusia. Pada dasarnya semua orang membutuhkan kejujuran, sipapun dia, bahkan seorang pencuri pun membutuhkan kejujuran. Ketika pembagian hasil curian, pencuri yang satu bilang pada temannya, “ kamu harus jujur, kamu tidak boleh menyembunyikan hasil curian, kamu harus membagi secara adil”. Ini adalah bukti bahwa menurut akal dan pemikiran, kejujuran yang diajarkan pada ajaran islam, salah satu dalam berjual beli, sangat sesuai dengan fitrah manusia.
. Ini adalah bebrapa contoh penerapan aqidah berdasarkan dalil aqli, yaitu berdasarkan argumentasi-argumentasi akal manusia, untuk membuktikan bahwa penerapan aqidah dalam kehidupan manusia sehari-hari, baik dari segi aqidah, ibadah, akhlak maupun muamalah bisa dijelaskan penerapannya dengan dalil aqli atau dengan argumentasi-argumentasi akal manusia. Karena pada dasarnya semua ajaran agama sejalan dan tidak bertentangan dengan daya nalar akal manusia.
2.) Contoh berdasarkan Dalil Naqli
Pada dasarnya keimanan (Aqidah) yang terdapat pada sesorang akan menentukan bagaimana pengamalannya (penerapannya) dalam kehidupan sehari-hari. Semakin kuat dan bagus iman seseorang, semakin nyata penerapannya, semakin rendah keimanan seseorang, semakin rendah pula penerapnnya. Karena iman adanya dalam hati, yang kita tidak mengetahui sejauh mana kedalamnnya, maka kita hanya akan mengetahuinya dari segi pengamalannya atau penerapannya. Yang dimaksud dengan penerapan disini adalah sejauh mana seseorang menerapkan Aqidah/keimanan tersebut dalam bentuk pemuatan Imtaq kedalam kehidupan sehari-hari, salah satu di antaranya adalah memuatkan Imtaq dalam Iptek.
Dalam bidang ekonomi, Allah telah mengajarkan beberapa hal diantarannya system pemerataan dan pola hidup hemat /tidak boros, kalau ajaran ini benar-benar dilaksanakan dengan baik, kesejahteraan umat akan dapat terwujud.
Firman Allah SWT:
يايّهاالّذين امنواانفقوامن طيّبت ما كسبتم وممّااخرجنالكم مّن الارض ولاتيمّمواالخبيث منه تنفقون ولستم باخذيه الاّان تغمضوافيه واعلمواانّ الله غنيّ حميد.
Artinya:“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baikdan sebgian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan dari padanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. Dan ketehuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji”. (Q.S. Al-Baqarah:267)
Sejak zaman Nabi Muhammad saw asas pemerataaan sudah ditegakkan, yaitu dengan diperintahkannya kepada orang yang beriman untuk mengeluarkan dan membelanjakan sebahagian hartanya di jalan kebaikan, sebahagian dari hasil usahannya dan hasil bumi yang dimilikinya. Namun pada zaman kini ,masih terdapat jurang pemisah yang sangat mencolok antara si miskin dengan si kaya. Hal ini, di Indonesia, masih banyak penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan. Salah satu penyebabnya adalah karena si kaya enggan mengeluarkan sebagian rezekinya kepada si miskin, baik sebagai modal usaha maupun diberikan secara cuma-cuma sebagai zakat mal atau zakat tatawuk/sedekah.
Kalaupun mau mengeluarkan sebagian rezekinya diluar ketentuan zakat (sedekah), namun dipilihkan yang ia sendiri tidak suka pada benda tersebut. Sehingga makin jauhlah jarak kesejahteraan hidup antara si miskin dan si kaya. Padahal Allah dengan tegas melarangnya “La tayammamul khabisa”, yang artinya:janganlah kamu memilih yang buruk-buruk ( untuk sedekah ).
Allah juga melarang orang-orang yang beriman berlaku boros. Firman Allah:
وات ذ االقربى حقّه والمسكين وابن السّنيل ولاتبذّرتبذيرا. انّ المبذّرين كانوااخونالشّيطين وكان الشّيطن لربّه كفورا.
Artinya:“Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudaranya syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.” (Q.S. Al-Isra’: 26-27)
Ayat ini mengandung dua konsep ajaran Islam yang berbeda tapi saling mempengaruhi dengan sangat kuat satu sama lain. Sebab dengan memberikan sebagain harta kepada kerabat terdekat sebagai haknya dan kepada orang miskin serta orang yang dalam perjalanan, berarti telah mengeluarkan sebagian hasil usahanya untuk pemerataan pendapatan guna membantu pengentasan kemiskinan sekaligus mencegah sikap boros.
Boros menurut jumhur adalah menafkahkan harta bukan pada haknya. Tidak boros dalam amal baik, artinya tidak israf (berlebih-lebihan), atau menghambur-hamburkan dalam beramal baik, sehingga untuk dirinya sendi berkekurangan. Bahkan dalam berbelanja, makan, minum, dan berpakaian secara berlebihan sehingga makanan terbuang karena basi, sementara si miskin kelaparan, dan mencabik-cabik pakaian untuk dipakai sebagai mode, sementara si miskin berpakaian robek karena tidak ada baju lagi. Sikap semacam inilah sebagai teman (ikhwan) setan, sedang setan adalah sangat ingkar kepada Tuhannya. Oleh karena itu, berbelanja cukuplah sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan.
Dalam dunia kedokteran, sudah sejak lama Islam mengajarkan tentang pentingnya menjaga kebersihan, baik rohani maupun jasmani. Bahkan menjaga kebersihan dapat dijadikan barometer keimanan seseorang, sabda Rasulullah Saw:
النّظافة من الأيمان.
Artinya:“Kebersihan sebahagian dari iman”. (H.R.Thabrani dan Al-Hakim)
Sebaliknya orang yang tidak menjaga kebersihan dinyatakan imannya tidak sempurna, bahkan timbulnya berbagai penyakit, sering kali disebabkan oleh lingkungan dan pola hidup yang tidak bersih. Bukankah terjadinya musibah, diantaranya banjir, disebabkan pola hidup yang tidak bersih, membuang sampah sembarangan dan tidak pada tempatnya, dan tidak ramah pada lingkungan?.
Beberapa contoh yang sederhana ini hanya sebagian kecil contoh yang disajikan dan memberikan gambaran jika Imtaq benar-benar diterapkan pada Iptek tentu dampaknya akan sangat positif dalam kehidupan manusia dan alam lingkungannya.
B. IBADAH
Ibadah merupakan manifestasi dan pembuktian pernyataan iman, oleh sebab itu sebelum seseorang hendak menjalankan ibadah harus didasari dengan rasa keimanan. Muatan-muatan ibadah dianggap berkualitas jika didalamnya tercakup aspek kekaguman kepada Tuhan karena kebesaran, kenikmatan atau kekuasaanNy; keikhlasan yang mendalam karena rasa kepatuhan, ketakutan kepada Allah jika meninggalkan Ibadah tersebut; pengharapan akan ridlo-Nya dan sekaligus kecintaan kepada Tuhan.
Dari sudut pandang yang berbeda ibadah dapat juga disebut sebagai ritus atau tindakan ritual yang merupakan elemen penting dari setiap aliran kepercayaan atau agama. Dalam kepercayaan Agama Islam Allah sebagai sang pencipta seluruh alam dan isinya serta pencipta seluruh jin dan manusia telah menitahkan kewajiban bagi mereka untuk beribadah kepadaNya sebagaimana firman Allah;
"Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku".(QS.51:56)
Ibadah dalam Islam secara global dapat dikelompokan menjadi 2 tipologi. Pertama, ibadah mahdlah (ibadah murni). kedua, ibadah ghoiru mahdlah (tidak murni). Berikut penjelasan tentang pengelompokan ini:
1. Pengertian Ibadah
a) Ibadah mahdhah
Ibadah mahdlah adalah ibadah yang merupakan pembuktian kepatuhan dalam melaksanakan perintah Allah SWT. Ibadah yang didalamnya tidak dicampuri kemanfaatan lain kecuali kebaktian dan kepasrahan total kepada Allah. Ibadah ini adalah ibadah yang sifatnya rigid (tauqifi) sesuai dengan yang telah dicontohkan oleh Rasulullah seperti Shalat, Zakat, Puasa, Haji dan seterusnya.
b) Ibadah ghairu mahdhah
Dalam buku dinamika kehidupan religius disebutkan bahwa ibadah ghoiru mahdhah atau ibadah mustfadah adalah ibadah yang dapat diambil manfaatnya dari ibadah itu sendiri. (M. Tholchah Hasan;2004: 41). Sebagaimana berbuat baik kepada orang lain, saling memaafkan, bertegur sapa dengan sesama, tidak merusak alam menyantuni anak yatim dan seterusnya. Jenis ibadah yang kedua ini memiliki sifat yang lebih fleksibel dibandingkan yang mahdhah dalam hal pelaksanaannya karena memang dalam Islam hanya disebutkan substansi dari amalan-amalan tersebut.
2. Prinsip-prinsip Ibadah
a). Dilakukan dengan ikhlas dan penuh kesadaran
Pengertian ikhlas terbagi beberapa bagian: Pertama, ikhlas ialah mengkhususkan tujuan semua perbuatan kepada Allah SWT semata. Pengkhususan ini mengharuskan tujuan perbuata itu hanya untuk-Nya, bukan yang lain. Kedua, ikhlas ialah melupakan pandangan manusia, sehingga hanya melihat Sang Pencipta alam. Orang yang menangis kerena takut kepada Allah SWT, memberikan infaq, atau mengerjakan shalat di tengah ribuan, bahkan jutaan orang akan tetap ikhlas karena tidak menggubris pandangan manusia tadi. Ia hanya melihat pandangan Allah SWT semata. Ketiga, ikhlas diartikan dengan tidak memaksudkan perbuatan agar dilihat orang, namun memaksudkan agar dilihat oleh Allah SWT.
Sebagaiman firman Allah :
هُوَ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَى وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَكَفَى بِاللَّهِ شَهِيدًا
“Dialah Allah yang telah mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan kebenaran agar menjelaskan keseluruhan agamaNya dan cukup lah Allah SWT sebagai saksi…” ( Al-Fath: 28 )
Ikhlas merupakan kunci amalan hati. Semua amalan shalih tidak akan sempurna tanpa dilandasi keikhlasan kepada Allah SWT semata. Bahkan makan, minum ataupun berolah raa, juga harus didasari keikhlasan.
Sebagaimana firman Allah :
قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ (162) لَا شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ (163)
“Katakanlah, ‘sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanya untuk ALLAH SWT,Rabb semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya dan demikian itulahyang diperintahkan kepadaku,,, “ (Al – An’am: 162-163).
Lebih mengherankan, ternyata iblis tidak berkuasa untuk menggoda semua manusia yang ikhlas, seperti firman Allah :
قَالَ رَبِّ فَأَنْظِرْنِي إِلَى يَوْمِ يُبْعَثُونَ (36) قَالَ فَإِنَّكَ مِنَ الْمُنْظَرِينَ (37) إِلَى يَوْمِ الْوَقْتِ الْمَعْلُومِ (38) قَالَ رَبِّ بِمَا أَغْوَيْتَنِي لَأُزَيِّنَنَّ لَهُمْ فِي الْأَرْضِ وَلَأُغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ (39) إِلَّا عِبَادَكَ مِنْهُمُ الْمُخْلَصِينَ (40)
“iblis berkata, ‘ya Tuhanku, beri tangguhlah aku sampai hari mereka dibangkitkan’. Allah subhanahu wa ta”ala berirman, ‘sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang diberi tangguh, sampai kepada hari yang telah ditentukan waktunya (hari kiamat)’. Iblis menjawab ‘Demi kekuasaan Engkau aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba-Mu yang ikhlas diantara mereka’.” (al Hajar ayat 36-40)
Pada kenyataannya setiap orag melakukan ibadah karena bebagai motivasi, yang motivasi tulus hanya karena Allah namun tidak sedikit yang motivasinya karena hal lain baik harta benda, wanita, ataupun jabatan disisi manusia. Seabagaimana telah disebutkan diatas bahwa ibadah yang bagus memiliki beberapa aspek yakni: kekaguman, keikhlasan, kepatuhan, ketakutan, pengharapan dan kecintaan. Maka yang dituntut dalam sebuah ibadah adalah keikhlasan serta kemurnian pengabdian kepada Allah.
Menurut Tolchah secara umum motivasi seseorang dalam menjalankan ibadah bisa diktegorisasi menjadi dua hal; pertana, ibadah yang dijalankan tulus karena Allah semata (Lillah Ta’ala) kedua, ibadah yang dijalani karean unsur riya’ (karena motivasi selain Allah). Namun sesungguhnya keikhlasan dan karena Allah-lah ibadah yang akan diterima olehAllah baik itu ibadah yang bersifat qolbiyah (perbuatan hati) ataupun jasmaniyah (perbuatan fisik) semua hanya bermuara dari rasa syukur dan ikhlas dalam menjalani perintahnya sebagaimana firman Allah:
وما أمروا إلا أن يعبدوا الله مخلصين له الدين
Artinya: ”dan tidaklah kalian diperintah apa-apa kecuali hanya beribadah secara ikhlas dengan menunaikan ketaatan menjalakan agamanya..,..(QS. Al Bayyinah: 5)
.....فاعبد الله مخلصا له الدين
Artinya: “sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya” (QS. Az Zumar:2).
Ibadah yang ikhlas bukan hanya berguna bagi orang yang melaksanakan dalam keadaan normal. Pun keikhlasan dalam ibadah seringkali membuka ruang kemanfaatan diluar kebiasaan. Ada sebuah cerita tentang tiga orang yang sedang terjebak reruntuhan batu di dalam gua, ketiga orang ini telah berusaha sekuat tenaga untuk mengangkat batu-batu dan keluar dari dalam gua yang pengap, namun usaha mereka sia-sia karena besarnya batu yang menutup pintu gua. Sampai akhirnya ketiga orang ini bersepakat untuk ber-wasilah dengan amal shalih mereka yang ia lakukan dengan sepenuh hati ikhlas dan tulus karena Allah. Kemudian mereka bergantian berdoa dengan menyebutkan amal mereka dan terbukalah batu penutup gua sedikit demi sedikit sehingga keluarlah mereka dari gua tersebut dalam keadaan selamat. Kisah ini adalah bukti bahwa ibadah yang dilakukan tulus ikhlas karena Allah dapat digunakan sebagai alat tawasul kepada Allah (Tolchah Hasan, 20)
b). Sesuai dengan rukun dan syaratnya
Sebagaimana telah disebut diatas ibadah mahdhah adalah ibadah yang sifatnya rigid artinya harus dilaksanakan sesuai dengan contoh Rasulullah. Kemudian munculah istilah rukun dan syarat dalam ibadah tersebut agar ibadah sah dan sesuai dengan syari’at, jika rukun dan syarat tersebut tidak terpenuhi maka ibadah seseorang dianggap tidak sah.
Ikhlas karena Allah dalam suatu amalan adalah pilar asasi bagi setiap amal shalih. Itulah landasan keabsahan dan diterimanya amal disisi Allah. Demikian pula itiba' (mengikuti cara Rasul) ádalah rukun kedua dari amal salíh yang diterima Allah. Sebagaimana firman Allah
قل إنما أنا بشر مثلكم يوحى إلي أنما إلهكم إله وحد- فمن كان يرجوا لقاء ربه فليعمل عملا صالحا ولا يشرك بعبادته أحدا
Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhanya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shalih dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhanya. (al Kahfi:110)
Aqidah ialah ajaran Islam yang mengatur cara berkeyakinan, yaitu bagaimana orang Islam seharusnya berkeyakinan. Aqidah dalam Islam diatur dalam rukun iman, diantarannya adalah iman kepada Allah. Dari keimanan kepada Allah itu akan muncul kewajiban beriman kepada lima lainnya sehingga seluruhnya menjadi enam. Iman kepada Allah SWT adalah hidup sesuai dengan aturan-aturan yang telah digariskan oleh-Nya. Konsep penting yang terkandung di dalam istilah iman kepada Allah ialah suatu kepercayaan yang mantap dan kepercayaan itu menyebabkan orang tersebut melakukan kehidupannya sesuai dengan keimanannya itu. Keimanan seseorang tidak dapat diketahui dari kepercayaan dan ucapannya saja, keimanan seseorang dapat diketahui dari perbuatannya dalam menjalani hidup. Ada tiga tahap yang dilalui manusia dalam mengenal Allah, yaitu tahap orang awam, tahap orang khusus, dan tahap khusus lil khusus, adapun cara yang paling mudah untuk mengenal Allah SWT adalah dengan membaca Alquran yang menerangkan tentang Allah dan sifat-sifat yang wajib bagi-Nya.
1. SIFAT WAJIB BAGI ALLAH
Salah satu kebutuhan dasar manusia adalah adanya pemenuhan rasa ingin tahu manusia akan adanya kekuatan yang menentukan kehidupannya. Atas dasar kebutuhan ini, lahirlah berbagai kepercayaan seperti animisme, yang menganggap roh nenek moyang sebagai sesuatu yang menentukan kehidupan dan karenanya lalu dianggap sebagai tuhan yang perlu disembah , atau Dinamisme, yang menganggap benda-benda yang sekiranya berbentuk luar biasa sebagai sesuatu yang memiliki kekuatan luar biasa pula. Benda ini, seperti gunung, api, patung, keris, pohon besar, dan sungai yang kemudian dianggap sebagi Tuhan yang berhak disembah sekaligus tempat meminta.
Islam datang untuk mengoreksi sekaligus menyempurnakan paham dan kepercayaan yang salah tersebut. Islam sebagai agama yang hak, dengan ajaran yang mengajarkan bahwa Allah-lah Tuhan sejati. Tiada Tuhan selain Allah. Allah merupakan zat yang diyakini sebagai satu-satunya Tuhan. Kita sebagai orang beriman harus meyakini bahwa Dia memiliki sifat-sifat yang agung dan tidak dapat disamai oleh siapapun dari makhluk-Nya. Sifat-sifat Allah itu ada yang termasuk wajib bagi-Nya, ada yang mustahil bahkan ada juga yang jaiz
Adapun sifat-sifat wajib bagi Allah yang wajib diyakini oleh setiap Muslim, ada tiga belas, ditambah tujuh sifat maknawiyah. Jadi keseluruhannya berjumlah dua puluh. Sifat-sifat Allah SWT yang dua puluh tersebut di atas, dibagi menjadi empat bagian :
a. Sifat-sifat Nafsiyah
Sifat-sifat nafsiyah ialah sifat yang berhubungan dengan zat Allah SWT. Sifat-sifat tersebut yaitu :
(1). Wujud ( ada )
“Wujud” artinya ada, mustahil Allah bersifat “adam” artinya tidak ada. Allah wajib ada. Alam ini atau setiap makhluk ada yang membuatnya (Khalik). Demikian juga langit dan bumi, matahari yang setiap pagi terbit dari Timur dan terbenam di ufuk Barat, adanya siang dan malam. Semua ada yang mengatur dan menciptakannya, yaitu Allah SWT. Firman Allah SWT dalam surat al An'am: 102
ذَلِكُمُ اللَّهُ رَبُّكُمْ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ فَاعْبُدُوهُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ وَكِيلٌ (الأنعام: 102)
(yang memiliki sifat-sifat yang) demikian itu ialah Allah Tuhan kamu; tidak ada Tuhan selain Dia; Pencipta segala sesuatu, Maka sembahlah Dia; dan dia adalah pemelihara segala sesuatu.
Quraish Shihab menafisrkan ayat ini bahwa yang memiliki sifat tinggi dan mulia hanyalah Allah, Yang Maha Esa Tuhan pemelihara kalian, tidak ada yang berhak disembah selain Dia, pencipta segala sesuatu. Karena itu sembahlah Dia satu-satunya dan semata-mata karena yang mempersekutukan-Nya, tidak dinilai menyembah-Nya. Dia yang Maha kuasa tidak butuh kepada ibadah dan pengabdian makhluk karena Dia Maha Kaya dan di atas segala sesuatu adalah wakil, yakni pemelihara. Beribadah adalah konsekuensi dari kepercayaan tentang wujud Allah yang disebut dalam sifat-sifatNya diatas, yakni tidak ada Tuhan selain Dia, karena Dia yang mencipta segala sesuatu, jika demikian maka tidak ada yang bersekutu dengan-Nya dalam ketuhanan dan penciptaan serta karena itu pula ibadah dan ketundukan semata-mata hanya tertuju kepada-Nya. (Shihab, 2007, v 4:223)
Ada golongan manusia yang tidak percaya atau meragukan adanya Allah, dengan alasan karena mereka belum pernah melihat wujud-Nya. Kepercayaan tersebut keliru, karena banyak zat yang tidak dapat dilihat wujudnya, tetapi diyakini adanya, seperti nyawa ( roh ) dan angin. Nyawa dan angin diyakini ada semata-mata berdasarkan kepada tanda-tanda yang menunjukkan wujudnya. Tanda-tanda wujudnya nyawa pada manusia adalah manusia bernafas, makan, minum, bergerak, dan bekerja. Tanda-tanda wujudnya angin antara lain, pohon nyiur melambai-lambai karena ditiup angin dan kapal layar dapat melaju karena didorong pleh tenaga angin.
Adapun tanda-tanda wujudnya Allah SWT itu sangat banyak, sehingga manusia tidak akan mampu menyebutkannya satu persatu. Singkatnya, bukti-bukti tentang wujud Allah itu terdapat di dalam diri manusia dan di luar diri manusia. Allah SWT berfirman dalam surat al Dzariyat; 20-21:
وَفِي الْأَرْضِ آَيَاتٌ لِلْمُوقِنِينَ (20) وَفِي أَنْفُسِكُمْ أَفَلَا تُبْصِرُونَ (21)
Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang yakin. Dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak memperhatikan?
Ayat ini menyatakan bahwa banyak sekali tanda-tanda keesaan, kebesaran dan kekuasaan Allah yang terbentang di langit dan di bumi yakni bagi orang-orang yang yakin dan mantap keyakinanya. Bukti keesaan Allah yang terdapat dibumi antara lain sistem kerja bumi dan keseimbangan yang ada dialamnya, disamping keindahan dan kelanggenganya, kesemuanya terjadi secara berulang yang menampik dugaan kebetulan dan kesemuanya terjadi dengan sangat konsisten dan teratur. Andai ada dua Tuhan maka keharmonisan dan kesinambungan itu tidak mungkin terjadi. Bukti ke beradaan Allah juga terdapat pada diri manusia antara lain proses kejadian manusia yang sangat unik, organ tubuhnya yang sedemikian serasi tapi kompleks demikian juga pada tingkah lakunya yang sedemikian rumit. (Shihab, 2007; v 13: 334 )
Manusia tidak dapat melihat zat Allah karena kemampuan manusia terbatas, sedangkan Allah sebagai khalik ( pencipta ) alam semesta dan segala isinya, dapat melihat segala apa yang dikehendaki-Nya. Sebagaimana firman Allah dalam surat al an'am ayat 103:
لَا تُدْرِكُهُ الْأَبْصَارُ وَهُوَ يُدْرِكُ الْأَبْصَارَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ (103)
Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang dia dapat melihat segala yang kelihatan; dan dialah yang Maha halus lagi Maha Mengetahui.
b. Sifat Salbiyah
Sifat salbiyah ialah sifat yang menolak dan meniadakan sebaliknya, dengan kata lain memustahilkan adanya sifat tersebut, sifat salbiyah ada lima yaitu :
(1). Qidam ( Lebih dahulu )
Jika kita melihat mobil, kereta api, kapal laut, pesawat terbang tentu logika kita akan berbicara bahwa alat-alat transportasi tersebut ada yang membuatnya. Pembuat alat-alat transportasi tersebut pasti lebih dulu ada dari pada alat-alat transportasi yang dibuatnya. Disini berlaku hukum kausalitas ( hukum sebab akibat ).
Allah SWT sebagai pencipta alam semesta dan segala isinya, secara logika sudah tentu wajib bersifat qidam, artinya lebih dahulu ada dari segala makhluk-Nya. Mustahil Allah bersifat huduts ( baru ), karena Allah itu sudah ada sebelum alam semesta dan segala isinya ini ada. Adanya Allah tidak bermulasan dan tidak berkesudahan, karena adanya Allah itu mutlak. Dalam hal ini hukum kausalitas tidak berlaku pada zat Allah, Tuhan Yang Maha Agung . Firman Allah SWT dalam surat al Hadid ayat 3:
هُوَ الْأَوَّلُ وَالْآَخِرُ وَالظَّاهِرُ وَالْبَاطِنُ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ (3)
Dialah yang Awal dan yang akhir yang Zhahir dan yang Bathin; dan dia Maha mengetahui segala sesuatu.
Setelah Allah menyebutkan kuasa-Nya yang tak terbatas, kini Allah melalui ayat ini menjelaskan tentang wujud-Nya yang mutlak. Dialah Allah yang Awwal yang telah wujud sebelum segala sesuatu wujud sehingga tidak ada sesuatu pun yang mendahului-Nya dan yang Akhir yakni akan hidup selama-lamanya setelah segala sesuatu musnah dan hanya Dia yang Zhahir yang begitu jelas wujud-Nya melalui alam raya yang Dia ciptakan dan pembuktian logika dan rasa dan hanya Dia pula sendiri yang Bathin dzat dan Hakikat-Nya sehingga tidak dapat dijangkau, jangankan oleh mata tetapi juga oleh akal dan khayal dan Dia menyangkut segala sesuatu Maha mengetahui (Quraish, 2007, v 14; 8)
Dalam ayat ini Allah memeperkenalkan diri-Nya: Dialah sendiri yang awal yang telah wujud sebelum segala sesuatu wujud sehingga tidak ada yang mendahului-Nya dan Yang Akhir yakni yang akan hidup selama-lamanya setelah segala sesuatu musnah dan hanya Dia pula yang Zhahir yang begitu jelas.
(2). Baqa’ ( Kekal )
Allah wajib bersifat baqa’, maksudnya Allah itu wajib bersifat kekal, senantiasa ada dan tidak akan mengalami kebinasaan, firman Allah SWT dalam surat ar Rahman ayat 27:
وَيَبْقَى وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ (27)
Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.
Ayat tersebut diatas adalah merupakan dalil naqli tentang kekekalan Allah, adapun dalil aqli bahwa Allah SWT itu wajib bersifat baqa adalah sebagai berikut. Jika Allah itu tidak bersifat kekal, berarti Allah itu binasa atau berkesudahan. Jika Allah itu berkesudahan atau binasa, berarti Allah itu sama dengan makhluknya. Padahal Allah itu bukan makhluk yang diciptakan dan dibinasakan , tetapi Allah itu adalah khalik yang menciptakan dan membinasakan
(3). Mukhalafatu li al Hawaditsi ( Berbeda dengan Makhluk-Nya )
Menurut dalil aqli, sesuatu yang dibuat manusia tidak sama dengan pembuatnya. Begitu juga dengan Allah SWT sebagai pencipta ( Khalik ) tentu berbeda dengan hasil ciptaan-Nya ( Makhluk ). Maka wajib bagi Allah SWT bersifat mukhalafatu li al hawaditsi, artinya Allah SWT wajib berlainan atau berbeda dengan segala yang baru ( Makhluk ). Perbedaan antara Allah dan semua makhluk-Nya itu terdapat pada zat-Nya, sifat-Nya, dan perbuatan-Nya.
Salah satu perbedaan antara zat Allah dan semua makhluk-Nya ialah zat Allah ada dengan sendiri-Nya, sedangkan adanya semua makhluk Allah karena ada yang mengadakan. Segala sifat Allah berlainan dengan segala sifat makhluk-Nya. Manusia sebagai makhluk Allah memiliki sifat berkuasa, berkehendak, mengetahui, hidup, mendengar, melihat, dan berkata-kata. Sifat-sifat tersebut tampaknya sama seperti yang terdapat pada Allah SWT, akan tetapi, persamaan sifat manusia dengan sifat Allah tersebut hanya dalam sebutan saja, sedangkan pada hakikatnya berbeda.
Demikian juga segala perbuatan Allah berbeda dengan segala perbuatan makhluk-Nya. Apa yang di ciptakan Allah berlainan dengan apa yang di ciptakan makhluk-Nya. Jika Allah menciptakan sesuatu yang dikehendaki-Nya, Dia tidak membutuhkan siapa pun dan apa pun. Sebaliknya, apabila makhluk Allah membuat sesuatu yang dikehendakinya , ia membutuhkan bahan lain selain dari dirinya. Semua yang dibuat manusia menggunakan bahan-bahan yang telah disediakan Allah SWT. Allah SWT berfirman dalam surat al Syura ayat 11:
فَاطِرُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ جَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا وَمِنَ الْأَنْعَامِ أَزْوَاجًا يَذْرَؤُكُمْ فِيهِ لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ (11)
(Dia) Pencipta langit dan bumi. dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu sendiri pasangan-pasangan dan dari jenis binatang ternak pasangan- pasangan (pula), dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan jalan itu. tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha mendengar dan Melihat.
Ayat tersebut diatas menjelaskan bahwasanya Allah SWT wajib bersifat Mukhalafatu li al hawaditsi. Adapun dalil aqlinya jika Allah tidak bersifat Mukhalafatu li al hawaditsi, berarti Allah itu bersifat mumasalatu li al hawaditsi atau bersifat sama dengan makhluk-Nya. Mustahil Allah sama dengan makhluk-Nya. Jika Allah sama dengan makhluk-Nya berarti Allah itu makhluk. Padahal Allah itu khalik.
(4). Qiyamuhu binafsihi ( berdiri sendiri )
Hanya Allahlah yang mengurus makhluk-Nya secara terus menerus. Dia tidak pernah merasa berat, Allah mengetahui yang lahir dan yang batin. Dia berkuasa mandiri, tak pernah membutuhkan bantuan orang lain.Maka wajib bagi Allah bersifat qiyamuhu binafsihi artinya berdiri sendiri dan mustahil bagi-Nya bersifat ikhtiyaju ligairihi, artinya membutuhkan kepada yang selain-Nya. Firman Allah SWT dalam surat al Baqarah ayat 255:
اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ لَا تَأْخُذُهُ سِنَةٌ وَلَا نَوْمٌ لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ مَنْ ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلَّا بِإِذْنِهِ يَعْلَمُ مَا بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ وَلَا يُحِيطُونَ بِشَيْءٍ مِنْ عِلْمِهِ إِلَّا بِمَا شَاءَ وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَلَا يَئُودُهُ حِفْظُهُمَا وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ (255)
Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan dia yang hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi, tiada yang dapat memberi syafa'at di sisi Allah tanpa izin-Nya? Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi[161] Allah meliputi langit dan bumi. dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.
Di dalam ayat yang lain Allah berfirman dalam surat Fathir ayat 15:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَنْتُمُ الْفُقَرَاءُ إِلَى اللَّهِ وَاللَّهُ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيدُ (15)
Hai manusia, kamulah yang berkehendak kepada Allah; dan Allah dialah yang Maha Kaya (Tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji.
Dari ayat-ayat Alquran tersebut dapat dipahami, bahwa di dalam mencipta dan mengurus alam semesta, Allah SWT tidak membutuhkan bantuan kepada sesuatu apa pun selain diri-Nya. Namun sebaliknya makhluklah yang sebenarnya selalu membutuhkan pertolongan Allah dalam segala hal
(5). Wahdaniyah ( Esa )
Islam menetapkan, bahwa keesaan Allah meliputi keesaan ketuhanan. Maka tidak ada Tuhan yang menciptakan, mengelola dan melaksanakan segala sesuatu melainkan Dia. Wahdaniyah artinya satu atau esa. Kalau kita perhatikan alam semesta dan segala isinya, bumi, bulan, matahari, dan planet-planet lainnya berjalan begitu rapi tidak ada yang berbenturan. Hal ini menunjukkan bahwa perjalanan itu menurut sunatullah atau disebut hukum alam.
Hanya Allah saja yang membuat, memelihara, dan mengaturnya sedemikian rapi. Manusia tidak bias membuat atau mengubahnya. Semua itu menunjkkan bahwa yang menciptakannya adalah satu, yaitu Allah. Firman Allah SWT dalam surat Ali Imran ayat 26:
قُلِ اللَّهُمَّ مَالِكَ الْمُلْكِ تُؤْتِي الْمُلْكَ مَنْ تَشَاءُ وَتَنْزِعُ الْمُلْكَ مِمَّنْ تَشَاءُ وَتُعِزُّ مَنْ تَشَاءُ وَتُذِلُّ مَنْ تَشَاءُ بِيَدِكَ الْخَيْرُ إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ (26)
Katakanlah: "Wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Kerusakanlah yang terjadi kalau ada beberapa Tuhan. Kalau demikian wajib bagi Allah bersifat wahdaniyah artinya Allah itu esa atau satu. Esa dalam sifat-Nya, zat-Nya, dan mustahil bagi Allah bersifat taadud ( berbilang. Firman Allah SWT dalam surat Ikhlasa ayat 1-4:
قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ (1) اللَّهُ الصَّمَدُ (2) لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ (3) وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ (4)
Katakanlah: "Dia-lah Allah, yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan, Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia."
Kata Ahad/ Esa terambil dari akar kata وحدة yang artinya kesatuan seperti juga kata واحد yang beraarti satu. Kata ahad bisa berfugsi sebagai nama dan bisa juga berfungsi sebagai sifat bagi sesuatu. Apabila ia berkedudukan sebagai sifat, maka ia hanya digunakan untuk Allah SWT. Dalam ayat ini kata ahad berfungsi sebagai sifat Allah dalam arti bahwa Allah memiliki sifat tersendiri yang tidak dimiliki oleh selain-Nya.
Ke Esaan dzat mengendung pengertian bahwa seseorang percaya bahwa Allah tidak terdiri dari unsur-unsur atau bagian-bagian. Karena jika Allah terdiri dari dua unsure sekecil apapun unsure itu maka berarti Ia masih membutuhkan itu dan ini adalah sifat yang mustahil bagi Allah. Pengesaan Allah terdiri dari keesaan sifat, keesaan dalam perpbuatan dan keesaan dalam beribadah kepadaNya. (Shihab, 2007, v.14; 607-611)
c. Sifat Ma’ani
Sifat ma’ani ialah sifat ma’na, yaitu memastikan yang disifati itu bersifat dengan sifat tersebut. Sifat salbiyah ada tujuh yaitu :
(1). Qudrat ( yang Berkuasa )
Allah bersifat qudrat yang artinya kuasa, dapat berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya, tidak ada yang menyamai kekuasaan-Nya. Ketika manusia diberi tanggung jawab untuk mengatur dan memanfaatkan serta memakmurkan bumi, bukan berarti Allah tidak berkuasa untuk melakukannya. Allah berkuasa menciptakan alam, memelihara dan mengaturnya. Firman Allah SWT dalam surat Anbiya' ayat 22:
لَوْ كَانَ فِيهِمَا آَلِهَةٌ إِلَّا اللَّهُ لَفَسَدَتَا فَسُبْحَانَ اللَّهِ رَبِّ الْعَرْشِ عَمَّا يَصِفُونَ (22)
Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu Telah rusak binasa. Maka Maha Suci Allah yang mempunyai 'Arsy daripada apa yang mereka sifatkan.
Ayat tersebut diatas menerangkan kekuasaan Allah itu Maha Sempurna, tidak terbatas dan mutlak. Tidak ada zat selain Allah (makhluk) yang memiliki kekuasaan sama dengan Allah apalagi melebihi. Bahkan kekuasaan yang dimiliki oleh makhluk Allah sebenarnya merupakan anugerah dari Allah SWT. Jika Allah berkehendak mencabut kekuasaan yang terdapat pada makhluk-Nya, tidak seorangpun dapat menghalangi-Nya.
Bukti-bukti keMahakuasaan Allah itu terdapat dalam alam semesta dan segala isinya, baik dalam hal mewujudkannya dan mengurusnya, maupun dalam hal membinasakannya, karena itu wajib bagi-Nya bersifat qudrat. Mustahil Allah bersifat ajzun yang artinya lemah.
(2). Iradah ( Maha Berkehendak )
Kekuasaan Allah Maha mutlak, tidak terbatas, dan Maha mengatur sekalian alam yang tampak maupun yang tidak tampak ( gaib ) serta tidak diatur atau dipaksa oleh siapapun.
Allah SWT Maha Berkehendak, maksudnya kehendak Allah itu Maha Sempurna, tidak terbatas dan mutlak. Allah SWT dalam mencipta dan mengurus alam semesta, semata-mata berdasarkan kehendak-Nya, bukan karena dipaksa atau terpaksa.
Sifat iradah Allah SWT sangat erat hubungannya dengan sifat qudranya. Seisi alam semesta ini diciptakan oleh Allah SWT semata-semata karena kehendaknya. Tidak ada sesuatu selain yang dapat menghalangi kehendak dan kekuasaan Allah, jika Allah SWT menghendaki atau menciptakan sesuatu cukup mengatakan kun, “jadilah “ fayakun “ maka terjadilah sesuatu yang dikehendaki-Nya sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Yasin ayat 82:
إِنَّمَا أَمْرُهُ إِذَا أَرَادَ شَيْئًا أَنْ يَقُولَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ (82)
Sesungguhnya keadaan-Nya apabila dia menghendaki sesuatu hanyalah Berkata kepadanya: "Jadilah!" Maka terjadilah ia.
Manusia diciptakan oleh Allah menjadi makhluk yang paling sempurna dan paling mulia dibandingkan dengan makhluk lainnya adalah sudah menjadi airadah (kehendak) Allah SWT, adanya perbedaan diantara makhluk ciptaan Allah adalah sudah menjadi kehendak-Nya sebagaimana firman Allah dalam surat al Maidah 1:
َا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ أُحِلَّتْ لَكُمْ بَهِيمَةُ الْأَنْعَامِ إِلَّا مَا يُتْلَى عَلَيْكُمْ غَيْرَ مُحِلِّي الصَّيْدِ وَأَنْتُمْ حُرُمٌ إِنَّ اللَّهَ يَحْكُمُ مَا يُرِيدُ (1)
Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu[388]. dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya.
Menurut ayat diatas cukup jelas bahwa Allah wajib bersifat Iradah (berkehendak) dan mustahil bagi Allah bersifat karahah (terpaksa).
(3). Ilmu ( Maha Mengetahui )
Allah SWT itu Maha Mengetahui, pengetahuan Alah itu Maha Sempurna dan tidak terbatas. Allah SWT mengetahui segalanya tanpa dibatasi oleh waktu dan ruang, Allah SWT senantiasa mengetahui segala sesuatu yang akan dan sudah terjadi pada setiap ciptaan-Nya, baik yang nyata maupun yang gaib. Singkatny Allah SWT, mengetahui segala isi alam semesta. Akal sehat tidak akan memerima (mustahil ) Allah itu bersifat tidak mengetahui atau bodoh.Allah SWT berfirman dalam surat al Mujadalah ayat 1:
َا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ أُحِلَّتْ لَكُمْ بَهِيمَةُ الْأَنْعَامِ إِلَّا مَا يُتْلَى عَلَيْكُمْ غَيْرَ مُحِلِّي الصَّيْدِ وَأَنْتُمْ
حُرُمٌ إِنَّ اللَّهَ يَحْكُمُ مَا يُرِيدُ (1)
Tidakkah kamu perhatikan, bahwa Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ada di langit dan di bumi? tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah keempatnya. dan tiada (pembicaraan antara) lima orang, melainkan Dia-lah keenamnya. dan tiada (pula) pembicaraan antara jumlah yang kurang dari itu atau lebih banyak, melainkan dia berada bersama mereka di manapun mereka berada. Kemudian dia akan memberitahukan kepada mereka pada hari kiamat apa yang Telah mereka kerjakan. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.
Dari beberapa ayat tersebut, jelaslah bahwa Allah SWT adalah Maha berilmu dan sumber ilmu. Ilmu yang dimiliki oleh manusia pada hakikatnya merupakan anugrah/pemberian dari Allah SWT, ilmu yang dimiliki manusia tidak ada artinya apabila dibandingkan dengan ilmu Allah SWT. Allah SWT berfirman
(4). Hayat ( Maha Hidup )
Bagi Allah SWT zat yang Maha Hidup. Hidup tidak berakhir dengan kematian, karena mati hanyalah menjadi milik makhluk yang diciptakan. Allah ada dengan sendirinya dan kekal adanya. Hidup Allah SWT tidak berpermulaan dan tidak berkesudahan. Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat al Baqarah:
اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ لَا تَأْخُذُهُ سِنَةٌ وَلَا نَوْمٌ لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ مَنْ ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلَّا بِإِذْنِهِ يَعْلَمُ مَا بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ وَلَا يُحِيطُونَ بِشَيْءٍ مِنْ عِلْمِهِ إِلَّا بِمَا شَاءَ وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَلَا يَئُودُهُ حِفْظُهُمَا وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ (255)
Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan dia yang hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi, tiada yang dapat memberi syafa'at di sisi Allah tanpa izin-Nya? Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi[161] Allah meliputi langit dan bumi. dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.
Dari petikan ayat tersebut, jelaslah bahwa Allah SWT bersifat hayat atau hidup, menurut akal sehat mustail sesuatu yang mati dapat mencipta, mengatur, dan mengendalikan sesuatu yang lain. Dengan demikian wajib bagi Allah SWT bersifat hayat, artinya hidup, mustahil bagi Allah SWT bersifat maut artinya mati. Allah Maha Hidup dan memberi kehidupan pada makhluk-Nya serta mencabut kembali kehidupan itu dari siapa yang dikehendaki-Nya. Firman Allah SWT :
(5). Sama’ (Maha Mendengar )
Allah bersifat sama’ artinya bahwa Allah adalah Maha Mendengar terhadap segala sesuatu, baik yang diucapkan makhluk-Nya maupun yang masih dalam bisikan hati nurani. Firman Allah SWT dalam surat al Baqarah ayat 127:
وَإِذْ يَرْفَعُ إِبْرَاهِيمُ الْقَوَاعِدَ مِنَ الْبَيْتِ وَإِسْمَاعِيلُ رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ (127)
Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa): "Ya Tuhan kami terimalah daripada kami (amalan kami), Sesungguhnya Engkaulah yang Maha mendengar lagi Maha Mengetahui".
Pendengaran Allah berbeda dengan pendengaran manusia, baik bentuk maupun daya jangkauannya, sesuai dengan sifat Allah mukhalatu lil haditsi. Karena manusia hanya dapat mendengar sebatas yang dapat dijangkaunya saja. Walaupun kalau kita perhatikan di abad yang serba modern ini orang bisa bercakap-cakap dari jarak jauh melalui komunikasi, tetapi pendengaran manusia tetap terbatas oleh kemampuan peralatan yang digunakan. Tidak demikian dengan Allah SWT, dia selalu mendengarkan suara hati semua manusia di bumi ini tanpa kecuali. Bagi orang yang beriman kepada Allah SWT niscaya akan merasa senang dan tenang karena tidak khawatir bahwa doa atau permohonannya tidak akan didengar oleh Allah. Allah SWT sangat dekat dan Maha Mendengar. Sebagaimana firman Allah SWT surat al Maidah ayat 76:
أَتَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ مَا لَا يَمْلِكُ لَكُمْ ضَرًّا وَلَا نَفْعًا وَاللَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ (76)
Katakanlah: "Mengapa kamu menyembah selain daripada Allah, sesuatu yang tidak dapat memberi mudharat kepadamu dan tidak (pula) memberi manfaat?" dan Allah-lah yang Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.
Dengan demikian, maka wajib bagi setiap Muslim beriman bahwa Allah SWT bersifat sama’ artinya Maha Mendengar, mustahil Allah SWT bersifat summu artinya tuli. Oleh karena itu manusia dituntut untuk berbicara, bertingkah laku, berpikir, dan beriktikad baik, serta dituntut untuk selalu ingat kepada Allah SWT dalam situasi dan kondisi bagaimanapun, karena Allah SWT selalu mendengar segala ucapan dan gerak gerik kita.
(6). Bashar ( Maha Melihat )
Allah SWT bersifat Maha Melihat. Cara Allah melihat berbeda dengan cara melihat makhluk-Nya. Contohnya manusia melihat dengan mata, sedangkan mata manusia dalam melihat memiliki keterbatasan dan kekurangan. Allah SWT melihat segala sesuatu tidak dengan mata sebagaimana mata yang dimiliki manusia.
Melihatnya Allah SWT Maha Sempurna tidak terbatas oleh ruang dan waktu. Allah SWT dapat melihat semua sikap dan perbuatan manusia, baik yang terang-terangan maupun yang tersembunyi, yang dikerjakan sendiri-sendiri maupun yang dikerjakan secara berjamaah (ramai-ramai ) sebagai mana firman Allah SWT :
إِنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ غَيْبَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاللَّهُ بَصِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ (18)
Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ghaib di langit dan bumi. dan Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.
Bagi orang yang beriman dimanapun ia berada senantiasa merasa diawasi oleh Yang Maha Melihat baik siang maupun malam, di tempat ramai maupun di tempat sepi, sebab Allah SWT tidak memiliki sifat umyun ( buta )
(7). Kalam ( Maha Berfirman )
Allah SWT berrsifat kalam, artinya Maha Berfirman yang tidak ada batasnya, sebagai petunjuk bagi manusia, firman Allah SWT :
إِلَّا الَّذِينَ تَابُوا وَأَصْلَحُوا وَاعْتَصَمُوا بِاللَّهِ وَأَخْلَصُوا دِينَهُمْ لِلَّهِ فَأُولَئِكَ
مَعَ الْمُؤْمِنِينَ وَسَوْفَ يُؤْتِ اللَّهُ الْمُؤْمِنِينَ أَجْرًا عَظِيمًا (146)
Kecuali orang-orang yang Taubat dan mengadakan perbaikan[369] dan berpegang teguh pada (agama) Allah dan tulus ikhlas (mengerjakan) agama mereka Karena Allah. Maka mereka itu adalah bersama-sama orang yang beriman dan kelak Allah akan memberikan kepada orang-orang yang beriman pahala yang besar.
Cara Allah SWT berfirman berbeda dengan cara manusia berkata. Manusia berkata dengan menggunakan mulut atau alat ucap lainnya, sedangkan Allah SWT berfirman tidak dengan mulut dan alat ucap lainnya yang biasa dipergunakan manusia. Cara Allah SWT berfirman Maha Sempurna, tidak ada kekurangan ayaupun cacat dan celanya.
Alquran adalah merupakan kumpulan firman-firman Allah SWT, yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw melalui malaikat Jibril untuk dijadikan pedoman hidup umat manusia. Dengan membaca dan meMahami Alquran, umat manusia dapat mengetahui mana firman Allah yang berisi perintah yang wajib dikerjakan dan mana firman Allah yang berisi larangan yang harus dijauhi.
d. Sifat Ma’nawiyah
Sifat ma’nawiyah ialah sifat yang bergantung dan berhubungan dengan sifat ma’ani. Tiap-tiap ma’ani tentu ada sifat ma’nawiyah, karena itu maka lazim disebut sifat ma’nawiyah. Ma’nawiyah ialah kelanjutan daripada sifat ma’ani dan bukan merupakan sifat tersendiri. Sifat ma’nawiyah ada tujuh yaitu :
a. Qadiran ( Maha Kuasa )
b. Muridan ( Maha Berkehendak )
c. Aliman ( Maha Mengetahui )
d. Hayyan ( Maha Hidup )
e. Sam’an ( Maha Mendengar )
f. Bashiran ( Maha Melihat )
g. Mutakalliman ( Maha berfirman )
2. SIFAT-SIFAT NABI / RASUL
Sebagai seorang Muslim kita wajib mengimani adanya para Nabi atau Rasul Allah SWT. Sikap mengimani tersebut berarti mau mengikuti ajaran-ajaran yang telah disampaikan para Rasul kepada umatnya. ajaran para Nabi dan Rasul ini tidak ada sedikitpun unsur kekerasan, penipuan, kerusakan, permusuhan dan lainnya. Semua sikap dan tindakan para Rasul Allah tidak semata-mata berdasarkan atas kehendaknya sendiri, melainkan sesuai dengan bimbingan yang telah diwahyukan oleh Allah SWT kepadanya. Didalam Islam tidak ada perbedaan antara Rasul yang satu dengan Rasul lainnya, sebab semuanya adalah utusan Allah. Para Rasul itu mempunyai empat sifat wajib yaitu :
a. Sidik ( benar )
Artinya setiap Rasul itu wajib berkata, bersikap, dan berbuat benar dalam kehidupannya,mustahil para Rasul sebagai utusan Allah SWT itu berdusta didalam menyampaikan wahyu yang datangnya dari Allah, karena para Rasul itu senantiasa terjaga dari perbuatan dosa (maksum) dan tidak mungkin para Rasul itu bersifat kizib (berdusta) didalam menyampaikan risalah yang datangnya dari Allah SWT.
b. Amanah ( dapat dipercaya )
Setiap Rasul yang diutus oleh Allah SWT wajib berlaku amanah baik terhadap Allah SWT maupun terhadap umatnya, tidak mungkin para Rasul itu berkhianat terhadap yang diamanatkan oleh Allah kepadanya.
c. Tabligh ( menyampaikan )
Para utusan Allah SWT pasti menyampaikan wahyu yang ia terima kepada umatnya. Ia tidak menambah atau mengurangi wahyu Allah SWT tersebut. Ia sampaikan semua wahyu Allah kepada semua manusia tanpa melihat suku, ras , atau pangkat dan kedudukan. Seorang Rasul tidak mungkin menyembunyikan apa yang ia peroleh dari wahyu Allah SWT.
d. Fathanah ( Cerdas )
Tugas para Rasul itu sangat berat, berbagai rintangan, tantangan, dan hambatan senantiasa berada di depan mereka pada saat melaksanakan misi dakwah, para Rasul dituntut untuk bisa menyelesaikan dan mengatasi berbagai persoalan yang ada pada umatnya, untuk itu para Rasul diberi sifat fathonah (kecerdasan) oleh Allah sehingga dapat menyelesaikan semua persolan yang dihadapinya, mustahil para utusan Allah itu bersifat bodoh ( baladah ).
3. AL-ASMAUL-HUSNA
Apa yang dimaksud dengan Al-Asma’ul Husna? Al-Asma’ul Husna artinya nama-nama Allah SWT yang baik. Mengapa demikian ? Karena mustahil Allah SWT memiliki nama yang buruk.
Kebaikan Allah SWT tersebut tergambar pada seluruh Al-Asma’ul Husna. Rasulullah SAW menjelaskan bahwa Al-Asma’ul Husna
انّ لله تسعة وتسعين اسمامائةالا واحدامن احصا ها دخل الجنة[رواه البخاري ومسلم]
Artinya:“Seseungguhnya Allah mempunyai sembilan puluh sembilan nama, yaitu seratus kurang satu, barangsiapa menghitungnya, niscaya ia masuk surga.(H.R. Bukhari dan Muslim)
umlahnya 99, sebagaimana diterangkan dalam hadits berikut:
Dari sembilan puluh sembilan nama tersebut semuanya menjelaskan dan menggambarkan betapa baiknya Allah SWT tersebut.
Al-Asma’ul Husna hanya milik Allah SWT. Manusia sebagai makhluk ciptaan-Nya dapat memahami, mempelajari dan meniru kandungan makna dari nama-nama yang baik tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya diucapkan ketika berzkir atau berdoa. Ketika berdoa, nama-nama dalam Al-Asma’ul Husna kita baca dan kita pilih sesuai dengan permintaan kita. Misalnya kita mohon diberi sifat kasih saying, maka bacalah Ar-Rahman, artinya Maha Pengasih. Bila kita mohon petunjuk, maka yang kita baca adalah Al-HAdi, yang berartu MAha Pemberi Petunjuk, dan demikian selanjutnya dengan nama-nama yang lain.
Anjuran untuk menggunakan Al-Asma’ul Husna dalam berzikir atau berdoa, diterangkan Allah SWT dalam Al-Qur’an sebgai berikut:
ولله الا سماءالحسنى فا د عوه بها و ذرواالّذين يلحدون في اسما ئه سيجزون ما كانوايعملون
Artinya:“Hanya milik Allah Al-Asma’ul Husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut Al-Asma’ul Husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya.nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.” (Q.S. Al-A’raf,7:180
Dalam pembahasan tentang asmaul husna berikut ini tidak semua akan dibahas akan tetapi hanya sebahagian kecil saja. Mudah-mudahan dari pembahasan asmaul husna ini kita akan dapat mengaflikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
a. Al-Aziz (yang MahaPerkasa)
Allah disebut Al-Aziz artinya Allah Mahaperkasa. Keperkasaan Allah SWT tidak dapat diukur atau disamakan dengan keperkasaan manusia atau yang lain. Keperkasaan Allah tidak terbatas. Sedang keperkasaan manusia sangat terbatas atau bersifat sangat sementara. Betapa pun perkasanya manusia, pasti masih ada yang mengunggulinya. Dalam hal ini Allah SWT berfirman:
انّ الله يعلم يدعون من دو نه من شيء وهوالعزيزالحكيم
Artinya:“Sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang mereka seru selain Allah, Dan Dia Mahaperkasa lagi Mahabijaksana”. (Q.S. Al-Ankabut, 29:42)
Ayat 42 Surah Al –Ankabut, 29 tersebut mengajarkan kepada kita untuk lebih menyadari bahwa manusia, dengan segala keterbatasanya, tidak patut menyombongkan diri, meskipun andaikata ia memiliki kelebihan dibandingkan yang lain. Mengapa demikian? Karena kelebihan sebesar apapun, pada dasarnya merupakan pemberian Allah SWT. Kekuatan, keperkasaan, kepandaian, kekayaan, kekuasaan, semua adalah pemberian Allah SWT. Semuanya menjadi tidak berdaya ketika Allah SWT mencabutnya (La haula wala quwwata illa billahi aliyyil azim).
Dengan memahami bahwa yang memiliki keperkasaan sejati hanyalah Allah SWT, Dialah yang Maha Perkasa, berlaku sombong bukanlah sikap yang terpuji. Sebaiknya dalam kehidupan sehari-hari kita harus mengembangkan sikap saling menghargai dan menghormati serta berusaha memberi manfaat kepada yang lain. Yang kuat membantu yang lemah. Yang lemah berusaha untuk menjadi orang yang bermanfaat bagi yang lain. Hadits Rasulullah SAW:
خيرا النّس انفعهم للنّا س [رواه البيهقي]
Artinya :“Sebaik-baiknya manusia ialah yang memberi manfaat kepada orang lain.”(H.R. Al-Baihaqi)
Hadits diatas mengajarkan kepada kita untuk mengembangkan sikap saling membantu dan memberi manfaat kepada yang lain, mengedepankan kebersamaan dan tidak menyombongkan diri.
b. Al-Wahhab (yang Maha Pemberi)
Al-Wahhab berarti Maha Pemberi. Maksudnya hanya Allah SWT yang paling banyak memberi. Dia memberikan berulang-ulang, bahkan secara terus-menerus tanpa mengharap imbalan dari yang diberi. Sifat semacam ini hanya dimiliki oleh Allah SWT.
Pemberian yang dilakukan manusia kepada yang lain tidak dapat dinamakan “Wahhab”, karena pemberian tersebut sekecil apapun pasti disertai tujuan atau pengharapan, misalnya berupa pujian, meraih persahabatan, menghindari celaan, mendapatkan penghormatan, atau bahkan mendapat pahala dari Allah SWT.
Manusia diperbolehkan memberikan sesuatu dengan pengharapan selama pengharapan tersebut bertujuan untuk ibadah dan berbuat baik. Contoh: melakukan salat, bersedekah, menjalin silaturrahmi, dan persahabatan dengan berharap mendapat pahala dan menghindari neraka.
Kebahagiaan, kesedihan, sehat atau sakit, kaya atau miskin, pandai atau bodoh, beruntung atau merugi, semuanya merupakan wujud pemberian Allah SWT. Jika Allah SWT sudah memberikannya, manusia tidak dapat menolak atau menghindarinya. Allah SWT hanya memberikan kebebasan kepada manusia untuk berusaha dan berencana. Namun, hasil dari semua itu tetap bergantung kepada kepastian atau pemberian Allah SWT.
Firman Allah SWT:
ربّنا لا تزغ قلوبنابعداذهديتناوهب لنامن لّدنك رحمةانّك انت الوهب
Artinya:“(Mereka berdoa), ‘Ya tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan kurniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau; karena sesungguhnya Engkaulah Maha Pemberi (karunia).” (Q.S. Ali-Imran, 3:8)
Ketiga ayat tersebut menjelaskan bahwa pemberian Allah SWT sifatnya berkesinambungan atau terus-menerus serta berupa rahmat. Pemberian Allah SWT kepada makhluk-Nya jumlahnya tidak terbatas. Allah SWT tidak pernah pilih kasih, Allah SWT sangat memperhatikan makhluk ciptaan-Nya.
Sifat Allah SWT tersebut memberi pelajaran kepada kita, setidaknya kita bisa meniru untuk kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari, baik kepada sesama manusia maupun kepada lingkungan.
Sebagai manusia, sekaligus sebagai anggota masyarakat, akan lebih baik manakala kita mampu mengembangkan kebiasaan saling memberi, saling membantu kepada siapa saja yang membutuhkan sesuai kemampuan yang kita miliki. Yang memiliki harta memberi bantuan harta, yang memiliki tenaga membantu dengan tenaganya, yang memilki ilmu membantu dengan ilmu pengetahaunya.
c. Al-Fattah (Maha Pemberi Keputusan)
Al-Fattah artinya Allah Maha Pemberi Keputusan. Maksudnya, Allah yang memberi keputusan terhadap segala sesuatu. Tidak ada yang terjadi tanpa ketentuan dan keputusan Allah SWT. Dengan keputusan memberi rahmat kepada makhluk-Nya, maka burung-burung dapat terbang di angkasa, ikan dapat berenang di air, dan manusia, hewan, serta tanaman dapat hidup di bumi. Di hari kiamat kelak Allah pula yang mengadili manusia dengan seadil-adilnya, yang baik amalnya dibalas dengan kebaikan dan yang buruk dibalas dengan keburukan. Pada hari itu pula Allah memberikan keputusan, bagi yang ahli neraka akan dimasukkan ke neraka dan yang ahli surga akan masuk ke surga. Hanya Allah hakim yang seadil-adilnya karena Dia Maha Mengetahui hakikat segala sesuatu sebagai mana firman Allah SWT, berikut:
قل يجمع بينناربّنا ثمّ يفتح بيننا بالحقّ وهوالفتّاحا العليم
Artinya:“Katakanlah; Tuhan kita akan mengumpul kita semua, kemudian Dia memberi keputusan antara kita dengan benar. Dan Dialah Maha Pemberi keputusan lagi Maha Mengetahui.” (Q.S. Saba: 26)
Oleh karena itu, kita diwajibkan berusaha sebelum mendapat keputusan terburuk. Caranya adalah dengan melakukan amal perbuatan yang baik, rajin beribabadah, taat kepada orang tua, gemar membantu atau menolong orang lain dan berusaha sekuat tenaga untuk tidak melakukan hal-hal yang dilarang oleh ajaran Islam.
d. Al-Qayyum (Maha Berdiri Sendiri)
Al-Qayyum artinya Maha Berdiri Sendiri. Maksudnya, hanya Allah sendiri yang mengurus dan mengatur seluruh makhluk-Nya. Indahnya alam dan teraturnya semesta tidak pernah lepas dari perhatian Allah SWT. Demikian pula perputaran bumi, pergantian siang dan malam, semilirnya angin sepanjang masa, pertukaran musim, pepohonan berbuah, turunya hujan, dan sebagainya. Semua itu hanya Allah yang mengatur dan mengurusnya. Manusia harus yakin, berusaha, dan berserah diri kepada-Nya karena Dia tidak pernah mengantuk dan tidak pernah tidur dalam mengatur dan mengurus makhluk-Nya tanpa bantuan pihak lain, sebagaimana firman Allah SWT, berikut:
الله لآالاّهوالحيّ القيّوم
Artinya:“Allah, Tidk ada Tuhan melainkan Dia Yang Mahahidup lagi terus-menerus mengurus (makhluk-Nya).” (Q.S. Al-Imran: 2)
Kutipan arti trus-menerus mengurus makhluk-Nya, maksudnya adalah Dialah yang mengatur langit dan bumi serta isinya dan Dia tidak memerlukan yang lain, tetapi Dialah yang diperlukan oleh yang lainnya.
Berbeda dengan manusia, sekedar makan nasi satu piring saja sudah membutuhkan bantuan tidak kurang dari 5 sampai 10 orang. Penjelasannya adalah harus ada petani yan menanam padi, para pedagang beras yang ada dipasar lalu harus ada yang memasak dan seterusnya. Oleh karena itu, setiap manusia pasti membutuhkan bantuan orang lain.
Menyadari hal tersebut, manusia wajib mengedepankan tolong-menolong, saling membantu. Tidak sepantasnya manusia menyombongkan diri, egois, tidak menghiraukan orang lain, apa lagi bermusuhan. Semampu apapun, manusia tetap membutuhkan bantuan orang lain. Manusia adalah makhluk sosial, tidak dapat hidup sendiri, setiap kebutuhannya pasti membutuhkan peran orang lain.
e. Al-Hadi (Maha Pemberi Petunjuk)
Adapun yang dimaksud dengan Al-Hadi ialah bahwa Allah Maha Pemberi Petunjuk. Allah memberikan petunjuk atau hidayah kepada hamba-hambaNya yang dikehendaki-Nya.
Dijelaskan dalam Al-Qur’an bahwa putrai Nabi Nuh AS, tidak beriman walaupun ayahnya seorang nabi. Ayah Nabi Ibrahim diseru kejalan yang benar untuk menyembah Allah Yang Maha Esa, tetapi tidak mau sehingga mati dalam kekafiran. Demikian pula terjadi pada keluarga nabi Muhammad SAW yaitu Abu Thalib (paman nabi) yang melindungi Rasulullah sejak kecil, tidak mau masuk Islam karena tidak mendapat petunjuk dari Allah SWT. Gambaran di atas menunjukkan bahwa mereka tidak mendapt petunjuk atau hidayah dari Allah SWT.
Allah berfirman dalam surah Al-Qashash ayat : 56
ا نك لا تهد ى من احببت و لكنّ اللّه يهد ى من يّشاء وهواعلم با لمهتد ين
Artinya:“Sesungguhnya kamu tidak akan memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendakiNya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima perunjuk.” (Q.S. Al-Qashash: 56)
Hidayah adalah petunjuk Allah kepada hamba-hambaNya, agar menyadari dan mengingat akan Allah untuk mengerjakan perintahnya dan menjauhi laranganNya. Sebagaiman firman Allah SWT, berikut:
وما انت بهد العمي عن ضللتهم ان تسمع الآمن يّؤمن بايتنافهم مّسلمون
Artinya: “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang-orang yang buta (mata hatinya) dari kesesatannya. Dan kamu tidak dapat memperdengarkan (petunjuk Tuhan) melainkan kepada orang-orang yang beriman dengan ayat-ayat Kami, mereka itulah yang berserah diri (kepada Kami).” (Q.S. Ar-Rum: 53)
Sebagai muslim kita diwajibkan menyampaikan kebenaran yang datangnya dari Allah SWT meskipun satu patah kata. Adapun jika mereka tidak mau menerima kebenaran itu, kita serahkan kepada Allah SWT, karena Allah Yang Maha Memiliki Petunjuk yang akan diberikan kepada siapa saja yang dikehendakiNya.
Bagi yang dikehendaki Allah SWT, menerima hidayah berupa kebenaran iman dan Islam tidaklah sulit. Sebagai Muslim kita wajib bersyukur telah mendapat hidayah-Nya. Caranya adalah tetap menjaga dan memelihara keimanan dan keislaman tersebut, antara lain dengan tetap melaksanakan perintah Allah SWT dan menjauhi larangan-Nya sesuai pengetahuan dan kemampuan kita.
Jika Allah menghendaki, siapa saja akan mendapat hidayah tersebut, siapa pun orangnya. Orang semula tidak beriman, karena mendapat hidayah dari Allah SWT, kemudian menjadi beriman. Oleh karena itu dalam kehidupan sehari- hari tugas kita adalah berdakwah, menyampaikan ajaran islam dengan benar, masalah orang mau beriman atau tidak, mengamalkan ajarannya atau tidak, hal ini sangat bergantung pada hidayah Allah SWT.
f. As-Salam (Yang Maha Sejahtera)
Kata “As-Salam” artinya Yang Maha Mensejahtera”. Firman Allah SWT.
هوالله الذي لآاله الاّهوالملك القدّوس السّلم المؤمن المهيمن العزيزالجبّارالمتكبّر سبحان اللّه عمّايشركون
Artinya:“Dialah Allah yang tiada Tuhan selain Dia. Raja Yang MahaSuci, Yang Mahasejahtera, Yang Mengaruniakan Keamanan, Yang memiliki segala keagungan, Mahasuci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (Q.S. Al-Hasyr, 59:23)
Sesuai penjelasan Al-Qur’an kata “As-Salam” memiliki beberapa arti yaitu:
1) Allah terhindar dari aib dan kekurangan
2) Hanya Allahlah yang menyelamatkan makhluk-Nya dari siksa Neraka
3) Yang memberi salam kepada hamba-hamba-Nya kelak disurga (Q.S. Yasin: 58)
Dari ketiga makna As-Salam sebagaimana kutipan diatas dapat dipahami bahwa Allah adalah Zat yang baik dan mulia, tidak ada sedikit pun pada diri Allah suatu keburukan. Dia pemilik segala kebaikan dan keselamatan.
Allah juga sebagai sumber keselamatan dan kebaikan, artinya jika segalanya dilakukan atas dasar keyakinan dan kebenaran yang bersumber dari Allah akan mendatangkan keselamatan dan kesejahteraan. Karena keselamatan dan kebaikan semata-mata bersumber dari Allah SWT.
Sebaliknya jika segala hal yang dilakukan bertentangan dengan apa yang dikehendaki Allah, maka akan menimbulkan keburukan dan kemudaratan bagi dirinya maupun orang lain.
Keburukan yang dirasakan oleh hamba-hamba-Nya pada dasarnya ber sumber dari Allah. Allah adalah Zat pemilik segala kebaikan dan keselamatan.
Oleh karena itu dalam kehidupan sehari-hari sudah seharusnya kita sebagai umat islam menebar keselamatan di manapun berada, baik melalui ucapan maupun perbuatan kita. Tidak menimbulkan kerusakan dan keresahan. Sudah seharusnya ambil bagian dalam mensejahterakan umat, baik denan harta, ilmu maupun tenaga yang kita miliki, sebagai aflikasi kita dalam memahami asma Allah SWT ini,
g. Al-Khaliq (Yang Maha Pencipta)
Kata “Al-Khaliq” dalam Al-Qur’an disebut tidak kurang dari 150 kali. Kata Al-Khaliq diambil dari kata “Khalq” yang berarti “mengukur atau memperhalus”. Kemudian arti tersebut dimaknai secara luas yakni “menciptakan dari tiada”. Menciptakan tanpa contoh terlebih dahulu”
Q.s. At-Tin: 4
لقد خلقناالانسان في احسن تقويم
Artinya:“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dlam bentuk yang sebaik-baiknya.” (Q.S. At-Tin: 4)
Kata “Al-Khaliq” yang dijelaskan dalam Al-Qur’an memberi gambaran tentang kehebatan dan kebesaran Allah dalam ciptaan-Nya . betapa tidak! “Dia Menciptakan dari tiada”, “Menciptakan tanpa satu contoh terlebih dahulu”. Segala ciptaan-Nya sangat sempurna, kesempurnaan tersebut meliputi bentuk, ukuran, fungsi, sifat dan keagungannya, yang semuanya diciptakan dari tidak ada menjadi ada. Hal tersebut dapat dilakukan Allah tanpa bantuan sipapun, karena Allah memiliki sifat Mahakuasa, Maha Mengetahui dan berbagai sifat mulia lainnya, sehingga segala yan diciptakan menggambarakn betapa hebatnya Allah.
Untuk lebih memahami bahwa Allah adalah “Al-Khaliq”yakni Tuhan Yang Maha Pencipta, simak beberapa pertanyaan berikut ini:
Pergantian siang dan malam selalu berjalan dengan baik. Adakah manusia yang mampu menciptakan dan mengaturnya?
Cermatilah baik-baik tubuhmu, hewan, atau tumbuhan disekitarmu. Betapa semuanya tercipta dari detail-detail yang sempurna. Mungkinkah manusia mampu melaksanakannya?
Pikirkanlah bahwa tidak ada seorang manusia pun yang mempunyai sidik jari yang sama.
Oleh karena itu orang yang diberi karunia oleh Allah SWT berupa kepandaian dan kepintaran, otak yang brilian ia harus bersyukur kepada Allah SWT, ia dapat mencipatakan sesuatu, misalnya mobil, kapal laut, pesawat terbang dan lain sebagainya, semua itu ia ciptakan dari bahan dasar yang telah disediakan oleh Allah SWT untuk itu, jika tidak ada bahan-bahan dasar tadi tentu ia tidak dapat berbuat apa-apa. Dengan demikian sepintar apapun ia tidak boleh takabur dan menyombongkan diri apalagi mengingkari adanya Allah SWT. Ilmu yang dimiliki manusia ibarat setitis air di lautan. Hari ini apa yang ia ciptakan bisa dikatakan paling modern, bagaimana dua atau tiga tahun yang akan datang?. Bukankah di atas langit ada langit ?. Allah SWT lah Maha Pencipta, Ia menciptakan segalanya.
h. Al-Gaffar (Yang Maha Pengampun)
Menurut pengertian bahasa, Al-gaffar berarti Yang maha Pengampun. Allah SWT, bernama Al-gaffar sebab Allah SWT Yang Maha Pengampun, yang mmiliki kebebasan penuh untuk memberikan ampunan dosa kepada hamba-Nya yang dikehendaki-Nya.
Manusia dalam hidupnya di dunia tidak luput dari dosa. Baik dosa yang ditimbulkan karena tidak melaksanakan suruhan Allah yang wajib, maupun dosa yang disebabkan karena melanggar larangan Allah yang haram. Allah SWT tentu akan mengampuni dosa hamba-Nya, apabila hamba-Nya itu mohon ampun kepada-Nya dan bertu-betul bertobat. Sedangkan syarat-syarat bertobat adalah:
1) Menyesal terhadap perbuatan dosa yang lebih terlanjur diperbuatnya.
2) Bertekad untuk tidak mengulangi lagi perbuatan dosanya itu dan tekadnya itu langsung dilaksanakan. Seseorang yang berulang kali berbuat dosa setelah bertobat dari dosa, tidak dianggap tobat yang sebenarnya, bahkan dianggap mempermainkan Tuhan.
3) Membaca istighfar dengan khusyuk dan benar-benar minta ampun dalam hatinya. Bila dosanya berhubungan dengan hak Allah, hendaklah mengqadlanya. Sedangkan yang berhubungan dengan hak orang lain, hendaklah mengembalikan hak orang lain tersebut dan mohon maaf atas kesalahnnya.
Allah SWT berfirman:
“Dan orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu mohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni selain Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan keji itu, sedang mereka mengetahui. Mereka itu balasannya ampunan dari Tuhan mereka dan surga yang didalamnya mengalir sungai-sungai, sedang mereka kekal didalamnya, dan itulah sebaik-baik pahala orang-orang yang beramal.” (Q.S. Ali Imran: 135-136).
Selain itu hendaklah orang yang telah bertaubat dari suatu dosa hendaklah mengiringi perbuatan dosa yang telah ditinggalkannya itu dengan melakukan perbuatan-perbuatan baik yang diridhai Allah SWT.
Nabi Muhammad saw telah bersabda:
اتّقواالله حيثما كنت و اتبع السّيّّْةاحسنتةتمحهاوخالقالنّاس بخلق حسن [زواه الترمذى]
Artinya:“Takutlah kamu kepada Allah dimana saja kamu berada, dan iringilah keburukan itu dengan kebaikan, niscaya kebaikan dapat menghapusnya (keburukan) dan pergaulilah manusia dengan budi pekerti yang terpuji.” (H.R. Al Tarmidzi).
Manusia sebagai makhluk individu dan sekaligus sebagai makhluk sosial, sudah tentu dalam pergaulan hidup bemasyarakat, satu dengan yang lainnya tidak luput dari berbuat salah, baik disengaja ataupun tidak. Maka agar hubungan sesama manusia tidak saling mendendam dan hidup rukun dapat terwujud, setiap manusia harus berlapang dada dan suka memberi maaf.
Allah SWT berfirman:
وليعفواوليصفحوا الاتحبّون ان يغفرالله لكم والله غفوررحيم
Artinya:“Dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S. An-Nur: 22).
Kalau Allah SWT yang memiliki segalanya mau memberi maaf dan ampunan kepada hambaNya yang terlanjur berbuat dosa, padahal Dia dengan segala kekuasaanNya dapat menghukum dan menyiksanya.tapi Allah tidak menghukum bahkan mau memaafkan hambanya, bagaimana dengan kita sebagai makhlukNya yang lemah, kenapa tidak mau memberikan maaf dan ampunan kepada sesama?. Tentu kita yang serba memiliki kekurangan dan kelemahan seharusnya mengambil pelajaran dari asma Allah ini, sehingga timbul dalam diri kita sifat pemaaf, dengan demikian mudah bagi kita memaafkan kesalahan orang lain terhadap diri kita. Kalau hal ini dapat dilakukan oleh kita sebagai umat islam pasti akan tercipta kehidupan yang damai dan harmonis baik dalam keluarga, masyarakat, bangsa dan Negara. Bukankah kehidupan yang harmonis, damai dan sejahtera merupakan dambaan semua orang?. Oleh karena itu berlapang dadalah dan jadilah pemaaf sebagaimana yang Allah perintahkan kepada kita para hambaNya.
i. Al-Adlu (Maha Adil)
Salah satu nama Allah yang termasuk Al-Asmaul Husna ialah Al-adlu, berarti Maha Adil dan sangat sempurna keadilan-Nya. Tidak ada Zat selain Allah yang memiliki keadilan sama dengan Allah, apalagi melebihi-Nya. Adil artinya meletakkan sesuatu pada tempat yang semestinya. Allah Maha Adil, karena Allah selalu menempatkan sesuatu pada tempat yang semestinya, sesuai dengan keadilan-Nya yang Maha Sempurna. Tidak ada manusia yang Maha Adil, karena keadilan manusia itu terbatas dan tidak sempurna. Manusia yang berada dalam keadaan lupa dan salah, sudah tentu tidak dapat berlaku adil.
Bukti-bukti bahwa Allah itu Maha Adil terdapat dalam diri manusia dan diluar diri manusia. Yang terdapat dalam diri manusia misalnya:
1) Bentuk tubuh manusia, susunan dan bagian-bagiannya serta letaknya betul-betul begitu proporsional dan harmoni. Ini menunjukan bahwa Allah itu Maha Adil.
2) Manfaat dari masing-masing bagian tubuh manusia, juga menunjukkan bahwa Allah SWT Maha Adil. Tidak ada satu bagian pun dari tubuh manusia yang tidak ada manfaatnya.
3) Allah SWT telah mengangkat manusia sebagai khalifah (pemimpin) di muka bumi ini. Agar umat manusia dapat melaksanakan tugas memimpin itu dengan baik, Allah Yang Maha Adil telah menganugerahi manusia akal pikiran.
Bukti-bukti bahwa Allah SWT itu Maha Adil yang terdapat diluar diri manusi sangat banyak, sehingga manusia tidak akan mampu menghitungnya satu persatu.
Aplikasinya dalam kehidupan kita adalah bahwa manusia sebagai makhluk Allah yan berakal dan sebagai khalifah di muka bumi ini diperintah oleh Allah SWT untuk berlaku adil terhadap dirinya dan keluarganya maupun terhadap orang lain.
Allah SWT berfirman:
انّ الله يامرل والاحسان وايتاءذى القربى وينهى عن الفحشاءوالمنكروالبغي يعظكم لعلّكم تذكّرون
Artinya:“Sesungguhnnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran permusuhan. Dia memberi kepadamu pengajaran agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (Q.S. An-Nahl: 90)
Allah SWT Maha Adil dalam segala hal. Dalam menciptakan segala sesuatu Allah SWT Maha Adil, meskipun terkadang manusia salah dalam memahaminya. Terkadang timbul satu pertanyaan kenapa Allah SWT menciptakan buah yang besar sementara pohonnya kecil, bahkan terkadang pohonnya menjalar di atas tanah, sementara pohon yang besar dan tinggi tetapi buahnya kecil. Akan tetapi ketika ia lewat di bawah pohon yang besar ia tertimpa oleh buah yang kecil, barulah ia berpikir, seandainya pohon ini berbuah besar tentu celakalah ia, barulah ia paham Allah SWT Maha Adil, kenapa Allah menciptakan buah yang kecil pada pohon yang besar.
Allah SWT juga Maha Adil dalam memutuskan hukum terhadap hamba-hambaNya yang bersalah, lihatlah misalnya bagaimana Allah SWT memerintahkan hukuman qishash, hukuman yang setimpal bagi orang yang melanggar, pembunuh jika terbukti maka hukumannya dibunuh pula , sehingga tidak ada dendam berkepanjangan bagi kerabat-kerabatnya atau anak keturunannya. Di mana hukum qishash tersebut juga pada dasarnya melindungi jiwa masing-masing sehingga tidak ada orang yang berani melakukannya karena pelakunya pun akan mendapatkan hukuman yang sama yaitu di bunuh pula.
Keadilan Allah dalam bidang ekonomi pun bisa kita lihat bagaimana Allah SWT dalam rangka mewujudkan pemerataan memerintahkan orang-orang kaya yang berharta untuk membayar zakat , infaq dan shadaqah yang harus diberikan kepada orang yang berhak menerimanya, salah satu di antaranya adalah orang yang miskin.
Sebagai umat islam kita dituntut untuk dapat menerapkan ajaran dari asmaul husna ini yaitu berlaku adil dalam segala hal baik dalam bidang hukum, ekonomi, pendidikan dan lain sebagainya, baik kepada diri sendiri, kepada orang lain, kepada kawan maupun kepada lawan.
j. As-Sabur (Yang Maha Sabar)
Imam Gazhali mengartikan As-Sabur sebagai sifat Allah yang Maha Sabar dalam melakukan sesuatu, semua dilakukan sesuai dengan ketentuan yang ada, Dia tidak menundanya dari waktu yang ditentukan, Dia tidak mempercepat waktunya sehingga tergesa-gesa. Sifat tergesa-gesa dan suka menunda sesuatu hanya dimiliki oleh makhluk-Nya. Allah SWT menerangkan masalah sabar dalam Al-Qur’an tidak kurang dari seratus kali. Semuanya berkaitan dengan perbuatan manusia, antara lain perintah bersabar, memuji kesabaran dan orang-orang sabar, sifat kesabaran serta manfaatnya, dan ancaman bagi orang-orang yang tidak sabar. Pada intinya, kedudukan tertinggi akan diperoleh seseorang karena kesabarannya.
Adapun kesabaran yang dijelaskan dalam Al-Qur’an antara lain:
1) Bersabar dalam mengerjakan ibadah (Q/S/ Taha:132)
2) Bersabar dalam menghadapi musibah (Q.S. Al-Baqarah: 155)
3) Sabar dalam menhan hawa nafsu
Lihatlah bagaimana Allah SWT telah menciptakan langit dan bumi dengan enam masa, tidak bisakah lebih cepat dari itu?. Lihatlah bagaimana Allah menciptakan manusia pertama yaitu Adam As dengan memberitahukan terlebih dahulu kepada para malaikatNya ( seolah-olah sedang bermusyawarah kepada malaikatNya )., tidak bisakah Allah memutuskan dan menciptakannya sendiri ?. Lihatlah bagaimana Allah memutuskan haramnya khamar ( minuman yang memabukkan ) melalui tiga tahapan, tidak bisakah Allah memutuskan dan menetapkan haramnya khamar dengan langsung, tidak berproses atau bertahap ? . Jawabnya adalah apapun yang Allah kehendaki, dengan sifat kemahakuasaanNya, dengan sifat qudrat dan iradahNya, Allah SWT pasti bisa. Akan tetapi seperti itulah yang Ia kehendaki. Di situlah kita melihat dan kita fahami, bukan saja Allah itu Maha Kuasa tetapi juga Allah menunjukan Maha SabarNya.
Ini adalah merupakan pelajaran yang sangat penting dan berharga bagi manusia umumnya, khususnya umat muslimin, kita semua , untuk selalu mengembangkan dan menerapkan sifat sabar dalam kehidupan sehari hari-hari. Sabar dalam mengerjakan suatu perbuatan ( baik ) , tidak tergesa-gesa.
Sabar dalam kehidupan sosial dan bermasyarakat dengan mengedepankan prinsip-prinsip bermusyawarah dalam mewujudkan kehidupan bersama yang damai dan harmonis, saling menghargai dan menghormati. Sabar dalam memutuskan sesuatu ( menetapkan hukum ) , agar terhindar dari kesalahan.yang dapat merugikan diri sendiri dan orang lain. Bukankah membebaskan orang yang bersalah lebih baik dari pada menghukum orang yang tidak bersalah?.
Contoh-contoh penerapan aqidah dalam kehidupan sehari-hari
1) Contoh berdasarkan Dalil Aqli (akal)
Akal itu suatu tenaga jiwa yang dapat mengetahui segala sesuatu yang tak dapat diraba atau dirasa dengan pancaindera. Fikiran adalah pekerjaan akal dalam mencapai pengertian tentang sesuatu, pendapat akal lebih mulia dari pendapat-pendapat pancaindera, dan sesuatu yang dicapai oleh akal, lebih kuat dari apa yan dicapai oleh pancaindera. Pendapat akal akan sampai pada hakikat, sedang pendapat pancaindera hanya memperoleh yang lahir atau yang terasa saja, pendapat akal tidak ada batasnya sedang pendapat pancaindera terbatas. Itulah sebabnya Al-Qur’an dalam tuntunannya untuk mengakui adanya Allah dan ke EsaanNya, mendorong agar mempergunakan akal untuk berfikir dalam lapangannya yang telah ditundukkan yaitu alam semesta yang terbentang diluar diri manusia dan yang ada didalam dirinya sendiri.
Penerapan aqidah berdasarkan dalil aqli adalah satu pemahaman dan keyakinan bahwa apa yang telah ditentukan Allah SWT dalam kitabnya pasti sangat cocok dan sesuai dengan kebutuhan manusia, karena manusia adalah ciptaan-Nya, maka Allah melengkapinya dengan aturan-aturan yang sesuai dengan fitrah-Nya. Contoh yang sederhana, bukankah pabrik yang memproduksi TV juga mengeluarkan aturan yang sesuai tentang bagaimana menoperasikannya.
Aturan-aturan yang berkaitan dengan keimanan pasti sesuai dengan fitrah manusia, keyakinan bahwa Allah itu Maha Esa. misalnya, itu sesuai dengan nalar dan fitrah manusia, menurut akal manusia adalah hal yang mustahil kalau yang Maha Kuasa itu lebih dari satu, pasti akan terjadi pertentangan dan konflik satu sama lain.
Aturan-aturan yang berkaitan dengan ibadah misalnya, pasti sangat sesuai dan cocok dengan fitrah manusia, salah satu contoh diperintahkannya melaksanakan puasa, setelah diteliti dalam dunia kedokteran, ternyata puasa itu menyehatkan, puasa dapat menormalkan system kerja pencernaan, yang selama sebelas bulan bekerja tanpa beristirahat, ternyata puasa bulan Ramadhan telah dapat membuat system kerja pencernaan dapat beristirahat secara total tidak kurang dari 6 jam setiap hari, karena setelah jam 12.00 sampai sore system kerja pencernaan istirahat total, tidak lagi mendistribusikan sari pati makan ke seluruh tubuh dan ini amat baik pengaruhnya bagi kesehatan manusia.
Aturan-aturan yan berkaitan dengan akhlak misalnya, sangat sesuai dan sejalan dengan akal pikiran manusia. Menghormati orangtua (ibu bapak) diperintahkan dalam Islam. Menurut akal sehat menghormati orangtua sudah merupakan satu keharusan bagi anak, meskipun tanpa ada perintah agama, mengingat jasa-jasa yang telah diberikan pada sang anak, yang mengandungnya, melahirkanya, merawatnya, mendidiknya, dsb. Apalagi ditambah dengan perintah agama, tentu anak berbakti (berbuat baik) pada kedua orang tua merupakan satu kewajiban yang lebih utama lagi untuk melaksanakannya..
Aturan-aturan yang berkaitan dengan Muamalah, misalnya, aturan dalam berjual beli harus dilakukan suka sama suka, harus didasari kejujuran tidak boleh dengan paksan dan tidak boleh tipu-menipu. Segala sesuatu yang didasari dengan paksaan akan berdampak negatif. Kejujuran adalah fitrah manusia. Pada dasarnya semua orang membutuhkan kejujuran, sipapun dia, bahkan seorang pencuri pun membutuhkan kejujuran. Ketika pembagian hasil curian, pencuri yang satu bilang pada temannya, “ kamu harus jujur, kamu tidak boleh menyembunyikan hasil curian, kamu harus membagi secara adil”. Ini adalah bukti bahwa menurut akal dan pemikiran, kejujuran yang diajarkan pada ajaran islam, salah satu dalam berjual beli, sangat sesuai dengan fitrah manusia.
. Ini adalah bebrapa contoh penerapan aqidah berdasarkan dalil aqli, yaitu berdasarkan argumentasi-argumentasi akal manusia, untuk membuktikan bahwa penerapan aqidah dalam kehidupan manusia sehari-hari, baik dari segi aqidah, ibadah, akhlak maupun muamalah bisa dijelaskan penerapannya dengan dalil aqli atau dengan argumentasi-argumentasi akal manusia. Karena pada dasarnya semua ajaran agama sejalan dan tidak bertentangan dengan daya nalar akal manusia.
2.) Contoh berdasarkan Dalil Naqli
Pada dasarnya keimanan (Aqidah) yang terdapat pada sesorang akan menentukan bagaimana pengamalannya (penerapannya) dalam kehidupan sehari-hari. Semakin kuat dan bagus iman seseorang, semakin nyata penerapannya, semakin rendah keimanan seseorang, semakin rendah pula penerapnnya. Karena iman adanya dalam hati, yang kita tidak mengetahui sejauh mana kedalamnnya, maka kita hanya akan mengetahuinya dari segi pengamalannya atau penerapannya. Yang dimaksud dengan penerapan disini adalah sejauh mana seseorang menerapkan Aqidah/keimanan tersebut dalam bentuk pemuatan Imtaq kedalam kehidupan sehari-hari, salah satu di antaranya adalah memuatkan Imtaq dalam Iptek.
Dalam bidang ekonomi, Allah telah mengajarkan beberapa hal diantarannya system pemerataan dan pola hidup hemat /tidak boros, kalau ajaran ini benar-benar dilaksanakan dengan baik, kesejahteraan umat akan dapat terwujud.
Firman Allah SWT:
يايّهاالّذين امنواانفقوامن طيّبت ما كسبتم وممّااخرجنالكم مّن الارض ولاتيمّمواالخبيث منه تنفقون ولستم باخذيه الاّان تغمضوافيه واعلمواانّ الله غنيّ حميد.
Artinya:“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baikdan sebgian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan dari padanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. Dan ketehuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji”. (Q.S. Al-Baqarah:267)
Sejak zaman Nabi Muhammad saw asas pemerataaan sudah ditegakkan, yaitu dengan diperintahkannya kepada orang yang beriman untuk mengeluarkan dan membelanjakan sebahagian hartanya di jalan kebaikan, sebahagian dari hasil usahannya dan hasil bumi yang dimilikinya. Namun pada zaman kini ,masih terdapat jurang pemisah yang sangat mencolok antara si miskin dengan si kaya. Hal ini, di Indonesia, masih banyak penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan. Salah satu penyebabnya adalah karena si kaya enggan mengeluarkan sebagian rezekinya kepada si miskin, baik sebagai modal usaha maupun diberikan secara cuma-cuma sebagai zakat mal atau zakat tatawuk/sedekah.
Kalaupun mau mengeluarkan sebagian rezekinya diluar ketentuan zakat (sedekah), namun dipilihkan yang ia sendiri tidak suka pada benda tersebut. Sehingga makin jauhlah jarak kesejahteraan hidup antara si miskin dan si kaya. Padahal Allah dengan tegas melarangnya “La tayammamul khabisa”, yang artinya:janganlah kamu memilih yang buruk-buruk ( untuk sedekah ).
Allah juga melarang orang-orang yang beriman berlaku boros. Firman Allah:
وات ذ االقربى حقّه والمسكين وابن السّنيل ولاتبذّرتبذيرا. انّ المبذّرين كانوااخونالشّيطين وكان الشّيطن لربّه كفورا.
Artinya:“Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudaranya syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.” (Q.S. Al-Isra’: 26-27)
Ayat ini mengandung dua konsep ajaran Islam yang berbeda tapi saling mempengaruhi dengan sangat kuat satu sama lain. Sebab dengan memberikan sebagain harta kepada kerabat terdekat sebagai haknya dan kepada orang miskin serta orang yang dalam perjalanan, berarti telah mengeluarkan sebagian hasil usahanya untuk pemerataan pendapatan guna membantu pengentasan kemiskinan sekaligus mencegah sikap boros.
Boros menurut jumhur adalah menafkahkan harta bukan pada haknya. Tidak boros dalam amal baik, artinya tidak israf (berlebih-lebihan), atau menghambur-hamburkan dalam beramal baik, sehingga untuk dirinya sendi berkekurangan. Bahkan dalam berbelanja, makan, minum, dan berpakaian secara berlebihan sehingga makanan terbuang karena basi, sementara si miskin kelaparan, dan mencabik-cabik pakaian untuk dipakai sebagai mode, sementara si miskin berpakaian robek karena tidak ada baju lagi. Sikap semacam inilah sebagai teman (ikhwan) setan, sedang setan adalah sangat ingkar kepada Tuhannya. Oleh karena itu, berbelanja cukuplah sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan.
Dalam dunia kedokteran, sudah sejak lama Islam mengajarkan tentang pentingnya menjaga kebersihan, baik rohani maupun jasmani. Bahkan menjaga kebersihan dapat dijadikan barometer keimanan seseorang, sabda Rasulullah Saw:
النّظافة من الأيمان.
Artinya:“Kebersihan sebahagian dari iman”. (H.R.Thabrani dan Al-Hakim)
Sebaliknya orang yang tidak menjaga kebersihan dinyatakan imannya tidak sempurna, bahkan timbulnya berbagai penyakit, sering kali disebabkan oleh lingkungan dan pola hidup yang tidak bersih. Bukankah terjadinya musibah, diantaranya banjir, disebabkan pola hidup yang tidak bersih, membuang sampah sembarangan dan tidak pada tempatnya, dan tidak ramah pada lingkungan?.
Beberapa contoh yang sederhana ini hanya sebagian kecil contoh yang disajikan dan memberikan gambaran jika Imtaq benar-benar diterapkan pada Iptek tentu dampaknya akan sangat positif dalam kehidupan manusia dan alam lingkungannya.
B. IBADAH
Ibadah merupakan manifestasi dan pembuktian pernyataan iman, oleh sebab itu sebelum seseorang hendak menjalankan ibadah harus didasari dengan rasa keimanan. Muatan-muatan ibadah dianggap berkualitas jika didalamnya tercakup aspek kekaguman kepada Tuhan karena kebesaran, kenikmatan atau kekuasaanNy; keikhlasan yang mendalam karena rasa kepatuhan, ketakutan kepada Allah jika meninggalkan Ibadah tersebut; pengharapan akan ridlo-Nya dan sekaligus kecintaan kepada Tuhan.
Dari sudut pandang yang berbeda ibadah dapat juga disebut sebagai ritus atau tindakan ritual yang merupakan elemen penting dari setiap aliran kepercayaan atau agama. Dalam kepercayaan Agama Islam Allah sebagai sang pencipta seluruh alam dan isinya serta pencipta seluruh jin dan manusia telah menitahkan kewajiban bagi mereka untuk beribadah kepadaNya sebagaimana firman Allah;
"Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku".(QS.51:56)
Ibadah dalam Islam secara global dapat dikelompokan menjadi 2 tipologi. Pertama, ibadah mahdlah (ibadah murni). kedua, ibadah ghoiru mahdlah (tidak murni). Berikut penjelasan tentang pengelompokan ini:
1. Pengertian Ibadah
a) Ibadah mahdhah
Ibadah mahdlah adalah ibadah yang merupakan pembuktian kepatuhan dalam melaksanakan perintah Allah SWT. Ibadah yang didalamnya tidak dicampuri kemanfaatan lain kecuali kebaktian dan kepasrahan total kepada Allah. Ibadah ini adalah ibadah yang sifatnya rigid (tauqifi) sesuai dengan yang telah dicontohkan oleh Rasulullah seperti Shalat, Zakat, Puasa, Haji dan seterusnya.
b) Ibadah ghairu mahdhah
Dalam buku dinamika kehidupan religius disebutkan bahwa ibadah ghoiru mahdhah atau ibadah mustfadah adalah ibadah yang dapat diambil manfaatnya dari ibadah itu sendiri. (M. Tholchah Hasan;2004: 41). Sebagaimana berbuat baik kepada orang lain, saling memaafkan, bertegur sapa dengan sesama, tidak merusak alam menyantuni anak yatim dan seterusnya. Jenis ibadah yang kedua ini memiliki sifat yang lebih fleksibel dibandingkan yang mahdhah dalam hal pelaksanaannya karena memang dalam Islam hanya disebutkan substansi dari amalan-amalan tersebut.
2. Prinsip-prinsip Ibadah
a). Dilakukan dengan ikhlas dan penuh kesadaran
Pengertian ikhlas terbagi beberapa bagian: Pertama, ikhlas ialah mengkhususkan tujuan semua perbuatan kepada Allah SWT semata. Pengkhususan ini mengharuskan tujuan perbuata itu hanya untuk-Nya, bukan yang lain. Kedua, ikhlas ialah melupakan pandangan manusia, sehingga hanya melihat Sang Pencipta alam. Orang yang menangis kerena takut kepada Allah SWT, memberikan infaq, atau mengerjakan shalat di tengah ribuan, bahkan jutaan orang akan tetap ikhlas karena tidak menggubris pandangan manusia tadi. Ia hanya melihat pandangan Allah SWT semata. Ketiga, ikhlas diartikan dengan tidak memaksudkan perbuatan agar dilihat orang, namun memaksudkan agar dilihat oleh Allah SWT.
Sebagaiman firman Allah :
هُوَ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَى وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَكَفَى بِاللَّهِ شَهِيدًا
“Dialah Allah yang telah mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan kebenaran agar menjelaskan keseluruhan agamaNya dan cukup lah Allah SWT sebagai saksi…” ( Al-Fath: 28 )
Ikhlas merupakan kunci amalan hati. Semua amalan shalih tidak akan sempurna tanpa dilandasi keikhlasan kepada Allah SWT semata. Bahkan makan, minum ataupun berolah raa, juga harus didasari keikhlasan.
Sebagaimana firman Allah :
قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ (162) لَا شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ (163)
“Katakanlah, ‘sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanya untuk ALLAH SWT,Rabb semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya dan demikian itulahyang diperintahkan kepadaku,,, “ (Al – An’am: 162-163).
Lebih mengherankan, ternyata iblis tidak berkuasa untuk menggoda semua manusia yang ikhlas, seperti firman Allah :
قَالَ رَبِّ فَأَنْظِرْنِي إِلَى يَوْمِ يُبْعَثُونَ (36) قَالَ فَإِنَّكَ مِنَ الْمُنْظَرِينَ (37) إِلَى يَوْمِ الْوَقْتِ الْمَعْلُومِ (38) قَالَ رَبِّ بِمَا أَغْوَيْتَنِي لَأُزَيِّنَنَّ لَهُمْ فِي الْأَرْضِ وَلَأُغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ (39) إِلَّا عِبَادَكَ مِنْهُمُ الْمُخْلَصِينَ (40)
“iblis berkata, ‘ya Tuhanku, beri tangguhlah aku sampai hari mereka dibangkitkan’. Allah subhanahu wa ta”ala berirman, ‘sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang diberi tangguh, sampai kepada hari yang telah ditentukan waktunya (hari kiamat)’. Iblis menjawab ‘Demi kekuasaan Engkau aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba-Mu yang ikhlas diantara mereka’.” (al Hajar ayat 36-40)
Pada kenyataannya setiap orag melakukan ibadah karena bebagai motivasi, yang motivasi tulus hanya karena Allah namun tidak sedikit yang motivasinya karena hal lain baik harta benda, wanita, ataupun jabatan disisi manusia. Seabagaimana telah disebutkan diatas bahwa ibadah yang bagus memiliki beberapa aspek yakni: kekaguman, keikhlasan, kepatuhan, ketakutan, pengharapan dan kecintaan. Maka yang dituntut dalam sebuah ibadah adalah keikhlasan serta kemurnian pengabdian kepada Allah.
Menurut Tolchah secara umum motivasi seseorang dalam menjalankan ibadah bisa diktegorisasi menjadi dua hal; pertana, ibadah yang dijalankan tulus karena Allah semata (Lillah Ta’ala) kedua, ibadah yang dijalani karean unsur riya’ (karena motivasi selain Allah). Namun sesungguhnya keikhlasan dan karena Allah-lah ibadah yang akan diterima olehAllah baik itu ibadah yang bersifat qolbiyah (perbuatan hati) ataupun jasmaniyah (perbuatan fisik) semua hanya bermuara dari rasa syukur dan ikhlas dalam menjalani perintahnya sebagaimana firman Allah:
وما أمروا إلا أن يعبدوا الله مخلصين له الدين
Artinya: ”dan tidaklah kalian diperintah apa-apa kecuali hanya beribadah secara ikhlas dengan menunaikan ketaatan menjalakan agamanya..,..(QS. Al Bayyinah: 5)
.....فاعبد الله مخلصا له الدين
Artinya: “sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya” (QS. Az Zumar:2).
Ibadah yang ikhlas bukan hanya berguna bagi orang yang melaksanakan dalam keadaan normal. Pun keikhlasan dalam ibadah seringkali membuka ruang kemanfaatan diluar kebiasaan. Ada sebuah cerita tentang tiga orang yang sedang terjebak reruntuhan batu di dalam gua, ketiga orang ini telah berusaha sekuat tenaga untuk mengangkat batu-batu dan keluar dari dalam gua yang pengap, namun usaha mereka sia-sia karena besarnya batu yang menutup pintu gua. Sampai akhirnya ketiga orang ini bersepakat untuk ber-wasilah dengan amal shalih mereka yang ia lakukan dengan sepenuh hati ikhlas dan tulus karena Allah. Kemudian mereka bergantian berdoa dengan menyebutkan amal mereka dan terbukalah batu penutup gua sedikit demi sedikit sehingga keluarlah mereka dari gua tersebut dalam keadaan selamat. Kisah ini adalah bukti bahwa ibadah yang dilakukan tulus ikhlas karena Allah dapat digunakan sebagai alat tawasul kepada Allah (Tolchah Hasan, 20)
b). Sesuai dengan rukun dan syaratnya
Sebagaimana telah disebut diatas ibadah mahdhah adalah ibadah yang sifatnya rigid artinya harus dilaksanakan sesuai dengan contoh Rasulullah. Kemudian munculah istilah rukun dan syarat dalam ibadah tersebut agar ibadah sah dan sesuai dengan syari’at, jika rukun dan syarat tersebut tidak terpenuhi maka ibadah seseorang dianggap tidak sah.
Ikhlas karena Allah dalam suatu amalan adalah pilar asasi bagi setiap amal shalih. Itulah landasan keabsahan dan diterimanya amal disisi Allah. Demikian pula itiba' (mengikuti cara Rasul) ádalah rukun kedua dari amal salíh yang diterima Allah. Sebagaimana firman Allah
قل إنما أنا بشر مثلكم يوحى إلي أنما إلهكم إله وحد- فمن كان يرجوا لقاء ربه فليعمل عملا صالحا ولا يشرك بعبادته أحدا
Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhanya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shalih dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhanya. (al Kahfi:110)
0 komentar:
Post a Comment