Perbedaan penentuan bulan Ramadhan sering atau
bahkan selalu terjadi di Indonesia. Akibatnya, Ramadhan yang satu lebih cepat
atau lebih lambat dari yang lain. Penyebab perbedaan tersebut adalah cara
penentuan waktu awal dan akhir bulan yang bervariasi. Cara-cara tersebut
meliputi metode perhitungan, metode melihat planet bulan, dan metode yang
selainnya. Yang akan dibahas di dalam makalah ini adalah metode yang diterapkan
sebagian besar kelompok penganut agama islam, yaitu metode perhitungan dan
metode melihat planet bulan. Metode perhitungan menggunakan model matematis
yang dibangun berdasarkan data astronomis. Di lain pihak, metode melihat planet
bulan menggunakan hasil pengamatan kenampakan planet bulan pada akhir bulan
menurut kalender berdasarkan peredaran bulan.
Kalau dipikir-pikir aneh juga. Meskipun matahari,
bumi, dan bulan masing-masing hanya satu, bisa terjadi lebih dari satu bulan
Ramadhan di tempat yang sama. BACA JUGA ARTIKEL SAYA YANG BERJUDUL: PENANGGALAN/SISTEM KALENDER YANG DIPERINTAHKAN DALAM ALQURAN (KAJIAN ALQURAN TEMATIK) Mungkin tidak tepat untuk dikatakan sebagai
keanehan. Ini adalah konsekuensi logis jika masing-masing berprasangka bahwa
pendapatnya adalah yang benar. Sebagai bentuk toleransi, mereka tidak
menyalahkan pendapat yang lain. Bahkan, ada yang mengatakan bahwa perbedaan
adalah rahmat. Toleransi seolah-olah dianggap menjadi solusi. Bagaimanapun
juga, perbedaan tersebut adalah suatu masalah karena kebenaran hanya satu. Bagaimana
solusi untuk mengatasi masalah tersebut? Penulis ingin menjawabnya dengan Al
Qur’an terjemahan.
SOLUSI PERKARA ANTAR MANUSIA
Perbedaan penentuan bulan Ramadhan adalah perkara
antara manusia yang perlu diselesaikan. Allah mengajarkan bahwa suatu perkara
antara manusia hendaknya dipecahkan dengan Al Qur’an (4:105). Perbedaan bulan
Ramadhan yang terjadi pada suatu tahun disebabkan oleh kitab-kitab selain Al
Qur’an yang dgunakan untuk menentukan awal suatu bulan. Oleh karena itu, cara
penyelesaiannya adalah dengan menggunakan Al Qur’an sebagai satu-satunya
pedoman untuk menentukan awal suatu bulan.
4:105. Sesungguhnya Kami telah menurunkan
kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara
manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu
menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang
yang khianat,
METODE MENYAKSIKAN PLANET BULAN
Sekelompok orang berpendapat bahwa awal bulan
Ramadhan ditandai dengan kenampakan bulan baru. Jika bulan baru tidak tampak
pada suatu batas ketinggian tertentu, pergantian kalender bulan belum terjadi.
Batas ketinggian tersebut dinyatakan dalam derajat yang ditentukan secara
subyektif (arbitrary) sedemikian rupa
sehingga pada ketinggian tersebut bulan baru sudah terlihat jelas ketika langit
dalam keadaan bersih.
Konon, yang dijadikan landasan penggunaan metode
menyaksikan bulan ada di Al Qur’an, yaitu ayat 2:185. Marilah kita cermati ayat
tersebut yang terjemahannya disajikan berikut ini.
2:185. Ramadhaan is the month in which the Quran was revealed as
a Guidance for mankind and clear proofs of Guidance and the Criterion (of right
and wrong). So whoever among you witnesses the month (of Ramadhaan) should fast
in it; and whoever is sick or on a journey, then the prescribed number of days
(should be made up) from other days. Allah intends for you ease and does not
intend for you hardship, so that you complete the prescribed period and that
you magnify Allah for having guided you, so that you may be grateful. (Ramadhan adalah bulan ketika Al Qur’an
diwahyukan sebagai suatu Petunjuk bagi manusia dan bukti-bukti yang jelas dari
Petunjuk dan Kriteria (yang benar dan salah). Maka
barangsiapa di antara kamu menyaksikan bulan tersebut (Ramadhan) supaya
berpuasa dalam bulan itu; dan barangsiapa sakit atau dalam suatu perjalanan,
maka sejumlah hari yang diperintahkan (supaya digenapkan) pada hari-hari yang
lain. Allah menginginkan kemudahan bagi kamu dan tidak menginginkan bagi kamu
kesukaran, sehingga kamu menyempurnakan periode yang diwajibkan dan kamu
mengagungkan Allah karena telah memberi petunjuk kamu, semoga kamu berterima
kasih.) (versi Dr. Shehnaz Shaikh dan Ms. Kausar
Khatri)
Memang benar, dalam terjemahan tersebut terdapat
frase menyaksikan bulan tersebut. Namun,
bulan tersebut adalah terjemahan dari the
month. Ini berari bahwa bulan yang dimaksud dalam 2:185 adalah nama waktu
dalam suatu kalender, bukan nama planet (the
moon). Dengan demikian, menyaksikan
bulan yang dimaksud adalah menjadi saksi atas kehadiran atau keberadaan
bulan tersebut. Dengan kalimat lain, menyaksikan bulan Ramadhan berarti menjalani
hidup pada bulan tersebut.
Transliterasi 2:185 memperlihatkan bahwa yang
berarti bulan (month) dalam 2:185
adalah a(l)shshahra. Jika yang diminta untuk disaksikan adalah planet
bulan, kata yang digunakan mungkin al
qamar. Disebutkan dalam Al Qur’an terjemahan versi Dep.
Agama RI bahwa Al Qamar (surat ke 54) berarti planet bulan. Artinya, planet
bulan dalam bahasa Arab adalah al qamar.
002.185 Shahru rama[da]na alla[th]ee onzila feehi
alqur-[a]nu hudan li(l)nn[a]si wabayyin[a]tin mina alhud[a] wa(a)lfurq[a]ni
faman shahida minkumu a(l)shshahra falya[s]umhu waman k[a]na maree[d]an
aw AAal[a] safarin faAAiddatun min ayy[a]min okhara yureedu All[a]hu bikumu
alyusra wal[a] yureedu bikumu alAAusra walitukmiloo alAAiddata walitukabbiroo
All[a]ha AAal[a] m[a] had[a]kum walaAAallakum tashkuroon(a)
Sampai di sini dapat diringkas bahwa tidak ada
perintah agar menyaksikan planet bulan untuk berpuasa. Tidak ada pula perintah
untuk menyaksikan planet bulan untuk menentukan awal bulan Ramadhan. Jadi,
metode penentuan awal bulan dengan menyaksikan planet bulan tidak didukung
2:185.
Sebenarnya, metode penentuan awal bulan dengan
menyaksikan kenampakan bulan baru mempunyai dasar yang masuk akal. Hanya saja,
metode tersebut mempunyai kelemahan berkaitan dengan keterbatasan penglihatan
manusia. Perlu diingat bahwa manusia mempunyai penglihatan yang payah (67:4).
Kita sebagai manusia tidak bisa melihat bulan ketika langit dalam keadaan tidak
bersih atau kenampakan bulan sangat kecil.
67:4. Kemudian pandanglah sekali
lagi niscaya penglihatanmu akan kembali kepadamu dengan tidak menemukan sesuatu
cacat dan penglihatanmu itupun dalam keadaan payah. (Versi Dep. Agama
RI)
Kenampakan bulan baru yang sulit dilihat oleh mata
dalam keadaan langit bersih mendorong orang membuat kriteria bersifat perkiraan
(arbitrary). Misalnya, jika
ketinggian bulan baru kurang dari 2 derajat, bulan baru dianggap tidak dapat
disaksikan. Sesungguhnya, kriteria ketinggian kenampakan bulan baru yang dibuat
menurut perkiraan merupakan perwujudan dari sifat pandangan manusia yang payah.
Kriteria tersebut dapat dipandang sebagai sesuatu asumsi sehingga tidak berguna
untuk melawan kebenaran sejati (10:36). Artinya, hasilnya tidak bisa
disejajarkan dengan yang sebenarnya.
10:36.
(Dan kebanyakan dari mereka tidak mengikuti sesuatu pun kecuali asumsi. Sungguh,
asumsi tidak berguna sama sekali melawan kebenaran sejati. Sungguh, Allah
adalah Maha Mengetahui yang mereka kerjakan.)
Dapat
diringkas di sini bahwa metode penentuan awal bulan dengan mengandalkan
penglihatan tidak didukung ayat-ayat Al Qur’an. Meskipun demikian, tidak ada
larangan tentang penggunaan metode melihat planet bulan dalam penentuan awal
bulan.
METODE PERHITUNGAN
Kini,
orang bisa menentukan waktu gerhana matahari dan gerhana bulan dengan tepat.
Hal tersebut terjadi karena dinamika posisi matahari, bulan, dan bumi yang
bersifat dapat diduga (predictable).
Dinamika tersebut dapat diketahui dengan suatu perhitungan menggunakan model
matematis yang dibangun berdasarkan data yang lengkap. Ayat 55:5 menegaskan hal
tersebut. Kata move dalam teks
terjemahan ayat tersebut hanyalah tambahan penerjemah sehingga dianggap tidak
ada. Dapat diartikan bahwa posisi matahari dan bulan ditentukan dengan suatu
perhitungan yang tepat. Artinya, posisi matahari, bulan, dan planet lain
seperti bumi juga ditentukan dengan suatu perhitungan yang tepat.
Konsekuensinya, penentuan awal bulan dapat ditentukan berdasarkan perhitungan.
55:5. The
sun and the moon (move) by precise calculation, (Matahari dan bulan dengan perhitungan yang tepat.)
Dapat
diringkas di sini bahwa metode penentuan awal bulan dengan perhitungan didukung
ayat-ayat Al Qur’an. Meskipun demikian, tidak ada perintah untuk menggunakan
metode perhitungan.
SATU METODE UNTUK SEMUA
Uraian di
atas menunjukkan bahwa tidak ada ketentuan dalam Al Qur’an tentang metode yang
harus digunakan dalam penentuan awal Ramadhan. Artinya, metode yang digunakan
ditentukan oleh manusia. Hanya saja, metode yang berbeda cenderung akan
menghasilkan kesimpulan yang berbeda pula. Hal ini sudah terjadi berkali-kali
di Indonesia.
Satu
metode yang harus disepakati perlu ditetapkan untuk menghasilkan keputusan yang
sama tentang awal dan akhir bulan Ramadhan. Tiap golongan yang berbeda pendapat
hendaknya memperhatikan ayat-ayat berikut ini.
30:31. dengan kembali bertaubat kepada-Nya
dan bertakwalah kepada-Nya serta dirikanlah shalat dan janganlah kamu
termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah, (Versi Dep. Agama RI)
30:32. yaitu orang-orang yang
memecah-belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap
golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka. (Versi
Dep. Agama RI)
Ayat 30:31
dan 30:32 menerangkan bahwa kita dilarang meniru perilaku orang yang
mempersekutukan Allah (musyrik). Perilaku tersebut yaitu membentuk
golongan-golongan agama dan masing-masing merasa bangga dengan yang ada pada
golongannya. Bukankah ini yang tercermin dari perbedaan awal dan akhir Ramadhan
yang terjadi di Indonesia? Tiap golongan mempunyai bulan Ramadhan
sendiri-sendiri. Jika kita termasuk orang yang meniru perilaku orang musyrik,
kita pun akan menjadi orang musyrik. Mengerikan bukan? Jadi, perbedaan-perbedaan
yang terjadi harus segera diakhiri.
Untuk
mengakhiri perbedaan yang terjadi, semua harus menggunakan Al Qur’an saja sebagai
pedoman untuk mengatasi perkara perbedaan bulan Ramadhan ini. Silakan dicermati
kembali ayat 4:105! Selanjutnya, masing-masing golongan hendaknya menyadari
bahwa pedoman selain Al Qur’an telah membuat agama terpecah menjadi
golongan-golongan. Dan yang lebih penting lagi, membuat agama menjadi
golongan-golongan adalah perilaku orang musyrik. Apakah orang musyrik akan
masuk surga? Jawabannya ada di ayat 9:113 berikut ini.
9:113. Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman
memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang
musyrik itu adalah kaum kerabat (nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang
musyrik itu adalah penghuni neraka jahanam.
Sudah dibahas di muka bahwa metode perhitungan
sudah terbukti dapat digunakan untuk menentukan posisi bumi, bulan, dan
matahari. Selain itu, metode tersebut juga didukung oleh ayat 55:5 dalam Al
Qur’an. Di lain pihak, metode melihat planet bulan tidak didukung ayat Al
Qur’an dan mempunyai kelemahan berkaitan dengan penglihatan mata manusia. Oleh
karena itu, metode perhitungan lebih tepat untuk dijadikan dasar penentuan awal
dan akhir Ramadhan.
PENUTUP
Perbedaan penentuan bulan Ramadhan adalah masalah
serius yang tidak bisa diatasi dengan toleransi beragama. Satu metode penentuan
awal dan akhir bulan Ramadhan perlu diputuskan dan disepakati oleh semuanya.
0 komentar:
Post a Comment